Tangani Kasus Remaja Pembunuh, Polisi Bertindak Hati-hati
Viral berita kasus pembunuhan bocah lima tahun yang dilakukan NF, remaja berusia 15 tahun, perlu disikapi secara bijak. Penanganan kasus pun disarankan melihat keseluruhan faktor yang memicu NF melakukan pembunuhan.
Jajaran Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya berhati-hati dan memilih tidak jadi menggelar konferensi pers pada Senin (9/3/2020) sebagaimana dijanjikan sebelumnya terkait kasus NF (15) yang mengaku membunuh APA (5) di rumahnya di Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Heru Novianto, Senin, mengatakan, remaja perempuan NF sudah dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Di RS Polri ini, NF menjalani tes kejiwaan. ”Kami belum bisa kasih perkembangan karena NF masih dalam pemeriksaan. Sementara itu, orangtua NF juga dalam pemeriksaan,” katanya.
Kepala Tim Dokter Kejiwaan RS Polri Kramat Jati Henny Riana mengatakan, sejak kemarin NF mulai diperiksa tahap awal kejiwaannya. Pemeriksaan kejiwaan NF akan berlangsung setidaknya 14 hari.
”Tahapan awal pemeriksaan visum et repertum psikiatrikum, seperti wawancara psikiatri, pemeriksaan tim dari psikolog, ada pemeriksaan psikometri. Pemeriksaan ini untuk menyimpulkan apakah NF alami gangguan jiwa atau tidak. Akan dilihat gangguan jiwanya berkaitan dengan tindakannya. Dan apakah NF memenuhi unsur untuk dapat bertanggung jawab atas tindakannya,” kata Henny.
Ayah APA, Kartono (40), kemarin terus menemani istrinya. Pasangan itu masih terpukul atas kepergian putri balita kesayangan mereka. ”Saya tak tahu siapa yang bersalah, sulit memercayai peristiwa ini. Kita tunggu perkembangan dari polisi,” kata Kartono di depan rumahnya yang bersebelahan dengan rumah NF.
Menurut dia, NF tak berbeda dengan anak remaja lainnya. Meski dikenal pendiam dan tak suka keluar rumah, siswi kelas 3 SMP ini dikenal sebagai anak baik dan pintar.
Jack (50), warga yang tinggal tak jauh dari rumah Kartono, juga menganggap NF anak baik, pintar, dan tidak pernah terdengar ada masalah dengan ayah dan ibu tirinya. Ayah dan ibu kandung NF bercerai sekitar 5-6 tahun lalu.
”NF tinggal sama ayahnya dan ibu tirinya. Saya enggak pernah dengar ada keributan. Relasi dengan para tetangga juga baik-baik saja,” kata Jack.
Pada Kamis (5/3/2020), sehari sebelum jasad APA ditemukan, Kartono mengira anaknya diculik karena hingga pukul 19.00 tak kunjung pulang. Pijay (23), tetangga Kartono, keluarga NF, pengurus RW bersama sejumlah warga sempat mendatangi rumah NF mencari APA.
”Sampai masuk ke dalam rumah NF, enggak ada jejak APA. Karena sebelumnya APA bermain ke situ, kami tanya NF. Sambil bermain HP, NF jawab tidak tahu,” kata Pijay.
Esok harinya, Jumat (6/3/2020) sekitar pukul 09.00, NF yang pamit pergi sekolah ternyata justru mendatangi Kepolisian Sektor Metropolitan Tamansari Polres Metro Jakarta Barat seorang diri. Ia mengaku membunuh dan memberitahukan lokasi jenazah APA.
Oleh karena lokasi kejadian di Sawah Besar, laporan diserahkan kepada Polsek Sawah Besar. Polisi pun mendatangi tempat kejadian dan mendapati laporan NF benar adanya.
