Episentrum Covid-19 Bisa Meluas jika Pergerakan Warga Tak Terkendali
Pergerakan warga dari episentrum pandemi Covid-19 berpotensi meningkatkan sebaran kasus. Ketimbang melakukan karantina wilayah, sebagian kalangan mengusulkan adanya aturan teknis yang ketat untuk warga yang bepergian.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bebasnya pergerakan warga ke dan dari episentrum pandemi virus korona jenis baru dapat berimbas pada naiknya kasus Covid-19 di daerah lain hingga pelosok. Hal ini harus disikapi dengan bijak agar tidak terjadi ledakan kasus yang bisa merenggut banyak jiwa.
Berdasarkan informasi dari laman resmi pemerintah tentang situasi Covid-19, hingga Kamis (26/3/2020) sore, tercatat 893 kasus positif Covid-19 dengan 780 dalam perawatan, 35 sembuh, dan 78 meninggal. Sebanyak 515 kasus di DKI Jakarta, 78 di Jawa Barat, 67 di Banten, dan 59 di Surabaya.
Banyaknya kasus di Jabodetabek dikhawatirkan meluas ke daerah lain hingga pelosok karena pergerakan ataupun warga mudik lebih awal. Sinyal-sinyal ini ditemukan dengan temuan sejumlah kasus.
Sebanyak empat warga Purbalingga, Jawa Tengah, positif Covid-19 berdasarkan hasil pemeriksaan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Yogyakarta. Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi Semua mengatakan, pasien yang positif memiliki riwayat perjalanan dari Jakarta. Mereka bekerja di sana dan sedang mudik.
Kasus lain adalah seorang pasien dalam pengawasan di Rumah Sakit Umum Daerah Soedarso Pontianak, Kalimantan Barat, yang meninggal. Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat Harisson mengatakan, pasien yang meninggal mempunyai riwayat perjalanan ke Surabaya, Jawa Timur.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dalam video imbauannya pada Rabu, 25 Maret, menyoal pergerakan warga yang mempercepat mudik ke kampung halaman dari Jabodetabek. Hal itu ditunjukkan melalui peningkatan penumpang dari Jabodetabek yang turun di terminal-terminal di Jawa Tengah.
Pada 22 Maret, misalnya, sebanyak 2.323 penumpang turun di Purwokerto dan 2.625 penumpang turun di Wonogiri. Lalu, pada 24 Maret, ada 80 bus yang membawa 1.776 penumpang dari Jakarta ke Jepara.
Ganjar meminta kepala daerah di Jawa Tengah mencermati situasi tersebut dengan tegas dan ketat menerapkan protokol kesehatan. ”Cek kesehatan perantau yang mudik dan pantau pergerakannya. Protokol kesehatan harus diterapkan hingga tingkat rukun tetangga sehingga bisa menelusuri riwayat kontak,” ucap Ganjar.
Jakarta sebagai salah satu episentrum pandemi dapat terlihat melalui peta sebaran kasus Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Titik persebaran kasus positif dan menunggu hasil pemeriksaan nyaris mencakup seluruh wilayah.
Hasil pemantauan hingga sore ini, tercatat 951 kasus dengan rincian 479 kasus menunggu hasil pemeriksaan, 322 kasus positif di tingkat kelurahan, dan 150 kasus positif dengan lokasi tidak diketahui. Dari 472 kasus positif itu, 290 dirawat, 112 isolasi mandiri, 27 sembuh, dan 43 meninggal.
Berkaitan dengan itu, pemerintah provinsi telah mengeluarkan imbauan beraktivitas dari rumah dengan meliburkan sekolah serta menutup perkantoran hingga pusat perbelanjaan. Upaya ini didukung dengan penertiban keramaian oleh kepolisian.
