Layanan Angkutan Umum Tidak Dapat Dibatasi Dengan Drastis
Di tengah persebaran virus korona yang meluas, kebijakan pembatasan layanan transportasi di Jakarta khususnya jam operasi justru dinilai kurang tepat.
Mulai Senin (23/03/2020) kemarin, layanan angkutan umum di Jakarta, serta dari dan ke Jakarta kembali dibatasi. Meski tidak sedrastis Senin pekan lalu, namun langkah itu dinilai tetap kurang pas karena pembatasan layanan transportasi umum seharusnya dilakukan bertahap sesuai karakteristik angkutan, serta untuk mengedukasi pengguna.
Aditya Dwi Laksana, Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian, Masyarakat Transportasi Indonesia, Senin (23/03/2020) menjelaskan, memang, dibandingkan penerapan kebijakan pembatasan Senin pekan lalu yang sangat mendadak dan membuat masyarakat tidak bisa menyusun rencana perjalanan, untuk penerapan kebijakan pembatasan di Senin ini sedikit lebih baik.
Namun, di tengah persebaran virus korona yang meluas, kebijakan pembatasan layanan transportasi di DKI Jakarta khususnya jam operasi kurang pas. Apalagi pemerintah menginginkan adanya penerapan kebijakan social distancing atau jaga jarak aman antarpenumpang dan menghindari kontak fisik di dalam angkutan.
Dengan adanya sejumlah moda transportasi yang beroperasi di DKI Jakarta, lanjut Aditya, sebelum Pemprov DKI membuat kebijakan, sebaiknya pemprov memahami karakteristik setiap moda angkutan yang beroperasi. Untuk MRTJakarta dan LRTJakarta, ia menilai kedua moda berbasis rel itu tidak ada masalah.
Selain keduanya beroperasi di dalam kota (urban transport), profil pengguna kedua moda transportasi ini adalah kelas menengah ke atas. Sehingga begitu ada pembatasan layanan, dengan mudah mereka bisa mencari alternatif angkutan. Atau malah kembali menggunakan kendaraan pribadi mereka.
Namun untuk Transjakarta dan KRL itu berbeda lagi. Bila disandingkan, keduanya merupakan transportasi massal dengan jangkauan layanan yang luas, dari sub urban ke urban, dan sebaliknya. Atau angkutan yang melayani dari pinggiran Jakarta ke tengah kota Jakarta dan sebaliknya. Adapun pengguna kedua jenis angkutan umum itu lebih banyak kelas menengah ke bawah, bahkan juga dari masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Untuk bisa membatasi layanan kedua transportasi itu, menurut Aditya, harus dilakukan secara bertahap. Pembatasan tidak bisa langsung dilakukan secara drastis, baik jam operasi ataupun jumlah layanannya. Ketika itu dilakukan, yang terjadi seperti Senin ini dimana penumpang KRL masih menumpuk. Sementara untuk Transjakarta tidak terjadi.
"Karena dalam pembatasan layanan hari ini, saya melihatnya manajemen KRL hanya ingin ikut mendukung program pembatasan transportasi yang dilakukan DKI Jakarta," jelas Aditya.
Baca juga: Tanggap Darurat Covid-19 DKI yang Berdampak Besar pada Kawasan Sekitarnya
Menurut Aditya, seharusnya seluruh operator dan pemerintah duduk bersama. Apalagi dengan adanya himbauan bekerja dari rumah, selama sepekan lalu tren penurunan penumpang sudah terjadi. Dengan begitu operator angkutan bisa memberikan masukan ke gubernur, bagaimana cara pelaksanaan pembatasan transportasi dilakukan.
Untuk Transjakarta, lanjut Aditya, dengan tren penurunan penumpang, maka bisa diketahui rute-rute mana saja yang bisa tetap dioperasikan untuk melayani mobilitas. Untuk pembatasan saat ini yang diterapkan manajemen Transjakarta, Aditya melihat, itu sudah sebagai bentuk pengurangan secara bertahap.
Itu karena Transjakarta tidak lagi secara ketat hanya mengoperasikan 13 koridor BRT seperti pekan lalu. Namun mulai Senin ini selain mengoperasikan 13 koridor BRT, Transjakarta juga masih mengoperasikan rute yang merupakan koridor pengembangan BRT. Sehingga total ada 28 rute BRT yang dilayani.
Namun dari sisi jam operasi, Aditya melihat kurang pas. Dengan pelayanan awal sebagai angkutan 24 jam, ia melihat kurang tepat jika Transjakarta langsung membatasi jam operasi ke 20.00. Seharusnya pembatasan sampai ke 23.00 lalu bertahap ke jam 22.00 dan seterusnya.
Untuk KRL pun ia melihat demikian. Aditya melihat, tidak bisa layanan KRL langsung dibatasi ke 20.00. Seharusnya waktu pelayanan angkutan dibatasi secara bertahap.
"Tujuannya supaya masyarakat yang memang masih bekerja dan dunia usaha yang masih berkegiatan untuk bisa menyesuaian diri dan pelan-pelan mengurangi," jelas Aditya.
Hal lain yang ia kritisi adalah, meski secara bertahap mengurangi jam pelayanan angkutan, namun untuk armada tidak bisa dikurangi khususnya di jam-jam sibuk. Justru saat jam sibuk pagi hari dan sore, jumlah armada harus ditambah supaya social distancing bisa diterapkan dan kontak fisik antarpenumpang bisa berkurang demi mencegah persebaran virus korona.
Untuk Transjakarta, Aditya melihat, penambahan armada bisa dilakukan dengan cara pengalihan bus. Yaitu dengan mengalihkan bus-bus yang selama ini melayani rute dengan okupansi rendah, ke rute-rute yang demand penumpangnya tinggi.
