Candradimuka Saudagar Emas Minangkabau
Deretan toko perhiasan di Blok M Square, Jakarta Selatan, menjadi candradimuka bagi calon saudagar emas asal Minangkabau. Kedisiplinan, kejujuran, dan kemauan bekerja keras diuji saat menapakkan kaki di toko emas.
Berkunjung ke kawasan Blok M Square, Jakarta Selatan, tampak deretan toko perhiasan. Kebanyakan pemilik toko berasal dari Ranah Minang. Selain sebagai tempat jual beli emas, toko tersebut juga menjadi candradimuka bagi calon saudagar emas yang baru.
Azwar Wahid atau Haji Sagi (70) adalah salah satu empunya toko emas yang berjejer di kawasan itu. Pemilik Toko Mas Singgalang dan Toko Mas Sumbar Riau ini berasal dari Pariaman, Sumatera Barat.
Diwawancarai melalui sambungan telepon, Rabu (11/3/2020), Haji Sagi menceritakan kisahnya hingga sukses di perantauan. Sagi kecil sering dibawa orangtua berkunjung ke Kota Padang sewaktu libur sekolah. Menyaksikan toko emas berjejer di Pasar Raya Padang, Sagi takjub dengan pedagang emas.
”Saya terkesima, sanang bana (senang betul) sepertinya bekerja di toko emas. Kalau bisa saya seroma itu pula. Mereka bersih terawat. Kerjanya menghitung duit, terbitlah semangat untuk seperti itu,” kata Sagi, yang terlahir dari pasangan penjual ikan asin dan ternak ini.
Dia kemudian masuk ke Jakarta tahun 1975 dengan menggunakan kapal laut, naik dari Teluk Bayur atau Emma Haven dalam istilah kolonial. Anak bungsu dari sembilan bersaudara ini masih berusia 25 tahun dan bujangan waktu itu. Dia bersama kakaknya membuka toko emas di Pasar Mayestik, Jakarta. ”Waktu itu belum ada rasanya orang awak (Minang) jualan emas di Jakarta,” katanya.
Sebelum berangkat ke Jakarta, Sagi sudah belajar menjadi pedagang emas bersama kakaknya yang lain di Padang. Ia bertolak ke Ibu Kota dengan harapan bahwa rantau bisa membuatnya lebih berkembang.
Karatau madang di hulu
Babuah babungo belum (berbuah berbunga belum)
Marantau bujang dahulu (merantau orang lajang terlebih dulu)
Di rumah baguno belum (di rumah belum berguna)
Demikian petuah adat yang dipegang Sagi. ”Merasai betul waktu itu,” Sagi mengingat masa-masa tinggal di rumah kontrak saat berjualan di Pasar Mayestik. Kamar mandi berjarak 200 meter dari rumah kontrak.
Baca juga: Harga Emas Melambung Tinggi
Tiga tahun berselang, usahanya mulai bangkit. Ia pun bergeser ke arah Blok M. Di sini, ia mulai merekrut orang sekampung untuk dijadikan karyawan. ”Karena pada hakikatnya, merantau adalah sejauh mana kita membawa manfaat bagi kampung halaman,” katanya.
Syarat untuk menjadi karyawan Sagi adalah rajin, patuh, dan tidak boleh keluar malam. ”Larangan keluar malam itu karena banyak mudarat. Bertemu orang mabuk, nanti kita ditusuk, terus mati konyol. Atau terpengaruh pergaulan muda-mudi,” katanya.
Sebelum berangkat ke Jakarta, Sagi sudah belajar menjadi pedagang emas bersama kakaknya yang lain di Padang. Ia bertolak ke Ibu Kota dengan harapan bahwa rantau bisa membuatnya lebih berkembang.
Tak cukup sampai di situ, karyawan baru boleh pulang ke kampung halaman setelah bekerja selama tiga sampai lima tahun. Sebelum target itu tercapai, mereka harus ikhlas berlebaran di perantauan. ”Kecuali ada keadaan darurat, seperti orangtua meninggal. Nah, itu mereka boleh pulang,” katanya.
Itu semua, kata Sagi, adalah agar calon karyawan bisa disiplin dan fokus dengan tujuannya di Jakarta. Sebab, mereka tidak selamanya menjadi karyawan. Ada masanya mereka mandiri dengan membuka toko sendiri.
