Polisi Telusuri Jaringan Senjata Internasional di Jakarta
Hampir seluruh senjata api ilegal yang disita polisi dari enam tersangka bermerek asal luar negeri. Petugas menelusuri kemungkinan adanya jaringan internasional yang terlibat memasok senjata.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat membongkar jaringan jual-beli senjata api ilegal yang melibatkan enam tersangka dengan barang bukti setidaknya 19 pucuk senjata api dan lebih dari 10.000 butir peluru. Polisi menelusuri pemasok senjata tersebut, termasuk kemungkinan adanya jaringan internasional.
Para tersangka berinisial AK, JR, GTB, WK, MH, dan AST. Adanya transaksi senjata api ilegal terbongkar berkat pengembangan kasus penganiayaan AK dan JR terhadap seseorang berinisial DH.
Kepala Satreskrim Polres Metro Jakarta Barat Komisaris Teuku Arsya Khadafi mengatakan, hampir semua senjata api ilegal yang ditemukan petugas bermerek luar negeri. Karena itu, penyidik sedang mendalami ada-tidaknya jaringan internasional yang turut bermain. ”Nanti kami akan berkoordinasi juga dengan agensi-agensi negara luar,” ucapnya saat dihubungi pada Kamis (19/3/2020).
AK dan JR sewaktu menganiaya DH menggunakan senjata api laras pendek jenis Zoraki Mod 9 mm dan Carl Walther kaliber 0,22 LR. Zoraki merupakan merek asal Turki, sedangkan Carl Walther asal Jerman.
Tersangka GTB menyimpan antara lain senjata api merek Remington asal Amerika Serikat dan Mauser asal Jerman. Adapun WK menyimpan antara lain pistol Smith & Wesson (AS) dan CZ atau Ceská zbrojovka (Ceko), kemudian AST memiliki senjata NAA atau North American Arms (AS), Glock (Austria), CZ, dan Remington.
Adapun AST juga memiliki senjata api buatan industri dalam negeri, PT Pindad (Persero), yang didesain untuk pertempuran. ”AST mengaku mendapatkannya dari GTB. Nah, ini kami dalami juga GTB mendapatkan dari mana,” ujar Arsya.
Kriminolog Adrianus Meliala menuturkan, terdapat lima kejahatan transnasional dengan profit terbesar di dunia, yaitu bisnis narkoba, perdagangan orang, penyelundupan orang, kejahatan terkait internet, serta perdagangan senjata api.
Menurut Adrianus, tindak pidana memiliki senjata api ilegal berpotensi menjadi pengungkit untuk tindak pidana lainnya, seperti terorisme, pembunuhan, dan perampokan. Itu terbukti dalam kasus penganiayaan yang dilakukan AK dan JR terhadap DH di Jakarta Barat.
Contoh lainnya, juga di Jakarta Barat, perampok berinisial WA menggasak sekitar 3 kilogram emas dari toko emas di Pasar Pecah Kulit, Kecamatan Tamansari, pada 28 Februari dengan berbekal senjata api. Ia bahkan sempat memberi luka tembak pada kaki petugas kebersihan yang berusaha menghalanginya kabur.
Selain itu, senjata api berpotensi membuat pemiliknya merasa lebih percaya diri secara negatif, yang menjurus pada sikap mudah marah. Adrianus merujuk pada kasus pemilik mobil Lamborghini berinisial AM yang melepaskan tembakan dari senjata apinya karena tersinggung dengan ucapan dua pelajar SMA saat di Kemang, Jakarta Selatan, Desember lalu.
Arsya mengatakan, tiga dari enam tersangka yang diringkus, yaitu GTB, WK, dan MH, merupakan aktor sentral dalam bisnis perdagangan gelap senjata api di wilayah DKI Jakarta. GTB mampu menyediakan berbagai macam senjata dan bagian-bagiannya sesuai pesanan dan sudah berbisnis lebih dari dua tahun.
WK menjadikan penjualan kembali senjata api yang diperoleh dari GTB sebagai bisnis tidak resminya. Usaha resminya adalah toko perlengkapan militer serta senapan angin di Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Ahli merakit
Adapun MH, meski ditangkap tanpa barang bukti senjata api (ia menyimpan satu senjata airsoft gun jenis colt dan empat senjata gas kaliber 4,5 mm), menurut Arsya, dirinya punya keahlian merakit senjata api modifikasi menggunakan bagian-bagian asli. Bagian-bagian senjata api yang dibutuhkan MH disediakan GTB, kemudian MH merakit senjata sesuai pesanan konsumen.
”Saat ini, saya pastikan peredaran senjata sebenarnya tidak sebanyak yang dibayangkan,” ujar Arsya. Itu lantaran tokoh-tokoh utamanya sudah dibekuk polisi. Selain itu, hanya kalangan tertentu yang bisa mengakses pasar senjata api ilegal. Ia menyebutkan harga senjata api yang dijual GTB berkisar Rp 80 juta untuk laras pendek hingga Rp 200 juta untuk laras panjang.
Terhadap senjata api ilegal yang sudah telanjur beredar, Arsya mengimbau para pemiliknya untuk menyerahkan ke polisi secara sukarela. Dengan cara demikian, polisi kemungkinan besar bisa menggunakan diskresi agar mereka tidak dihukum pidana.