Enam Tersangka, Belasan Senjata Api, dan 10.000 Peluru
Polisi menangkap enam tersangka karena kepemilikan senjata api dan peluru ilegal. Tindak pidana itu terbongkar setelah dua orang di antaranya menganiaya seseorang dengan menggunakan dua senjata api.
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Berawal dari pengusutan penganiayaan yang melibatkan penggunaan senjata api, Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat membongkar jaringan jual-beli senjata api ilegal. Petugas menangkap enam tersangka dengan barang bukti total setidaknya 19 pucuk senjata api laras pendek maupun panjang serta lebih dari 10.000 butir peluru.
Para tersangka berinisial AK, JR, GTB, WK, MH, dan AST. Kasus bermula dari perselisihan antara AK dan JR dengan seseorang yang jadi korban penganiayaan mereka, berinisial DH.
“Awalnya, terjadi perselisihan antara AK, JR, dengan DH terkait jual-beli mobil merek Porsche,” ucap Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana, Rabu (18/3/2020), di Jakarta. Porsche itu milik AK dan dijual ke DH. Cekcok terjadi di wilayah Jakarta Barat pada 29 Januari lalu.
Penyebabnya, AK menilai DH mengingkari kesepakatan awal yaitu membeli mobilnya dengan harga Rp 800 juta. DH meminta harga diturunkan jadi Rp 700 juta mengingat terdapat kerusakan pada mobil yang menimbulkan biaya perbaikan sekitar Rp 90 juta. AK menolak dan meminta mobil dikembalikan, tetapi ia tidak mau mengembalikan uang muka sebesar Rp 300 juta yang sudah diserahkan DH. Korban bersikukuh uang muka harus kembali.
Karena itu, AK dan JR menganiaya DH. Nana mengatakan, Mereka memukul DH dengan senjata api serta melepaskan tembakan tepat di samping telinga korban. Senjata yang digunakan yaitu Zoraki Mod 9 mm dan Carl Walther kaliber 0,22 LR. Sundutan rokok juga “dihadiahkan” pada DH. Ia pun tidak terima dan langsung melaporkan kejadian itu ke Polres Metro Jakarta Barat.
“Saat penganiayaan ada yang merekam sehingga memudahkan kami melakukan penyelidikan,” ujar Nana. Polisi pun meringkus AK pukul 23.00 di hari yang sama. AK menyatakan pada polisi bahwa dua senjata untuk menganiaya DH merupakan milik JR. Adapun JR ditangkap keesokan harinya.
Setelah itu, JR mengaku mendapatkan senjata secara ilegal dari GTB sehingga polisi lantas membekuk GTB di sebuah rumah di Kelurahan Duri Kosambi, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, pada 19 Februari pukul 04.00. Di dalam rumah itu, polisi mendapat barang bukti lima senjata api, tiga pucuk senjata mimis, dan 350-an butir peluru.
Nana menjelaskan, setelah pengembangan, petugas mendapatkan informasi dari GTB bahwa ia juga menjual senjata secara ilegal ke WK, MH, dan AST. Polisi menangkap WK di Grogol Petamburan Jakarta Barat pada 21 Februari pukul 22.00, MH di Bogor Jawa Barat pada 22 Februari pukul 04.00, dan AST di Kelapa Gading Jakarta Utara tanggal 11 Maret pukul 03.00.
WK kedapatan menyimpan tiga senjata api dan 890-an peluru. MH memiliki satu senjata air soft gun jenis colt dan empat senjata gas kaliber 4,5 mm. AST mempunyai jumlah senjata dan peluru yang lebih fantastis, yakni sembilan pucuk senjata api, satu senjata air soft gun, satu senjata mimis, dan 9.200-an butir peluru.
Komisaris Teuku Arsya Khadafi, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Barat, menuturkan, AST yang merupakan pelaku bisnis bidang energi dalam pemeriksaan mengaku menyimpan senjata dan peluru hanya untuk hobi. “Namun, kami masih dalami lagi karena jumlahnya terlalu banyak (untuk sekadar hobi),” ucapnya.
Adapun WK menurut Arsya memang menjual kembali senjata-senjata api yang didapatnya dari GTB. WK memiliki toko perlengkapan militer serta senapan angin di Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Arsya menekankan, GTB, WK, dan MH merupakan pemain dengan peran penting dalam dunia jual-beli senjata ilegal di Jakarta. GTB mampu menyediakan berbagai macam senjata dan bagian-bagiannya sesuai pesanan dan sudah berbisnis lebih dari dua tahun. Adapun MH, meski ditangkap tanpa barang bukti senjata api, menurut dia punya keahlian merakit senjata modifikasi dengan bagian-bagian asli. Bagian-bagian senjata api yang dibutuhkan MH disediakan GTB.
Kriminolog Adrianus Meliala berpendapat, prestasi Polres Metro Jakarta Barat tersebut sekaligus menjadi tamparan bagi pemerintah secara keseluruhan, karena itu berarti senjata api ilegal beredar secara luas di masyarakat tanpa terawasi secara memadai. “Coba kalau mereka (AK dan JR) tidak ngamuk, tidak bakal tahu itu,” ujarnya.
Padahal, lanjut Adrianus, tindak pidana memiliki senjata api ilegal berpotensi menjadi pengungkit untuk tindak pidana lainnya, seperti terorisme, pembunuhan, dan perampokan. Sebagai contoh, juga di Jakarta Barat, perampok berinisial WA menggasak sekitar 3 kilogram emas dari toko emas di Pasar Pecah Kulit, Kecamatan Tamansari, tanggal 28 Februari dengan berbekal senjata api. Ia bahkan sempat memberi luka tembak pada kaki petugas kebersihan yang berusaha menghalanginya kabur.
Selain itu, senjata api berpotensi membuat pemiliknya merasa lebih percaya diri secara negatif, yang menjurus pada sikap mudah marah. Adrianus merujuk pada kasus pemilik mobil Lamborghini berinisial AM yang melepaskan tembakan dari senjata apinya karena tersinggung dengan ucapan dua pelajar SMA saat di Kemang, Jakarta Selatan, Desember silam.
Meski demikian, Arsya menjamin peredaran senjata api ilegal di Jakarta menurun dengan tertangkapnya GTB, WK, dan MH. Sebab, mereka tergolong tokoh sentral dalam dunia perdagangan gelap senjata api di Ibu Kota.
Para tersangka dikenakan Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun. Pasal lainnya yang juga dikenakan yaitu Pasal 170 Ayat 2 ketiga, Pasal 368, Pasal 333 Ayat 2, dan Pasal 335 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.