Sagi bercerita, selain mendapat gaji, karyawan juga diberi bonus setiap tahun. Bonus itulah yang dikumpulkan karyawan untuk membuka toko baru. Besaran bonus berkisar 5-10 persen dari untung bersih pada toko yang ia jaga.
Dia mengklaim, sudah sekitar 700 orang yang ia rekrut sejak awal usaha hingga hari ini. Ada ratusan orang yang sudah keluar dan punya toko sendiri. Mereka menyebar di banyak tempat. Ada pula yang masih bertahan bekerja dengan Sagi. Pun ada yang berhenti di tengah jalan.
”Bagi mereka yang keluar (mundur) pasti ada yang merasa aturan saya terlalu ketat. Tetapi coba tanya mereka yang sukses, semua aturan itu pada dasarnya sangat bermanfaat untuk mereka. Jadi memang manusia itu ada baik dan ada buruknya, tergantung bagaimana penerimaan kita,” katanya.
Sagi berupaya untuk ikut memajukan kampung halaman. ”Buat apa hebat-hebat di rantau, tetapi kampung ditinggalkan? Karena pada hakikatnya, merantau itu adalah upaya untuk membangun kampung juga,” katanya.
Hal itulah yang telah dilakukannya di kampungnya, Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Kabupaten Padang Pariaman. Ia memprakarsai berdirinya beberapa sekolah, antara lain SMKN I IV Koto Aur Malintang. Selain itu, zakat Sagi menjelang Ramadhan adalah yang paling ditunggu warga kampung. Jumlahnya bisa mencapai miliaran rupiah.
Pendapat Sagi yang menyatakan bahwa karyawan toko emas harus berdisiplin itu memang dirasakan oleh Ajisman (30). Ia memegang jabatan sebagai kepala toko di salah satu toko emas di Blok M Square.
Toko emas yang ia pimpin milik kerabatnya. Ia bergabung tahun 2009 seusai tamat SMA. Dengan gaji Rp 600.000 per bulan waktu itu, dia berangkat ke toko pukul 09.00 dan pulang pukul 21.00. Libur hanya sekali sebulan.
”Kalau mengikuti libur pegawai negeri, tentu tidak bakal cukup gaji segitu. Tetapi kalau begini ya cukup. Tinggal di rumah bos, terus makan juga ditanggung,” katanya.
Di tahun pertama, Ajisman belajar cara mengukur kadar emas. Di tahun kedua, ia mulai diizinkan untuk melayani konsumen. Di tahun itu pula ia menerima bonus. Besarannya sekitar Rp 15 juta. Bonus dibagikan beberapa hari menjelang Ramadhan.
Sejak 2018, ia diangkat menjadi kepala toko. Selain mendapat gaji Rp 150.000 per hari, dia juga menerima bonus 15 persen dari keuntungan bersih. ”Kalau di sini, untung bersih setelah dikeluarkan sewa toko dan lain-lain, sekitar 700 gram per tahun,” kata ayah satu anak ini.
Jika hidup sebatang kara, katanya, dengan bonus yang diterima setiap tahun sudah terbuka peluang untuk membuka toko sendiri. Namun, hakikat merantau baginya tak sekadar memupuk kekayaan untuk diri sendiri, tetapi juga saling berbagi dengan keluarga di kampung. Karena itu, ia memilih belum membuka toko sendiri.
Lain lagi cerita Romi Putra (30), pemilik tiga toko emas di Kreo, Tangerang, Banten. Ia secara resmi tidak pernah dididik oleh toko emas tertentu. Dia sudah yakin tak bakal kuat dengan disiplin ketat toko emas. ”Saya orang lapangan sudah pasti tidak akan sanggup,” katanya.
Namun, keinginan untuk menjadi saudagar emas di Jawa tetap dipendamnya. ”Coba pikir, bagaimana mau mengubah nasib jika tetap di kampung?” katanya.
Tahun 2009, ia berangkat ke Jakarta. Ia tinggal di rumah saudaranya yang sudah terlebih dahulu merantau. Di tahun pertama, ia berjualan pakaian di pasar-pasar malam kawasan Tangerang. Di saat bersamaan, teman-teman seangkatannya waktu itu sudah ”sekolah” di toko emas.
Pernah sekali waktu dia melintas dengan Vespa butut di depan kedai emas teman-temannya setelah pulang dari pasar malam. Di belakang Vespa tergantung barang dagangan. Ia tutup kepalanya dengan kupluk, ditambah lagi dengan helm. ”Malu sekali kalau sampai mereka melihat,” katanya.
