Berdesakan di Kereta, Pemerintah Dinilai Tidak Belajar dari Kesalahan
Perlu ada ketegasan pemerintah melindungi warga dan pekerja yang masih beraktivitas, termasuk perlindungan finansial, terutama untuk pekerja harian atau buruh kontrak. Jika tidak, upaya menekan Covid-19 gagal.
Pembatasan layanan kereta rel listrik memperlihatkan kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi potensi penyebaran virus Covid-19 lebih luas. Pembatasan layanan tersebut justru mengakibatkan kepadatan dan sejumlah penumpang kesal dengan aturan pembatasan sosial yang dinilai tidak ketat.
Sebagai upaya mendukung kebijakan pemerintah yang meminta masyarakat bekerja dari rumah dan untuk pembatasan sosial agar mengurangi potensi penyebaran virus korona, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) memutuskan mengurangi jam operasional seluruh rute KRL.
Namun, kebijakan pengurangan jam operasional dari pukul 06.00 hingga pukul 20.00 dengan 713 perjalanan per hari mengakibatkan kepadatan penumpang di sejumlah stasiun dan di dalam kereta, Senin (23/3/2020).
Baca juga : Operasional KRL Jabodetabek Kembali Normal Senin Sore
”Niat pemerintah dan PT KCI untuk social distancing agar menekan penyebaran virus Covid-19 sudah baik. Namun, yang saya alami hari ini justru membuat saya dan mungkin penumpang lain takut. Pemerintah atau penyelenggara angkutan massal tidak belajar dari kasus kepadatan penumpang bus Transjakarta lalu,” kata Triyanto (45), warga Depok yang berangkat dari Stasiun Citayam.
Pegawai swasta di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, tersebut mengatakan, imbauan pemerintah untuk bekerja di rumah belum terlihat karena saat ia berangkat dari Stasiun Citayam menuju Stasiun Gondangdia, kondisinya sangat padat oleh penumpang. Tidak ada jarak aman antarpenumpang di dalam kereta, bahkan berdesakan.
”Kantor saya sudah ada pembatasan jam kerja. Sebagian karyawan kerja di rumah. Kebetulan saya piket hari ini sampai pukul 15.00. Saya pikir tadi bakal sepi karena ada kebijakan dari pemerintah, tetapi ketika berangkat malah padat banget di dalam kereta. Ini bahaya sekali. Dengar penumpang bersin langsung takut,” tutur Triyanto.
Ia menilai imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah tidak dijalankan secara ketat dan tidak ada pengawasan sehingga perusahaan tidak mengindahkan imbauan tersebut. Seharusnya ada sanksi tegas bagi perusahaan yang masih membiarkan karyawannya bekerja di kantor tanpa ada batasan jumlah dan jam kerja.
Pengalaman dan ketakutan serupa dirasakan Neyla Hastiyasrid (29), warga Pamulang, Tangerang Selatan, yang berangkat dari Stasiun Rawabuntu menuju Stasiun Sudirman. Ia harus berdesakan bersama penumpang lainnya. Kepadatan dalam kereta membuatnya semakin cemas tertular virus Covid-19.
”Jika setiap hari terjadi kepadatan seperti hari ini dan tidak ada upaya serius dari pemerintah, kasus penderita virus Covid-19 di Jakarta akan meledak. Bayangkan saja, kami desak-desakan begini. Tidak ada jarak aman. Ini terlalu berisiko,” kata perempuan yang bekerja sebagai tenaga staf pemasaran perusahaan retail pakaian dan sepatu itu.
Bagi Neyla, aturan bekerja di rumah atau pembatasan jam kerja oleh pemerintah belum berlaku di perusahaannya yang berlokasi di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Untuk itu ia sangat berharap ada aturan tegas dari pemerintah yang melindungi para karyawan yang sampai saat ini masih berkerja.
Ia mengaku kesadaran untuk pembatasan sosial sudah terbangun karena kasus positif Covid-19 di Indonesia dan khususnya di Jakarta sudah banyak. Hingga saat ini, jumlah pasien Covid-19 terus meningkat menjadi 579 pasien. Bahkan, jumlah yang meninggal karena wabah ini pun terus bertambah, mencapai 49 orang. Namun, kesadaran tersebut belum dibarengi upaya tegas dari aturan pemerintah untuk melindungi warga.
”Menurut saya, pemerintah pusat dan daerah gagal melindungi warganya dari pandemik virus Covid-19. Contoh kecil, kami sampai saat ini masih harus ke kantor dan di dalam kereta berdesakan. Bagaimana kami mau waspada dalam situasi seperti ini?” kata Nayla.
Sebagai tenaga staf pemasaran, dalam sehari Nayla bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 14.00. Ia cukup sering bertemu para pekerja untuk mencatat aktivitas masuk keluar barang hingga membuat laporan tertulis.