KRL juga demikian, sebaiknya manajemen KRL menambah rangkaian kereta di saat jam sibuk. Lalu, seiring dengan penurunan jumlah penumpang, manajemen KRL bisa mengurangi jam operasional di pagi hari dan di malam harinya, misal dari yang semula mulai jam 04.00 secara bertahap bisa dimulai jam 05.00, atau dari yang semula pelayanan terakhir jam 24.00 bisa bertahap dimajukan jam selesai pelayanan dengan catatan sambil mencermati penurunan jumlah. Kemudian untuk rute-rute tertentu, pelayanan dilakukan dengan mengatur headway atau jarak antarkereta.
Baca juga: Buruh Minta Dilibatkan Atasi Dampak Covid-19
"Untuk penumpang Transjakarta dan KRL yang profil penggunanya mirip-mirip seperti itu, bila pembatasan dilakukan drastis, akan sulit bagi mereka untuk mencari angkutan alternatif. Ini beda dengan penumpang MRT ataupun LRT yang dengan gampang mencari angkutan alternatif," jelasnya.
Apresiasi
Dengan situasi pada Senin ini dimana penumpukan penumpang masih terjadi di stasiun dan kemudian manajemen KRL mengembalikan pelayanan ke jadwal noral, Aditya mengapresiasi kebijakan itu.
Erni Sylviane Purba, VP Corporate Communications PT KCI dalam keterangan tertulisnya menjelaskan, PT Kereta Commuter Indonesia telah melakukan evaluasi atas penyesuaian jadwal operasional KRL Commuter Line yang berlangsung Senin (23/03/2020) pagi. Dari hasil evaluasi, jadwal KRL kembali normal mulai Senin sore pukul 15.00 dan berlanjut normal hingga seterusnya.
Dengan normalisasi jadwal ini, lanjut Purba, KRL akan kembali beroperasi melayani 991 perjalanan per hari. Layanan KRL dimulai pukul 04.00 hingga 24.00 dan berlaku untuk seluruh 80 stasiun dan seluruh rute KRL.
"Dengan normalisasi jadwal ini, kami menghimbau pengguna untuk tetap beraktivitas dari rumah, kecuali kegiatan yang sangat perlu dan mendesak. Jadwal KRL kembali normal tidak untuk dimanfaatkan bepergian dengan tujuan-tujuan yang tidak mendesak," jelas Purba.
Aditya menambahkan, sebelumnya KCI sudah melakukan pembatasan operasional, kemudian mengembalikan ke layanan normal, itu tidak melulu salahnya KCI. KCI ingin memberikan dukungan kepada pemerintah DKI atas program pembatasan angkutan umum, namun ternyata belum bisa.
Dengan pembatasan operasi angkutan umum, lanjut Aditya, Pemprov DKI menginginkan supaya masyarakat teredukasi, bahwa angkutan umum sudah jauh berkurang sehingga masyarakat akan mengurangi perjalanan. "Sekali lagi, caranya bukan angkutannya dulu yang dibatasi lalu dilihat. Bila tetap membludak, lalu dikembalikan ke normal. Tidak begitu," jelasnya.
Aditya kembali mengingatkan pentingnya, pembatasan transportasi dilakukan dengan memahami karakteristik setiap moda angkutan, lalu dibuat kebijakan pembatasan secara matang.
"Namun melihat tren penumpang yang juga sama sama turun baik di MRT, LRT, Transjakarta, ataupun KRL, kemungkinan nanti secara bertahap memang dilakukan pengurangan operasional. Jadi pembatasan memang tetap harus menyesuaikan dengan volume penumpang, jangan ambil kebijakan drastis. Volume penumpang turun 30-40 persen tetapi pembatasan langsung di peak hour sampai 50 persen. Itu kan sulit," jelasnya.
Aditya kembali mengingatkan, operator transportasi itu tidak untuk membatasi demand, tetapi untuk menyediakan pola operasional dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan demand.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta menambahkan, dengan pelayanan KRL yang dikembalikan seperti semula maka jarak aman antar penumpang tetap terjaga. "Prinsipnya kita mendukung, karena masih banyak pekerja informal yang melakukan kegiatan," jelasnya.
Terpisah, Budi Rahardjo, Kepala Humas Badan Penyelenggara Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menjelaskan, himbauan untuk membatasi pergerakan sudah gencar dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
"Tugas sektor transportasi adalah bagaimana mengupayakan semaksimal mungkin upaya pencegahan penularan corvid-19 melalui angkutan umum massal. Pembelajaran dari negara lain membuktikan bahwa angkutan umum massal memiliki resiko tinggi untuk penularan, bahkan di negara tertentu dihentikan operasionalnya," jelas Budi.
Baca juga: Nasib Buruh di antara Korona dan ”Omnibus Law”
Antisipasi pencegahan di Jabodetabek sebenarnya sudah dilakukan secara bertahap. Sejak beberapa waktu lalu sudah diupayakan agar jumlah penumpang dikurangi agar memungkinkan social distancing.
Harapannya, lanjut Budi, adalah semakin banyak masyarakat sadar untuk beraktivitas di rumah untuk sementara. "Untuk itu maka dilakukan penyesuaian operasional," jelasnya.
Kenyataan pada Senin ini ternyata masih cukup banyak masyarakat yang menggunakan angkutan umum massal khususnya KRL, sehingga dilakukan evaluasi untuk dikembalikan layanannya seperti sedia kala.
"Saya kira permasalahan ini tidak bisa dipecahkan oleh sektor transportasi saja, diperlukan langkah nyata dan kesadaran pihak-pihak lain untuk mengurangi aktivitas secara signifikan terkait penggunaaan angkutan umum massal," jelas Budi.