Momentum perubahan nasibnya berawal dari tawaran suami kakaknya untuk berjualan perak. Dimulai dari perak, berkembang jadi emas. Begitu skenarionya.
Mulailah ia berjualan perak dari tahun 2010 hingga 2012. Bertahan dua tahun, Romi bisa menyimpan 400 gram perak. Tebersit keinginan untuk membuka toko perak sendiri.
Maka, ia pun berutang kepada teman untuk membeli etalase. Ia juga meminjam uang kepada kakaknya untuk sewa toko. Ia juga berutang barang dagangan kepada temannya, distributor perak.
Sebagai pedagang perak, fenomena batu akik di tahun 2015 turut menggenjot usahanya. Ia turun mengadu nasib di akik. Keberuntungan menghampirinya. Dia sampai kewalahan mengerjakan pesanan. ”Bayangin batu yang dibeli karungan di Pasar Rawabening (Jakarta) waktu itu, di sini (Kreo) dijual sebesar permata cincin. Satu cincin dengan ikat perak, bisa untung sekitar Rp 400.000,” katanya.
Dari setiap rupiah yang berhasil dikumpulkan, Romi membelikannya ke emas. Sejak 2014, isi tokonya tak sekadar perak, tetapi juga emas. Kini, di triwulan pertama 2020, ayah satu anak ini memiliki tiga toko dengan total dagangan 10 kilogram emas dalam bentuk perhiasan berbagai rupa.
Batu yang dibeli karungan di Pasar Rawabening (Jakarta) waktu itu, di sini (Kreo) dijual sebesar permata cincin. Satu cincin dengan ikat perak, bisa untung sekitar Rp 400.000.
Tiga toko itu sama-sama berada di Pasar Kreo. Yang paling besar berada di pertigaan Jalan Wahid Hasyim, Tangerang. Pada Selasa (10/3/2020), toko itu cukup ramai. ”Rata-rata per hari, penjualan 150 gram dan pembelian 100 gram,” katanya.
Romi mempunyai total karyawan delapan orang: dua karyawan biasa dan dua kepala toko. Semuanya tinggal di rumah miliknya. Karyawan biasa diberi upah Rp 40.000 per hari. Sementara kepala toko bergaji Rp 70.000 per hari.
Mereka semua mendapat bonus per tahun. Romi tidak menentukan persentase baku bonus karyawan. Sebagai gambaran, tahun kemarin, setiap kepala toko mendapat 200 gram emas. Karyawan dengan masa kerja satu tahun mendapat 100 gram emas. Sementara karyawan yang masih baru dikasih bonus berupa uang tunai.
Selain delapan karyawan itu, ia pernah punya karyawan yang kini sudah membuka toko sendiri. Karyawan itu keluar tahun 2018 dan sudah bekerja dengannya selama empat tahun. ”Kalau tidak salah, total bonusnya waktu itu 0,5 kilogram emas,” katanya.
Semua karyawan merupakan orang kampungnya, Pariaman. Mereka biasanya melamar kerja dengan diantar langsung oleh kedua orangtuanya saat Romi pulang Lebaran. Bagi dia, yang terpenting adalah kejujuran karyawan. Dia menekankan betul soal pentingnya merawat kepercayaan kepada karyawan.
”Kalau tidak percaya sama mereka, awak (saya) sendiri yang bakal pusing. Di toko ini (Permata Kreo) saja, ada 8 kg emas dalam bentuk ratusan kalung dan cincin. Mereka ambil satu saja enggak bakal ketahuan. Belum lagi kalau awak pulang kampung. Toko dan semua isinya ditinggal sama mereka,” katanya.
Sejarah panjang
Dalam catatan sejarah, emas bukan komoditas yang asing bagi orang Minang. Mochtar Naim dalam Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (2013) mencatat, Minangkabau menjadi penyuplai utama emas dan lada di zaman ramainya perdagangan di Malaka abad ke-15 dan ke-16.
Di sisi lain, emas hingga kini masih menjadi alat tukar bagi sebagian orang Minang. Orang yang sedang melakukan pegang gadai cenderung menggunakan emas dalam transaksi. Misalnya, sawah si A digadaikan sebesar 10 emas. Satu emas setara dengan 2,5 gram. Emas juga sering digunakan sebagai alat tukar pohon kelapa di Pariaman. Sebatang pohon kelapa dihargai satu emas.