Terkait kesiapan pemindahan ibu kota negara, pekerjaan besar, seperti pembuatan payung hukum, alokasi anggaran, dan pembangunan infrastruktur pendukung, menanti untuk diselesaikan.
Akhir 2019, pemerintah telah mengumumkan pemenang tiga besar Sayembara Gagasan Desain Kawasan Ibu Kota Negara (IKN). Seusai pengumuman, pemerintah mematangkan perencanaan pembangunan infrastruktur kawasan IKN dengan menyusun rencana induk (masterplan) terintegrasi yang mencakup infrastruktur jalan, sumber daya air, transportasi, energi listrik, dan jaringan komunikasi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan lokasi ibu kota baru pada 26 Agustus 2019. Nantinya ibu kota baru akan berada di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Dukungan
Masyarakat menyambut positif pemindahan ibu kota sejak pengumuman rencana pemindahan, Agustus lalu. Hal tersebut tecermin dari dua kali jajak pendapat Kompas. Awal Maret ini, 66,2 persen responden menyetujui pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Angka tersebut relatif sama dibandingkan dengan hasil jajak pendapat pada Agustus lalu pasca-pengumuman kepindahan ibu kota, yakni 66,2 persen. Dengan kata lain, masyarakat konsisten dengan dukungannya pada rencana pemindahan ibu kota tersebut.
Ada beragam alasan mengapa masyarakat mendukung pemindahan tersebut. Alasan terbanyak dari responden (48 persen) adalah untuk mengurangi beban Jakarta yang daya dukung lingkungannya semakin merosot.
Mereka beranggapan ibu kota Jakarta saat ini berkelindan dengan berbagai persoalan, di antaranya banjir, risiko tenggelam karena penurunan muka tanah, kemacetan yang merugikan hingga Rp 56 triliun per tahun, polusi udara, dan
kepadatan penduduk. Pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur dianggap sebagai solusi untuk mengatasi persoalan Jakarta.
Pemerataan ekonomi dan infrastruktur ke wilayah Indonesia menjadi alasan lain yang dipilih 20 persen responden. Pulau Jawa saat ini sudah menanggung beban yang luar biasa dengan 57 persen penduduk berada di Pulau Jawa. Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB), yakni 59 persen. Bahkan 20,85 persen di antaranya disumbang wilayah Jabodetabek.
Dengan pemindahan ibu kota baru, perekonomian diharapkan akan lebih terdiversifikasi ke arah sektor yang lebih padat karya sehingga membantu menurunkan kesenjangan di tingkat regional dan nasional. Selain itu, keterkaitan ekonomi provinsi di ibu kota baru dengan provinsi lain di sekitarnya
akan menjadi salah satu pendorong investasi di provinsi lain.
Sebagian kecil responden lainnya menilai secara geografis Kalimantan Timur memiliki posisi strategis karena berada di sentral gugusan kepulauan Indonesia. Selain itu, Kalimantan Timur menjadi salah satu lokasi yang diprediksi bebas dari garis kebencanaan seperti gempa ataupun tsunami dan bebas dari banjir.
Biaya besar
Di sisi lain, masih ada tiga dari 10 responden yang menyatakan tidak setuju pemindahan ibu kota.
Alasan terbanyak bagi responden menolak pemindahan ibu kota adalah besarnya biaya proyek pembangunan ibu kota baru, seperti dinyatakan oleh separuh lebih responden.
Pembangunan sebuah kota baru dari nol akan memakan banyak biaya. Diperkirakan, biaya memindahkan ibu kota mencapai Rp 466 triliun atau sekitar 18 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Menurut Bappenas, sumber pendanaan itu antara lain dari APBN (Rp 74,4 triliun), swasta (Rp 127,3 triliun), dan kerja sama pemerintah dengan badan usaha (Rp 265,2 triliun).
Hampir 18 persen responden beranggapan pemindahan ibu kota tidak akan berdampak signifikan terhadap pemerataan ekonomi. Menurut mereka, pemerintah belum bisa mengungkap dampak ekonomi yang bisa diciptakan dari pemindahan ibu kota.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pada Agustus lalu memperkirakan dampak pemindahan ke Kalimantan Tengah terhadap PDB riil nasional sangat kecil, yakni 0,0001 persen.
Dilihat dari neraca pembayaran, Indef menilai bahwa pemindahan ibu kota ini tak mendorong PDB dan gross national expenditure (GNE) riil secara nasional. Pemindahan ini hanya menguntungkan provinsi tujuan dan belum tentu mengurangi ketimpangan di wilayah tersebut.
Adapun 16 persen responden menganggap pemindahan ibu kota belum mendesak untuk dikerjakan pemerintah. Menurut mereka, persoalan ekonomi, kemiskinan dan kesejahteraan, serta pengangguran dan lapangan kerja lebih mendesak untuk diatasi daripada hanya memindahkan ibu kota.
Keyakinan
Kendati tantangan besar merealisasikan IKN baru menanti pemerintah, 60 persen responden optimistis Presiden Joko Widodo mampu merealisasikan rencana besar tersebut. Hanya saja angka keyakinan itu cenderung turun dibandingkan dengan enam bulan lalu yang sebesar 64 persen.
Keyakinan masyarakat itu tampaknya didasarkan dari keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan ibu kota baru. Untuk mendukung rencana besar tersebut, pemerintah bahkan menyertakan nama tenar dalam proyek pemindahan ibu kota. Sebut saja, misalnya, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Presiden Softbank Corp Masayoshi Son, dan Putra Mahkota Uni Emirat Arab
Syekh Mohammed bin Zayed al-Nahyan diberi kursi sebagai Dewan Pengarah Proyek.
Namun, tiga dari 10 responden masih menyatakan skeptis pemerintah mampu merealisasikan pemindahan IKN. Tampaknya sikap skeptis itu muncul mengingat betapa tidak mudahnya mewujudkan pemindahan ibu kota. Sejarah pun mencatat, sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rencana pemindahan IKN belum pernah terwujud.
Belum lagi soal proses politik yang acap kali berbelit, pembuatan payung hukum, besarnya anggaran proyek, persoalan sosial dengan warga setempat, hingga penyediaan infrastruktur pendukung, seperti jalan, moda transportasi, serta ketersediaan air dan listrik. Hal itu menambah keragu-raguan sebagian warga akan terwujudnya rencana pemindahan IKN.
Pada akhirnya, tidak hanya sekadar meninggalkan ibu kota Jakarta. Pemerintah juga perlu meyakinkan publik bahwa pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur adalah kebijakan yang tepat dan didasari oleh persiapan yang matang.