Berdasarkan pemeriksaan polisi, pembunuhan terjadi Kamis pukul 16.00 sewaktu pelaku dan korban bermain bersama. APA meninggal di bak mandi rumah NF dengan luka di mulut. Diduga ia ditenggelamkan. Komisaris Besar Heru Novianto menyebut, pelaku memasukkan jasad korban ke dalam ember dan ditutup seprei setelah dipastikan meninggal. Warga yang mencari tak mencurigai keberadaan ember di rumah NF karena berada dekat tumpukan cucian.
Sebelumnya, dari hasil pemeriksaan sementara, polisi mendapati NF menyukai seri film boneka Chucky dan Slender Man. Chucky merupakan film yang dipenuhi dengan adegan kekerasan, sedangkan Slender Man mengisahkan sosok tinggi tipis bertangan banyak yang suka menculik anak-anak dan remaja.
Terlepas dari viral kasus itu, psikolog keluarga dan perkembangan anak, Sani Budiantini, saat dihubungi, Senin di Jakarta, mengatakan, beberapa permasalahan kejiwaan diturunkan secara genetik. Untuk mengantisipasi kelainan itu berkembang, seseorang harus mengetahui ada tidaknya keturunan. Di luar itu terdapat beberapa permasalahan kejiwaan anak terjadi selama masa tumbuh kembang mereka.
Menurut Sani, kedua bentuk itu tetap memerlukan penanganan yang baik dari keluarga. ”Sebagian orangtua sering kali lupa membangun budaya komunikasi berkualitas dengan anak sejak usia dini. Tidak ada kata terlambat membangun budaya ini meskipun anak sudah masuk usia remaja,” ujarnya.
Setelah keluarga inti, Sani memandang perlunya membangun sistem dukung positif di lingkungan pertemanan dan sekolah. Tujuannya pun sama, yaitu budaya komunikasi berkualitas. Dengan demikian, perubahan sikap karena ada permasalahan kejiwaan jadi mudah ditangani.
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengungkapkan, riset-riset mutakhir di bidang psikologi dan ilmu saraf neuroscience menjelaskan akar persoalan anak dengan tabiat tak berperasaan emosional (callous unemotional) terletak bukan hanya lapisan perilaku atau lapisan kepribadian semata.
Kondisi otak anak-anak dengan tabiat tak berperasaan emosional yang secara bawaan berbeda perlu disadari. Ketika kesadaran ini terbangun, penanganan hukum kepada mereka sepatutnya tidak disamakan seperti anak ataupun orang dewasa umumnya yang menjadi pelaku kejahatan.
”Kondisi anak dengan tabiat tak berperasaan emosional, atau bahkan psikopati, tidak serta-merta menjadikan mereka sebagai pelaku kejahatan. Tindakan kejahatan tetap memerlukan faktor eksternal yang meletupkan predisposisi jahat menjadi perilaku jahat, seperti tontonan kekerasan, perceraian orangtua, dan situasi prasejahtera,” kata Reza.
Pemenjaraan bukan pilihan tepat karena pasca-masa penjara berakhir, ada potensi tingkat residivisme kriminal tetap lebih tinggi. Pada saat bersamaan, Reza meyakini, sejumlah penelitian dan masyarakat belum menemukan formula rehabilitasi psikis dan sosial yang efektif mengubah anak dengan tabiat tak berperasaan emosional menjadi lebih positif.
Dikawal Kementerian PPPA
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar juga mengawal proses penanganan terhadap NF. ”Yang perlu menjadi perhatian kita semua, anak pelaku juga anak korban. Maka, ia harus mendapat pendampingan psikologis yang tepat dan harus ada pendalaman dari berbagai aspek selama proses penyelesaian kasus,” ujar Nahar.
Dalam menangani kasus NF, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Metro Jakarta Pusat meminta Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta mendampingi dan memeriksa psikologis adik pelaku yang merupakan saksi kunci dalam kasus ini.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengimbau kepada seluruh masyarakat dan orangtua agar meningkatkan semangat kebersamaan dalam meningkatkan pengawasan dan kontrol terkait dengan aktivitas anak dalam mengakses tayangan film dan konten-konten di dunia siber.