Tidak Mudah Menjaga Jarak di Tengah Merebaknya Wabah
Imbauan melakukan pembatasan sosial tak semudah yang didengar. Sejumlah warga masih kesulitan menerapkan praktik berjaga jarak sosial tersebut. Butuh keterlibatan berbagai pihak agar pembatasan berlangsung optimal.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Halte Bus Harmoni, Jakarta, tampak ramai menjelang tengah hari. Puluhan warga memadati hampir setiap ruas pintu koridor saat menunggu kedatangan bus dari berbagai rute. Selasa (17/3/2020) siang itu, pemandangan menjadi tidak biasa karena penumpang harus antre dengan jarak yang dibatasi. Seorang petugas halte Transjakarta saat itu meminta penumpang agar antre dengan jarak setidaknya 50 sentimeter.
Dengan antrean yang mengular, Rusdi (62), salah seorang penumpang, mengeluhkan pembatasan jarak itu. ”Pak, percuma kalau di luar kita antre dikasih jarak, tapi pas di dalam bus enggak diatur,” katanya. Persis setelah itu, penumpang yang antre langsung saling menyerobot saat bus datang.
Beruntung Rusdi dan istrinya masih bisa masuk meski berdesakan. Walau begitu, kondisi bus yang penuh turut membuat warga Ragunan, Jakarta Timur, ini khawatir. ”Sejak dua hari belakangan, naik bus umum jadi terasa waswas karena kabar virus korona jenis baru mudah tertular di sini. Konon, warga Jakarta saat ini diminta saling jaga jarak sekitar 1 meter supaya tidak ketularan. Tetapi, boro-boro, ini di mana-mana padat,” kata pria asli Brebes, Jawa Tengah, ini.
Kegelisahan Rusdi terkait virus korona baru atau Covid-19 sebenarnya kini menjadi kegelisahan banyak orang. Sejak Senin (16/3/2020), beredar informasi baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk berjaga jarak kerumunan dan benda di fasilitas publik. Hal itu dilakukan untuk memperkecil penularan virus korona melalui tetesan kecil saat batuk atau bersin dalam radius 1 meter hingga 2 meter.
Pembatasan sosial (social distancing) hangat menjadi pembicaraan setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan hal itu, Senin (16/3/2020). Presiden meminta warga agar mengurangi mobilitas orang, menjaga jarak, dan mengurangi kerumunan orang yang membawa risiko besar Covid-19. ”Kebijakan belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan beribadah di rumah perlu terus kita gencarkan untuk mengurangi tingkat penyebaran Covid-19,” kata Presiden.
Praktik pembatasan sosial tersebut diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Meski bermaksud baik karena mencegah penularan, praktik pembatasan justru kerap mempersulit warga yang beraktivitas di luar.
Suroh (51), warga Kemanggisan, Jakarta Barat, mengeluhkan imbauan yang sulit dilakukannya. Senin kemarin, dirinya sempat kesulitan mencari moda bus dari wilayah Batusari menuju kantornya di Mangga Besar. ”Kebetulan karena kantor saya menerapkan kebijakan tetap masuk kantor, jadinya kesulitan saat berangkat dan pulang. Baru pada hari ini, bus tersedia kembali,” tuturnya.
Astrid Meirina (60), warga Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, juga memandang pembatasan sosial masih sulit dilakukan sebagian orang. Sebab, dia yang berdagang kelontong harus menjaga persediaan barang dagangan. Setidaknya dua kali dalam seminggu, dia rutin berbelanja di Pasar Asemka, Jakarta Barat.
Saat berbelanja di pasar, sulit baginya untuk tidak berkontak fisik dengan bermacam orang. Mulai dari pedagang barang, pedagang makanan, pasti akan ada kontak fisik. Astrid juga mengeluhkan sulitnya menjaga agar tangan tidak menyentuh mulut atau bagian wajah setelah bersentuhan dengan orang lain.
”Saya juga sempat dengar kalau kita enggak boleh pegang bagian muka setelah berkontak fisik dengan orang. Kalau lagi di luar, kadang muka sedang berkeringat atau berminyak, rasanya enggak tahan untuk segera usap muka pakai tangan,” ujarnya.
Meski berat, langkah pembatasan sosial harus tetap dijalani. Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih menuturkan, pembatasan sosial saat ini merupakan satu-satunya langkah untuk meminimalkan penularan wabah.
Ia menduga, penularan Covid-19 masih akan terus berlangsung dan saat ini belum mencapai puncaknya. Pembatasan sosial akan banyak membantu, terutama meminimalkan lonjakan jumlah pasien. Berkurangnya lonjakan angka pasien juga akan meringankan pekerjaan petugas medis.
Sekretaris Satgas Covid-19 PB IDI Dyah Agustina Waluyo menjelaskan, langkah pembatasan sosial berusaha mencegah pertemuan antara warga yang masih sehat tetapi menjadi pembawa virus dan warga yang masih benar-benar sehat. Dengan langkah tersebut, kanal penularan melalui kerumunan bisa dihindari.
”Warga perlu memahami pentingnya langkah ini. Saya memahami tidak semua orang bisa melakukan ini, tetapi pembatasan sosial merupakan cara paling efisien untuk menjaga kesehatan dan keamanan warga. Hal ini pun meringankan beban petugas medis yang kini sedang kewalahan di lapangan,” ucap Dyah.
Maka, praktik pembatasan sosial harus ditingkatkan hingga ke seluruh lini, mulai dari perkantoran, transportasi, hingga pusat-pusat keramaian. Dyah menilai, warga harus diingatkan dan dibatasi jaraknya di setiap kesempatan.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkomitmen menerapkan pembatasan di moda bus kota, kereta rel listrik, kereta moda raya terpadu (MRT), lintas raya terpadu (LRT), dan bus trans. ”Seluruh moda beroperasi sesuai jadwal normal. Jumlah penumpang yang diangkut akan dibatasi guna menerapkan prinsip jarak sosial,” kata dia.
Dengan segala upaya dan berbagai keterbatasan, Indonesia kini berusaha memerangi persebaran wabah yang masif. Langkah dari warga untuk membatasi diri berkontak sosial, apa un itu, akan berperan penting sebagai tindakan preventif.
Lagi pula, wabah ini telah menyebabkan lima orang meninggal hingga Senin kemarin. Kita tidak ingin wabah ini memakan lebih banyak korban jiwa, bukan?