Tidak mudah menerapkan social distancing atau pembatasan sosial. Sebab tidak semua perkantoran memberikan keleluasaan pekerja untuk bekerja di rumah. Lalu, bagaimana pekerja harus menyiasatinya?
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat dan daerah menganjurkan social distancing atau pembatasan sosial kepada pekerja dengan cara bekerja dari rumah. Sayangnya anjuran ini sukar dilakukan sebagian pekerja karena berbagai hal.
Anjuran itu dikeluarkan guna mencegah penyebaran virus korona baru yang terus bertambah di Indonesia. Salah satu yang diyakini penting adalah mengurangi interaksi sosial dengan beraktivitas di rumah. Harapannya penyebaran virus dapat dikendalikan.
Irza, misalnya, sales produk kesehatan di Jakarta Barat ini tidak dapat bekerja dari rumah karena harus memasarkan produk dan memeriksa stok dari apotek ke apotek. Padahal, dalam benaknya mulai timbul kekhawatiran beraktivitas di tempat umum karena kasus Coronavirus disease (Covid-19) terus bertambah. ”Awalnya berusaha cuek dengan virus korona baru. Tetapi, parno karena angkanya bertambah terus. Jadi takut ke lapangan,” tuturnya di Jakarta, Selasa (17/3/2020).
Dia membulatkan tekad untuk beraktivitas seperti biasa dari satu apotek ke apotek lain karena pemenuhan kebutuhan hidupnya bergantung dari pekerjaan sebagai sales produk kesehatan. Dalam sebulan dia bisa mendapatkan upah termasuk bonus berkisar Rp 4.500.000-Rp 6.000.000. ”Jalani saja karena butuh penghasilan. Apalagi sedang menabung untuk nikah. Harus rajin-rajin jualan supaya banyak bonus,” ujarnya.
Rangga, fotografer lepas, juga demikian. Pekerjaannya menuntut untuk beraktivitas di luar rumah dan berinteraksi dengan banyak orang. ”Tidak semua bidang kerja bisa terapkan kerja dari rumah. Kalau saya tidak kerja, tidak dapat duit. Mau tidak mau, jalani saja,” kata Rangga.
Rangga yang sepenuhnya bergantung pada pekerjaan sebagai fotografer lepas itu khawatir atas bertambahnya kasus Covid-19. Dia berharap pekerjaannya tidak terimbas terlalu parah. Sebab, tempat wisata mulai ditutup dan terjadi pembatalan orderan foto prewedding. Biasanya untuk satu orderan foto prewedding menghasilkan Rp 2.000.000-Rp 3.000.000. Uang ini kemudian dibagi lagi dengan dua orang yang membantunya.
Sementara Rizka, karyawan swasta di Bintaro, Jakarta Selatan, tetap masuk kantor seperti biasanya. Belum ada kebijakan ataupun pembicaraan terkait dengan kerja dari rumah oleh atasannya. Dia menduga jumlah karyawan di unitnya yang sedikit, yakni 10 orang, menjadi pertimbangan untuk tidak bekerja dari rumah.
Bekerja dari rumah menurut dia kurang efektif karena merepotkan dalam memasukkan data atau laporan dari lapangan ke dalam sistem yang sudah terpasang di komputer kantor. ”Ada perangkat lunak khusus untuk memasukkan data. Kalau bisa pasang di komputer jinjing (laptop), memudahkan kerja dari rumah,” ucap Rizka.
Sebagian pekerja yang sudah bekerja dari rumah mengeluhkan pola kerja baru ini. Mereka kagok dan tidak leluasa menyelesaikan pekerjaan.
Menurut mereka, kekagokan terjadi karena koordinasi berantakan dan alur kerja rumit. ”Koordinasi lewat pesan percakapan kurang efektif dan responsnya juga lebih lambat. Imbasnya alur kerja terganggu dan jadi ribet,” kata Shella, karyawan bagian administrasi.
Ardy juga mengeluhkan kerja dari rumah. Karyawan swasta ini jadi sulit berkonsentrasi karena suasana rumah yang ramai. Padahal, dia harus segera menyelesaikan pekerjaan dari salah satu rekanan. ”Digangguin keponakan dan oramg rumah,” ujar Ardy.
Alhasil dia berencana untuk bekerja di luar rumah meskipun dianjurkan menghindari keramaian. Ardy mempertimbangkan kafe sebagai lokasi untuk bekerja.
Pekerjaan rumah
Pekerjaan yang melibatkan kontak fisik dengan banyak orang sangat rentan terhadap virus korona baru. Seperti pemberitaan The New York Times berjudul ”The Workers Who Face the Greatest Coronavirus Risk” pada 15 Maret, pekerja kesehatan paling rentan terhadap penyakit dan infeksi. Banyak dari mereka telah dikarantina karena terpapar virus.
Namun, persoalannya ialah pekerja yang menghadapi risiko tinggi berpenghasilan kurang dari upah rata-rata nasional. Banyak dari mereka berpenghasilan rendah, tidak memiliki cuti sakit, dan tetap bekerja karena tidak ingin kehilangan penghasilan.
Di Amerika Serikat, misalnya, seiring berkembangnya virus korona baru, banyak pelaku bisnis mulai menutup kantor dan toko. Sebagian dari mereka juga memulangkan pekerja lebih awal untuk memperlambat penyebaran virus.
Banyak perusahaan juga menerapkan kebijakan cuti darurat untuk melindungi karyawan mereka. Bahkan, legislator mengeluarkan paket bantuan yang mencakup cuti sakit dibayar untuk pekerja yang terkena Covid-19. Sayangnya tunjangan ini hanya berlaku untuk karyawan perusahaan dengan jumlah kurang dari 500.
Indonesia juga menghadapi tantangan yang sama. Bagaimana menerapkan kebijakan yang bisa mengakomodasi kepentingan pekerja ataupun pemilik perusahaan, termasuk kelas menengah ke bawah.