Penumpang lainnya, Arie Widiantio (35), warga Cakung, Jakarta Timur, mengatakan, imbauan dari pemerintah saja tidak cukup untuk menekan penyebaran virus Covid-19.
Menurut Arie, selama tidak ada aturan tegas dari pemerintah untuk mengatur pembatasan sosial, perusahaan tidak akan memberlakukan pembatasan jam kerja atau meminta karyawan bekerja di rumah. Hal ini karena perusahaan tidak mau merugi.
Baca juga : Tangkal Korona, Polda Metro Jaya Galakkan Patroli Malam Bubarkan Kumpulan Massa
”Nah, perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk melindungi warga dan pekerja yang masih beraktivitas. Termasuk perlindungan finansial, terutama untuk para pekerja harian atau buruh kontrak. Jika ini tidak dilakukan, upaya menekan penyebaran virus Covid-19 akan sulit,” kata Arie yang khawatir tertular virus Covid-19 karena berdesakan dengan penumpang di dalam kereta.
Layanan kembali normal
Sebelumnya, VP Corporate Communications PT KCI Erni Sylviane Purba dalam keterangan tertulis menjelaskan, PT KCI telah melakukan evaluasi atas penyesuaian jadwal operasional KRL Commuterline yang berlangsung Senin (23/3/2020) pagi. Dari hasil evaluasi, jadwal KRL kembali normal mulai Senin pukul 15.00 dan berlanjut normal hingga seterusnya.
Dengan normalisasi jadwal ini, lanjut Purba, KRL akan kembali beroperasi melayani 991 perjalanan per hari. Layanan KRL dimulai pukul 04.00 hingga pukul 24.00 dan berlaku untuk seluruh 80 stasiun dan seluruh rute KRL.
”Dengan normalisasi jadwal ini, kami mengimbau pengguna untuk tetap beraktivitas dari rumah, kecuali kegiatan yang sangat perlu dan mendesak. Jadwal KRL kembali normal tidak untuk dimanfaatkan bepergian dengan tujuan-tujuan yang tidak mendesak,” jelas Purba.
Aditya Dwi Laksana, Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian, Masyarakat Transportasi Indonesia, Senin (23/3/2020) menjelaskan, memang, dibandingkan penerapan kebijakan pembatasan Senin pekan lalu yang sangat mendadak dan membuat masyarakat tidak bisa menyusun rencana perjalanan, penerapan kebijakan pembatasan pada Senin ini sedikit lebih baik.
Namun, di tengah persebaran virus korona yang meluas, kebijakan pembatasan layanan transportasi di DKI Jakarta, khususnya jam operasi, kurang pas. Apalagi pemerintah menginginkan adanya penerapan kebijakan social distancing atau jaga jarak aman antarpenumpang dan menghindari kontak fisik di dalam angkutan.
Dengan adanya sejumlah moda transportasi yang beroperasi di DKI Jakarta, lanjut Aditya, sebelum membuat kebijakan, sebaiknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memahami karakteristik setiap moda angkutan yang beroperasi. Untuk MRT Jakarta dan LRT Jakarta, ia menilai kedua moda berbasis rel itu tidak ada masalah.
Selain beroperasi di dalam kota (urban transport), pengguna kedua moda transportasi ini adalah kelas menengah ke atas. Karena itu, begitu ada pembatasan layanan, dengan mudah mereka mencari alternatif angkutan atau malah kembali menggunakan kendaraan pribadi.
Namun, untuk Transjakarta dan KRL berbeda. Jika disandingkan, keduanya merupakan transportasi massal dengan jangkauan layanan yang luas, dari sub-urban ke urban, dan sebaliknya. Atau angkutan yang melayani dari pinggiran Jakarta ke tengah Jakarta dan sebaliknya. Pengguna kedua jenis angkutan umum itu lebih banyak kelas menengah ke bawah, bahkan juga masyarakat berpenghasilan rendah.
Untuk bisa membatasi layanan kedua transportasi itu, menurut Aditya, harus dilakukan secara bertahap. Pembatasan tidak bisa langsung dilakukan secara drastis, baik jam operasi maupun jumlah layanannya. Ketika itu dilakukan, yang terjadi seperti pada Senin ini di mana penumpang KRL masih menumpuk. Sementara untuk Transjakarta tidak terjadi.
”Dalam pembatasan layanan hari ini, saya melihat manajemen KRL hanya ingin ikut mendukung program pembatasan transportasi yang dilakukan DKI Jakarta,” jelas Aditya.
Baca juga : Demi Cegah Meluasnya Korona, Gelaran Pilkades di Kabupaten Bekasi Ditunda