Nyatanya, masih banyak warga yang tidak patuh dan mengabaikan imbauan tersebut dengan berbagai alasan. Hal ini lantas memantik wacana adanya lockdown atau penutupan wilayah
Penutupan merupakan standar tertinggi dalam penanganan pandemi, tetapi bukan satu-satunya strategi yang bisa diterapkan. Korea Selatan dan Singapura, misalnya, menghadapi pandemi Covid-19 dengan upaya lain yang luar biasa. Korea Selatan melakukan tes Covid-19 secara luas dengan memanfaatkan teknologi dan pelacakan masif. Demikian juga Singapura, upaya ini didukung kesadaran warganya.
Menurut vaksinolog Dirga Sakti Rambe, penutupan sulit diterapkan di Indonesia karena harus mempertimbangkan dua hal. Pertama, kesiapan logistik untuk kebutuhan makanan sehari-hari, anggaran, dan distribusi. Kedua, kesiapan masyarakat itu sendiri. Sebab, karakteristik warga yang ”bandel”, susah diatur, sehingga harus benar-benar siap dan patuh untuk berdiam diri di rumah.
”Jangan sekadar jargon, butuh aksi. Pada praktiknya, kan, masih banyak warga berkeliaran. Harus disiapkan semuanya, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat,” ujar Dirga.
Ketimbang menerapkan karantina wilayah, lanjutnya, pemerintah bisa mengeluarkan aturan teknis, misalnya warga tidak boleh keluar rumah kecuali tenaga kesehatan.
”Sembari menunggu itu, kalau ada rencana penutupan, pemerintah siapkan langkah teknis, larangan apa yang boleh dan tidak boleh. Sekarang mal dan kantor masih buka, padahal sudah ada imbauan bekerja dari rumah,” tutur Dirga.
Hal serupa dikatakan peneliti penyakit menular Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif. Sejak awal pemerintah menerapkan pembatasan sosial dengan harapan adanya kesadaran warga. Sementara untuk penutupan disertai dengan pemaksaan dan harus ada kompensasi.
Menurut Syarif, tidak mudah bagi pekerja sektor informal dan pabrik-pabrik menghadapi penutupan karena biaya hidup di Jabodetabek sangat besar. Apalagi mendekati Ramadhan, banyak warga dengan hubungan jarak jauh harus pulang.
Untuk itu, pemerintah bisa membatasi transportasi publik dari Jabodetabek ke Jawa. Kemudian, pada area pintu keluar dan masuk dilakukan pemeriksaan suhu untuk mengurangi risiko.
Selanjutnya, dilakukan pembatasan sosial secara ketat dengan mengatur jarak pada area peristirahatan. ”Penerapan jarak dengan pasangi plakban untuk antrean ke toilet dan antrean belanja,” ujar Syarif.
Menurut dia, situasi sudah tidak terkendali karena jumlah kasus yang mencapai ratusan menyulitkan penelusuran. Problem besar lain ialah kesiapan daerah dalam menangani pasien sebab Jakarta saja kerepotan sehingga pemerintah membangun rumah sakit darurat di Wisma Atlet Kemayoran.
”Pemerintah daerah harus bersiap mengoptimalkan sumber daya yang ada. Pusat harus mendukung anggaran karena terbatasnya anggaran daerah,” katanya.
Sementara Kawal Covid19 menyarankan pemerintah mengambil langkah agresif agar sistem kesehatan tidak kolaps. Langkahnya adalah dengan tes yang agresif dan efisien, komunikasi yang cepat, transparan, dan konsisten serta memperkuat instruksi untuk mencegah penularan lebih lanjut.
Tes seluas dan sesegera mungkin dengan memperluas kriteria mencakup semua orang dengan gejala pneumonia tanpa hanya melihat kontak dan perjalanan. Utamakan tes di episentrum dengan area padat penduduk dan jemput bola ke warga.
Selanjutnya, kesiapan fasilitas kesehatan termasuk alih fungsi fasilitas lain untuk penanganan sehingga tidak membebani rumah sakit dan tenaga medis, serta mitigasi risiko agar meminimalkan tenaga medis terinfeksi.