Kehidupan Semakin Virtual Saat Menjalani Pembatasan Sosial
Para pekerja berupaya menyiasati penyebaran virus korona jenis baru atau SARS-CoV-2 dengan pembatasan sosial (social distancing). Opsi bekerja secara virtual pun menjadi jalan untuk mencegah rantai penularan.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Azwarni (23) tengah beristirahat saat jam rehat kantor di kawasan kuliner Jalan Haji Agus Salim, Jakarta, Kamis (19/3/2020) siang. Pegawai customer service perusahaan telekomunikasi ini kebagian jadwal piket masuk sekali dalam seminggu setelah ada kebijakan bekerja dari rumah sekitar dua hari lalu.
Ia bercerita, kebijakan piket ke kantor seminggu sekali dibagi merata ke beberapa karyawan lain. Hal itu menyambut instruksi pemerintah terkait pembatasan sosial. Senin silam, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya penerapan social distancing. Presiden meminta warga mengurangi mobilitas orang, menjaga jarak, dan mengurangi kerumunan orang yang membawa risiko penularan virus.
”Karena itu, hari ini, yang ke kantor tersisa beberapa orang saja. Saya mewakili divisi pelayanan pelanggan, mengerjakan titipan tugas yang dikirim melalui surel kantor,” ujar Azwarni.
Tiga hari belakangan, kantor Azwarni begitu ketat menerapkan pembatasan sosial. Ia, yang baru kebagian jadwal ke kantor hari ini, merasakan interaksi antarpegawai kantor lebih berjarak dari biasanya. ”Selain itu, sebagian teman saya kemarin diperbolehkan pulang lebih awal. Jadi, di kantor enggak terlalu lama,” ucapnya.
Pengalaman Azwarni hanyalah sebagian kecil dari banyak pekerja di kota yang diimbau menerapkan pembatasan sosial. Di tengah santernya kabar penularan virus korona jenis baru atau SARS-CoV-2, para pekerja pun harus mengakali pola kerja baru, terutama bekerja yang efektif secara jarak jauh.
Dalam penerapan pola kerja jarak jauh, perkantoran pun akhirnya memanfaatkan sejumlah teknologi digital. Di kantor Azwarni, misalnya, pegawai terbiasa menggunakan aplikasi Zoom untuk menghubungi supervisor via layanan video telepon.
Layanan serupa dimanfaatkan Atifa Adlina (28). Penulis konten untuk situs informasi kesehatan ini menerapkan instruksi bekerja dari rumah sejak Rabu (18/3/2020). Sejak itu, seluruh koordinasi pekerjaan dilakukan via forum komunikasi dan conference call.
”Mulai kemarin, semua pegawai sudah enggak ada yang ke kantor. Saya bekerja di rumah sesuai jam kantor, pukul 09.00-18.00. Mulai pukul 09.00, diwajibkan conference call dan update kerjaan apa saja,” ucap Atifa.
Sejumlah aplikasi, mulai dari Whatsapp, forum koordinasi pekerjaan Slack, Google Hangouts, hingga panggilan telepon, sangat diandalkan dalam pekerjaan Atifa. Setiap daftar tugas yang dikerjakan pun terlacak melalui aplikasi tabel Google Sheets.
”Karena sejumlah perangkat ini, bekerja di rumah pun menjadi semakin virtual. Ada target dan harus beres hari itu juga, tetapi tetap bagi waktu dengan sejumlah aktivitas di rumah,” lanjut Atifa.
Pengalaman Azwarni dan Atifa menandai pola sebagian kerja yang kian virtual. Cara kerja seperti ini dapat mendukung pembatasan sosial. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam berharap pola serupa bisa lebih banyak dilakukan untuk memutus rantai penularan.
Menurut Ari, kerumunan massa, baik di dalam maupun luar ruangan, berpotensi mendukung penularan wabah coronavirus disease 2019 atau Covid-19. Wabah pun semakin mengkhawatirkan setelah diumumkan jumlah pasien yang meninggal di Indonesia per 19 Maret mencapai 25 orang.
Ari menilai, penggunaan aplikasi yang mendukung mobilitas pekerjaan dan berbagai kebutuhan secara virtual mesti didukung. Sebab, ia memandang penggunaan berbagai aplikasi virtual ini dapat mengantisipasi penularan wabah.
Nasia Safdar, Direktur Medis untuk Pencegahan Infeksi dari University Wisconsin of Hospital and Clinics, dalam artikel The Washington Post, menyampaikan, pola pikir pembatasan sosial perlu diterapkan ke berbagai hal, termasuk penggunaan sejumlah aplikasi di ponsel. Aplikasi jasa seperti ojek atau taksi daring, pengantaran makanan, serta penyewaan kamar dianggap berpotensi menjadi medium penularan wabah.
Nasia menganjurkan sebisa mungkin untuk mengurangi penggunaan aplikasi jasa ojek atau taksi daring. Hal tersebut lantaran sulitnya memastikan kendaraan yang berseliweran di luar sana benar-benar bersih dari virus.
”Namun, bila memang moda transportasi ini terpaksa Anda gunakan, coba pastikan untuk tidak menyentuh apa pun. Setelah menaiki kendaraan, pastikan untuk membersihkan tangan sebelum menyentuh bagian wajah,” ujarnya.
Begitu pun untuk aplikasi penyewaan kamar, Nasia mengingatkan agar tidak memilih jasa yang berada di wilayah rawan menurut peta penularan milik pemerintah. Jika memang terpaksa di wilayah tersebut, sebaiknya siapkan tisu basah, kemudian lap seluruh permukaan barang tempat Anda meletakkan barang. Selain itu, lap juga benda yang sekiranya sering disentuh, seperti pegangan pintu.
Terkait cara antisipasi tersebut, Ari memandang perlunya aturan yanf bersifat memaksa masyarakat untuk disiplin berjaga jarak. Dalam transportasi publik, misalnya, harus ada garis pembatas yang menandai jarak untuk antre. Begitu pun di toko swalayan, sebaiknya ada tanda serupa untuk pembatas, bila perlu dilengkapi dengan petugas untuk mendisiplinkan.
Ari memahami, tidak semua orang bisa menerapkan praktik pembatasan sosial. Hal tersebut terutama bagi pedagang yang setiap hari harus berinteraksi dengan banyak orang. Meski begitu, cara-cara pembatasan sosial harus tetap dilakukan dengan sedikitnya berusaha tidak bersentuhan secara fisik dengan orang lain.
Ia berpendapat, selama seseorang bisa menghindari kontak fisik serta mencuci tangan setelah beraktivitas, penularan masih dapat dihindari. Ia mengingatkan, penularan wabah terjadi melalui droplet, yakni tetesan kecil yang turut keluar saat batuk dan bersin dari seseorang yang terjangkit. Dari situ, setidaknya Anda perlu menjaga jarak dengan seseorang minimal 1 meter.