Segala informasi publik boleh disebarluaskan kepada masyarakat kecuali informasi yang dilindungi oleh lembaga-lembaga terkait. Khusus data pasien berada di bawah lindungan Kementerian Kesehatan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi virus korona jenis baru di satu sisi mendidik masyarakat untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat, melakukan penjarakan sosial, serta mengurangi kegiatan di luar rumah. Namun, di sisi lain etika mengenai penyebaran identitas pasien terduga ataupun positif terkena coronavirus disease 2019 atau Covid-19 belum sepenuhnya dipahami masyarakat.
Beredar di media sosial pesan-pesan yang meminta nama-nama pasien terduga dan positif Covid-19 dibeberkan kepada publik. Salah satu argumen yang diutarakan bahkan menjadikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sebagai sandaran hukum. Alasannya, sekarang adalah masa darurat dan pembeberan identitas pasien berkaitan dengan keamanan publik.
Menanggapi hal ini, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Henny S Widyaningsih, menjelaskan bahwa UU KIP sangat ketat mengatur kemungkinan pembukaan data pribadi dalam masa genting. Hal ini ditegaskan dalam pasal 17 butir H dan J. Segala informasi publik boleh disebarluaskan kepada masyarakat kecuali informasi yang dilindungi oleh lembaga-lembaga terkait. Khusus data pasien berada di bawah lindungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
”Pembukaan identitas pasien hanya bisa dilakukan dengan izin individu yang bersangkutan. Itu pun harus dipertimbangkan oleh lembaga terkait, dalam hal ini Kemenkes, dinas kesehatan tingkat provinsi, dan kabupaten/kota. Bukan keputusan aparat penegak hukum ataupun pribadi kepala daerah. Artinya izin pasien tidak serta-merta berarti boleh mengungkapkan identitasnya,” tutur Henny.
Para pemangku kebijakan wajib melakukan uji konsekuensi dan dilanjutkan dengan uji kepentingan publik. Dalam hal ini dilakukan analisis, apabila membuka identitas pasien apakah menjamin menambah efektivitas penanganan penyakit, mendidik warga, dan menerapkan pengamanan publik. Apabila perhitungan menunjukkan ketiga hal itu bisa dicapai tanpa perlu mengungkap jati diri pasien, lebih baik.
Jika analisis menunjukkan pembukaan identitas malah berisiko mendatangkan stigma bagi dirinya dan keluarga, memunculkan kepanikan massa, dan merugikan lingkungan tempat tinggal, opsi tersebut harus dihindari. Hal ini bukan kepentingan publik, melainkan tidak mendidik.
Walaupun demikian, pada Pasal 18 UU KIP diutarakan, pembukaan identitas boleh dilakukan apabila yang bersangkutan merupakan pejabat publik. ”Tetap dalam koridor etika kesehatan. Contohnya ketika pihak Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto mengumumkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi positif mengidap virus korona yang didahului pernyataan bahwa pengumuman itu seizin pasien dan keluarga,” tutur Henny.
Riwayat perjalanan
Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia Mahesa Paranadipa mengingaktan bahwa pasal 28G konstitusi menegaskan perlindungan diri bagi setiap warga Indonesia. Dalam lingkungan kesehatan, pasien berhak atas otonomi dirinya. Artinya, segala tindakan medis yang dilakukan wajib meminta persetujuan pasien.
UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran membatasi data pribadi pasien boleh dibuka kepada pihak lain atas izin pasien atau untuk visum dan otopsi oleh aparat penegak hukum. Aturan ini diturunkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 36/2012 tentang Rahasia Kedokteran. Pasal 9 menjelaskan bahwa apabila data pasien harus dibuka, tidak boleh menyebutkan identitas, seperti nama, alamat rumah, dan nama-nama anggota keluarga ataupun kerabat.
”Penanganan kasus Covid-19 sudah tepat hanya menyebut nomor kasus, usia, dan jenis kelamin. Lebih penting lagi menyebut tempat-tempat umum yang pernah didatangi pasien tersebut. Atribut pribadi tidak ada hubungan sama sekali dengan penanganan kasus dan wajib dilindungi,” tutur Mahesa.
Penanganan kasus Covid-19 sudah tepat hanya menyebut nomor kasus, usia, dan jenis kelamin. Lebih penting lagi menyebut tempat-tempat umum yang pernah didatangi pasien tersebut.
Melalui pengumuman riwayat perjalanan pasien, masyarakat sudah bisa mawas diri jika mereka mengunjungi lokasi yang sama pada hari pasien juga ada di sana. Oleh karena itu, sosialisasi kesadaran melakukan isolasi mandiri dan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan harus digencarkan.