Aturan Pelarangan Mudik Selama Pandemi Covid-19 Ini Masih Dibahas
Pekerja sektor informal mulai meninggalkan Jakarta sambil membawa risiko penyebaran virus korona jenis baru. Pemerintah masih mencari langkah hukum untuk mencegahnya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terlepas imbauan agar masyarakat Jakarta jangan meninggalkan kota, termasuk pulang ke kampung halaman di tengah pandemi virus korona jenis baru, para pekerja di sektor informal berangsur melakukannya. Butuh aturan yang lebih mengikat guna memastikan mobilitas warga terkendali.
”Imbauan jangan mudik sudah dikeluarkan Pemerintah Provinsi Jakarta sejak awal Maret. Jakarta termasuk zona merah penularan Covid-19 (penyakit akibat terjangkit virus korona jenis baru). Jangan sampai warganya menjadi pembawa ke daerah lain,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam jumpa pers pada hari Kamis (26/3/2020).
Seperti yang diberitakan sebelumnya, pekerja di sektor informal, terutama pedagang kaki lima, mulai meninggalkan Jakarta karena pendapatan nyaris tidak ada. Aturan pembatasan keluar rumah mengimbas tidak adanya pembeli dagangan sehingga demi menghemat biaya hidup mereka memutuskan sementara kembali ke kampung halaman (Kompas.id, 25 Maret 2020).
”Masalah ini masih dibicarakan di Gugus Tunas Penanganan Covid-19 Jakarta. Kami sedang mencari kemungkinan membuat langkah hukum terkait mobilitas warga,” kata Anies.
Menurut dia, pemerintah sudah bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membubarkan keramaian seperti tongkrongan-tongkrongan warga. Selain itu, mereka juga menyambangi tempat-tempat yang biasa dijadikan tempat berkumpul warga negara asing, seperti ekspatriat dan wisatawan, guna memastikan ketaatan terhadap imbauan pelarangan keramaian.
Kepala Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DKI Jakarta Catur Laswanto menjabarkan, data per Kamis sore ada 495 orang yang positif mengidap virus korona jenis baru. Angka kematian lebih tinggi daripada kesembuhan, yakni 48 orang. Sejauh ini baru 29 orang yang berhasil sembuh.
Jumlah orang dalam pemantauan ada 1.850 orang dan sebanyak 1.393 orang sudah dinyatakan sehat. Pasien dalam pengawasan ada 895 orang dan yang telah sembuh ada 604 orang.
Anies meminta kesadaran masyarakat membantu orang-orang yang rentan, seperti warga lansia, orang berpenyakit asma, berpenyakit jantung, ataupun masalah kesehatan lainnya. Jangan sampai mereka terpaksa keluar rumah.
”Mohon lurah, RT, dan RW membuat sistem yang membantu warga lansia mencukupi kehidupan sehari-hari, misalnya membantu membeli kebutuhan pokok agar mereka yang rentan tidak perlu bepergian,” ucapnya.
Kelembagaan sosial
Pakar kependudukan dan ketenagakerjaan Yayasan Bakti Bangsa, Titik Handayani, menjelaskan, 80 persen tenaga kerja di Indonesia bergerak di sektor informal. Mobilitas merupakan keniscayaan bagi mereka yang penghidupannya bergantung dari nafkah harian. Apabila di satu lokasi tidak ada pendapatan, secara alami mereka bergerak ke tempat lain.
Menurut dia, keputusan Kementerian Keuangan hendak memberi bantuan langsung tunai cukup bijak mengingat santunan ini bisa membantu keberlangsungan hidup pekerja informal. Namun, perlu dilihat data yang menjadi landasan kebijakan itu.
”Kalau memakai data Program Keluarga Harapan persyaratannya ada tiga, yaitu sektor kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial,” kata mantan peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini.
Sektor kesehatan mencakupi keberadaan ibu hamil dan anak balita. Pendidikan berarti memiliki anak dalam usia sekolah dan kesejahteraan sosial mencakup warga lansia dan penyandang disabilitas. Banyak pekerja informal tidak masuk ke dalam syarat salah satu sektor itu, terutama mereka yang lajang.
Titik menekankan pentingnya kelembagaan sosial masuk sebagai penyedia data. Di bawah dinas kependudukan dan catatan sipil terdapat dasawisma, antara lain adalah lurah, RT, RW, dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga. Mereka yang setiap bulan bisa rutin mendata keluar masuknya warga beserta pekerjaannya di suatu wilayah. Data ini yang dipakai untuk landasan pemberian bantuan.
”Sambil menunggu skema dari pemerintah keluar, kelembagaan sosial dasawisma ini yang bisa digalakkan mencegah warga meninggalkan Jakarta,” ujarnya.
Ia mencontohkan, pada masa krisis moneter tahun 1997-1998, kelembagaan sosial yang menjadi tulang punggung masyarakat Indonesia. Tradisi menyumbang atau jimpitan yang menjadi solidaritas sosial untuk memastikan setiap orang bisa bertahan melalui krisis.