Remaja Lecehkan Tujuh Anak Laki-laki di Cengkareng
Seorang remaja laki-laki diduga melakukan kekerasan seksual terhadap tujuh bocah laki-laki di kamar mandi sebuah tempat ibadah di Kelurahan Kedaung Kali Angke, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seorang remaja laki-laki berinisial S (16) diduga melakukan kekerasan seksual terhadap bocah laki-laki, RA (9), di kamar mandi sebuah tempat ibadah di Kelurahan Kedaung Kali Angke, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Setelah ditelusuri, tindakan serupa diduga sudah dilakukan S terhadap tujuh anak laki-laki.
Sejauh ini, baru tiga anak selain RA yang diduga turut menjadi korban, yaitu RNW (8), MMA (8), dan ISK (8). Mereka bertempat tinggal di lingkungan rukun warga (RW) yang sama serta dilecehkan di kamar mandi tempat ibadah yang sama.
”Berdasarkan hasil visum, sebanyak enam anak ada luka, sedangkan satu anak nihil,” tutur Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Cengkareng Ajun Komisaris Antonius, Senin (16/3/2020) malam.
Kasus ini dilaporkan oleh ibu RA ke Polsek Cengkareng, Minggu (15/3). Adapun S diduga melakukan kekerasan seksual terhadap RA pada Selasa (3/3) sekitar pukul 17.00. Kasus terbongkar setelah korban bercerita kepada orangtuanya. Korban baru bercerita setelah sepekan dari kejadian karena takut dengan ancaman pelaku. Setelah RA mengaku, RNW, MMA, dan ISK menyusul menyatakan menjadi korban.
Berdasarkan keterangan sementara, perbuatan S dipicu oleh kebiasaannya menonton film porno dengan konten hubungan seksual yang menyimpang. Namun, polisi belum bisa langsung menyimpulkan penyebabnya. ”Arahnya nanti pemeriksaan psikologis pelaku,” ujar Antonius.
Berlandaskan laporan kejadian ini, polisi membawa korban untuk menjalani visum et repertum di salah satu rumah sakit di Jakarta Pusat. S diduga melanggar Pasal 82 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Berdasarkan keterangan sementara, perbuatan S dipicu oleh kebiasaannya menonton film porno dengan konten hubungan seksual yang menyimpang. Namun, polisi belum bisa langsung menyimpulkan penyebabnya.
Ia menambahkan, S sementara waktu diamankan di Polsek Cengkareng sebelum nantinya diserahkan ke rumah perlindungan sosial anak di Jakarta Timur. Pemeriksaan terhadap pelaku didampingi oleh orangtua serta melibatkan Balai Pemasyarakatan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Pemeriksaan psikologi
Kepala Balai Anak Handayani Jakarta—bagian dari Kementerian Sosial—Neneng Heryani mengatakan, penanganan anak berhadapan dengan hukum (ABH) harus bersandar pada prinsip bahwa anak merupakan korban meski juga pelaku kejahatan termasuk pelecehan seksual. ”Anak yang membunuh pun tetap korban, korban dari salah asuh,” ucapnya.
Balai Anak Handayani sudah berpengalaman menangani ABH, baik yang berposisi sebagai korban, saksi, maupun pelaku. Neneng menuturkan, anak yang menjadi pelaku kejahatan saat tiba di sana akan ditempatkan di rumah observasi terlebih dulu, tidak langsung di asrama. Di rumah observasi, pelaku anak mendapatkan penilaian dari pekerja sosial serta pemeriksaan psikologis. Pemeriksaan mesti memperhatikan kenyamanan anak.
”Pertanyaan harus dengan rileks. Anak konsentrasi paling sejam, setelah itu dia bosan,” ujar Neneng.
Hasil penilaian dan pemeriksaan psikologis jadi bekal menentukan rencana intervensi. Setiap anak berbeda. Kebutuhan intervensi terhadap pelaku pelecehan seksual yang satu tidak sama dengan pelaku pelecehan seksual yang lain. Tugas-tugas tersebut membuat balai anak punya catatan perkembangan pelaku anak yang penting untuk proses hukumnya.
Terkait dengan kekerasan seksual anak terhadap anak, psikolog klinis anak dan remaja di Yayasan Pulih, Jakarta, Gisella Tani Pratiwi, mengatakan, yang kerap jadi alasan ialah adanya pembiaran, kurangnya pengawasan, meniru perilaku teman, mencoba-coba, serta kurangnya edukasi mengenai batasan perilaku yang boleh dan tidak.
Anak yang membunuh pun tetap korban, korban dari salah asuh.
Penegak hukum bisa juga menganalisis dari sisi kesenjangan relasi kuasa. Faktor kesenjangan bisa karena jender, usia, status sosial-ekonomi, kekuatan fisik, atau relasi psikologis yang tidak setara.
Gisella merekomendasikan agar selain diberikan hukuman kurungan, anak pelaku pelecehan seksual juga diwajibkan mengikuti konseling perubahan perilaku.
Namun, intervensi untuk pemulihan korban tidak boleh dilupakan. ”Jika pemulihan tidak diproses secara menyeluruh, dikhawatirkan korban dapat mengalami gangguan psikologis yang serius. Mungkin menjadi pelaku, atau memiliki perilaku tidak adaptif di kemudian hari yang mengganggu efektivitas hariannya serta orang lain di sekitarnya,” ucap Gisella.
Guna mencegah kejadian serupa berulang, Gisella memandang, masyarakat perlu satu pemahaman bahwa kekerasan seksual pada anak, siapa pun pelakunya, tidak bisa dibiarkan karena memengaruhi anak secara mendalam dan punya risiko yang berdampak jangka panjang.
Sejumlah pihak perlu mendengarkan dan membimbing anak secara sehat serta mendukung tumbuh-kembang anak. Selain itu, pendidikan seksualitas komprehensif perlu diberikan kepada anak sejak dini. Materi edukasi bisa disesuaikan dengan usia anak.