Perpanjangan masa tanggap darurat Covid-19 tidak bisa mengandalkan imbauan saja. Masa darurat membutuhkan pendekatan radikal di lapangan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa tanggap darurat penyakit akibat infeksi virus korona baru atau Covid-19 di DKI Jakarta diperpanjang hingga 19 April 2020. Menghadapi situasi ini, imbauan tidak bisa menjadi tumpuan kebijakan. Keadaan darurat bisa dipakai untuk pendekatan hukum yang represif.
Pengumuman perpanjangan masa tanggap darurat disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota Jakarta, Sabtu (28/3/2020). Sebelumnya, masa tanggap darurat berlaku hingga 5 April 2020.
”Keputusan ini diambil karena jumlah orang yang positif terjangkit virus korona mencapai 603 orang dengan angka kematian 62 orang,” ucapnya.
Turut hadir dalam jumpa pers itu Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana dan Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal TNI Eko Margiyono.
Anies terus mengimbau masyarakat agar tidak meninggalkan rumah, kecuali demi berbelanja kebutuhan pokok, memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan, dan melakukan piket kerja bagi perusahaan yang tidak mampu sepenuhnya mempraktikkan bekerja dari rumah.
Masyarakat juga diminta jangan meninggalkan Jakarta untuk pulang ke kampung halaman guna mencegah penyebaran virus secara masif.
Opsi represif
Secara terpisah, sosiolog peneliti masyarakat akar rumput urban Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, menjelaskan, imbauan dari pemerintah sejatinya merupakan privilese yang hanya bisa diakses oleh masyarakat kelas menengah dan atas. Mereka merupakan lapisan sosial yang melek informasi dan mampu memanfaatkan berbagai kanal media sosial untuk menambah pengetahuan.
”Masyarakat akar rumput, terutama miskin kota, tidak terekspos imbauan-imbauan ini. Pemakaian gawai dan media sosial bukan untuk mencari informasi. Bagi mereka, media sosial adalah hiburan pelarian dari kemiskinan. Sangat naif jika pemerintah daerah mengharapkan masyarakat akar rumput berinisiatif mematuhi aturan demi kepentingan publik,” paparnya.
Ia mengemukakan argumen pengambilan tindakan represif situasional sebagai wujud pengelolaan masyarakat akar rumput di masa darurat. Menurut Asep, masyarakat akar rumput tidak memiliki kemewahan untuk memikirkan orang lain karena beban ekonomi memaksa pola hidup mereka bertahan secara harian. Terlepas imbauan, mereka akan terus keluar rumah untuk mencari nafkah.
Demikian juga dengan keadaan di tempat tinggal. Kebiasaan nongkrong di jalan-jalan kawasan permukiman padat lahir karena ruang tempat tinggal yang amat sempit.
Masyarakat akar rumput tidak memiliki kemewahan untuk memikirkan orang lain karena beban ekonomi memaksa pola hidup mereka bertahan secara harian.
Menurut dia, ada tiga langkah pengelolaan masyarakat yang bisa diambil. Pertama, mengambil pendekatan represif. Artinya, lurah bersama rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) tidak bisa sekadar memberi tahu penduduk mengenai bahaya pandemi dan menyuruh mereka tidak keluar rumah.
Harus ada sistem patroli rutin yang bisa dilakukan oleh aparat masyarakat, seperti RT, RW, Babinsa, dan anggota Karang Taruna. Mereka berkeliling permukiman setiap hari dengan sistem piket untuk membubarkan kerumuman orang dan memastikan setiap warga pulang ke rumah masing-masing, bukan pindah tempat berkumpul. Dari segi anggaran, memang harus disiapkan agar petugas piket dilengkapi alat pelindung diri.
”Sanksi represif tidak selalu berupa pidana dan denda. Bagi masyarakat akar rumput, sanksi sosial sangat efektif, misalnya ditegur secara publik dan dicap sebagai orang yang membahayakan tetangga. Patroli ini harus dilakukan setiap hari, mungkin selama beberapa bulan ke depan, sampai warga benar-benar menyadari pentingnya tinggal di rumah,” tutur Asep.
Langkah kedua, melakukan pendidikan masyarakat mengenai pola hidup sehat. Petugas patroli, sambil memastikan tidak ada warga berkumpul, juga mengingatkan mereka terus menjaga kebersihan. Caranya, dengan mengumumkan melalui pengeras suara sembari berkeliling. Selain itu, perlu juga dikomunikasikan melalui berbagai wadah media sosial RT/RW tentang cara pengasuhan anak selama di rumah agar tidak bosan.
Langkah ketiga, memikirkan sistem piket. Dalam hal ini, RT/RW merupakan ujung tombak karena mengetahui data warga yang harus keluar untuk bekerja sehingga memastikan ketika mereka pulang ke rumah harus langsung mandi dan mengganti pakaian.
”RT/RW juga bisa mengatur pola warga berbelanja harian. Misalnya pagi hari ketika tukang sayur keliling datang, RT/RW bisa menjaga agar warga tertib mengantre menjaga jarak. Bisa juga membuat jadwal serta jumlah pemakaian di ruang terbuka agar anak-anak tidak bosan,” ujarnya.
Kelompok rentan
Pada kesempatan berbeda, sosiolog perkotaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Henny Warsilah, meminta pemerintah memasukkan masyarakat akar rumput sebagai kelompok rentan tertular dan penular Covid-19. Artinya, penanganan mereka jangan disamakan dengan masyarakat urban secara umum yang memiliki akses ke jaminan kesehatan, asuransi, dan fasilitas kesehatan.
Apabila gagasan utamanya adalah memastikan mereka tetap di rumah, menurut Henny, harus ada layanan pemerintah yang mengantarkan kebutuhan pokok masyarakat akar rumput minimal ke permukiman masing-masing. Bantuan berupa santunan bisa dimanfaatkan untuk pola ini.