Bulan Ramadhan sedianya menjadi masa panen bagi pedagang pasar malam. Lain halnya tahun ini. Jika wabah Covid-19 tetap berlanjut hingga bulan puasa datang, nasib pedagang menjadi tidak keruan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 memukul pedagang yang menggantungkan harapan di pasar malam. Di tutupnya pasar malam membuat mereka limbung. Persiapan menuju Lebaran pun terasa kian kelam.
Indra Warman (31) terkurung di rumah mertuanya di Palu, Sulawesi Tengah. Dua minggu lalu ia ke Palu. Tujuannya untuk menjemput anak semata wayang yang sedang sakit di rumah mertua.
Bersama anak dan istri, pedagang kerudung di pasar malam itu berencana kembali ke Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Namun, pandemi Covid-19 membuat semua rencananya berantakan.
”Sampai saat ini masih di Palu, nganggur. Rencananya cuma beberapa hari di Palu, terus balik ke Tambun. Tetapi, pasar malam sudah tutup sementara. Ditambah lagi saya bawa anak. Khawatir juga ke bandara saat-saat begini,” katanya saat dihubungi pada Kamis (26/3/2020) dari Jakarta.
Berdasarkan surat edaran Wali Kota Bekasi bertarikh 22 Maret 2020, pedagang kaki lima, baik yang berada di dalam maupun di luar area pasar, tidak dibolehkan melakukan aktivitas jual beli mulai dari 23 Maret 2020 hingga batas waktu yang belum ditentukan. Pelanggar akan ditindak tegas oleh Satuan Polisi Pamong Praja.
Menurut Indra, aturan itu turut menyasar sejumlah pasar malam yang berada di wilayah Bekasi. Biasanya, selama lima kali dalam seminggu dia membuka lapak di sejumlah pasar malam di wilayah itu.
Yang paling membuatnya khawatir adalah Ramadhan tak sampai sebulan lagi. Jika wabah Covid-19 masih belum reda, besar kemungkinan ia tak bisa menggelar lapak. Pupus sudah harapan untuk menangguk laba pada tahun ini.
”Seperti petani, Ramadhan itu ibarat panen. Masa panen hampir tiba, nyatanya padi keburu dihajar pianggang,” katanya mengumpamakan kondisi saat ini.
Pada Ramadhan tahun lalu ia membukukan pendapatan bersih Rp 40 juta. Uang inilah yang menjadi bekal pulang ke kampungnya di Sumatera Barat. Hasil keuntungan itu pula yang akan dibagi kepada keluarganya dan keluarga istri di Palu. ”Untuk sekarang belum terbayang bagaimana akan pulang kampung. Mudah-mudahan (Covid-19) bisa mereda menjelang Ramadhan,” harapnya.
Pedagang perhiasan titanium, Ramadan (30), berharap penutupan pasar malam bisa berakhir menjelang bulan puasa. Di tengah sepinya pembeli di tokonya yang berada di Pasar Gili, Kota Bambu Utara, Jakarta Barat, berdagang di pasar malam sebetulnya bisa menggenjot pendapatan.
Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Sejak seminggu terakhir, lanjutnya, pasar malam tidak lagi beroperasi. Bulan puasa tahun lalu ia bisa mengantongi Rp 15 juta sebagai untung bersih dari hasil penjualan di pasar malam. Uang sebesar itu bisa menjadi modal untuk mudik ke kampung halaman. ”Kalau situasi wabah ini berlanjut hingga puasa, bisa tegang rambut saya,” katanya sambil ketawa getir.
Covid-19 menurunkan minat warga membeli perhiasan. Kalaupun ada yang datang ke toko, mereka rerata menjual, bukan membeli. Dari setiap transaksi, dia memang mendapat untung Rp 5.000-Rp 10.000. Namun, kalau terus-terusan membeli, dia khawatir barang akan menumpuk dan uangnya terbenam. ”Dalam keadaan begini, mana kepikiran orang berhias,” tambahnya.
Hendri Disman (36), pedagang baju anak-anak di Kota Tangerang, Banten, menjelaskan, pasar malam di tempatnya sudah dilarang beroperasi sejak seminggu lalu. Batasan waktunya belum ditentukan. ”Tergantung situasi. Kalau korona masih berlanjut, sepertinya bisa diperpanjang hingga Ramadhan,” katanya.
Hendri dan keluarga dalam keadaan sulit. Istrinya yang bekerja sebagai karyawan di salah satu toko di Tanah Abang, Jakarta Pusat, juga mengabarkan bahwa toko akan ditutup hingga 5 April 2020. Dengan kondisi seperti ini, ia masih ragu untuk mudik di Lebaran kali ini.
”Ditambah lagi, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga mengimbau agar perantau tidak pulang dulu. Jadi serba salah. Kalau ditahan di sini, kantong makin tipis. Mudah-mudahan saja bisa reda menjelang Ramadhan. Kalau tidak, harus siap-siap mencari alternatif pekerjaan lain,” kata pria asal Pariaman, Sumatera Barat, ini.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengimbau perantau, terutama di daerah terjangkit Covid-19, tidak pulang kampung sementara waktu. Kepulangan perantau dikhawatirkan meningkatkan risiko penularan Covid-19 ke keluarga dan masyarakat di kampung halaman (Kompas, 24/3/2020).
Bagi orang-orang kecil, Covid-19 tidak semata urusan kesehatan. Ia adalah mendung yang menggelayuti masa depan. Anjuran bekerja dari rumah tidak relevan bagi mereka. Sebab, profesi mereka mensyaratkan harus bertemu banyak orang. Semoga pandemi cepat teratasi…