Pemerintah Perlu Segera Beri Bantuan untuk Pekerja Informal
Pemerintah perlu segera memberikan bantuan kepada para pekerja informal atau pekerja harian sehingga jika dilaksanakan karantina wilayah, mereka tetap dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pekerja informal di wilayah Jakarta mengaku belum siap jika pemerintah menerapkan karantina wilayah untuk mencegah sebaran virus korona baru penyebab Covid-19. Pemerintah perlu segera memberikan bantuan kepada para pekerja informal atau pekerja harian ini sehingga jika dilaksanakan karantina wilayah, mereka tetap dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Para pekerja informal di Jakarta rata-rata mengaku belum tahu harus mencari penghasilan dari mana jika harus berada di rumah dan hanya bisa berharap bantuan sosial dari pemerintah.
Didik Marianto (42), pengemudi ojek daring, mengatakan, selama dua minggu terakhir ini pendapatannya menurun akibat banyaknya masyarakat yang bekerja di rumah. Ia memperkirakan, pendapatannya akan terus menurun hingga kasus penyebaran Covid-19 ini mereda.
”Kalau kondisinya seperti ini terus, rakyat kecil seperti kami bisa sekarat bukan karena korona, melainkan karena penghasilan yang terus menurun dan tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujarnya di Jakarta, Senin (30/3/2020).
Didik mengatakan, dalam sehari biasanya dirinya sanggup mendapatkan sekitar 20 penumpang dengan penghasilan berkisar Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Namun, dalam keadaan seperti ini, dirinya hanya sanggup mendapat 3-4 penumpang setiap hari dengan penghasilan sekitar Rp 50.000.
”Saya tidak bisa membayangkan jika karantina wilayah dilakukan karena saya harus bekerja di luar rumah. Saya belum terpikirkan harus bekerja apa jika hanya berdiam diri di rumah,” katanya.
Syamsuddin (53), kuli panggul di Pasar Palmerah, Jakarta, menuturkan, penghasilannya juga semakin menurun karena sepinya pembeli selama beberapa minggu ini. Sebelumnya ia bisa mendapatkan upah sekitar Rp 90.000 per hari. Namun, karena sepinya pembeli, saat ini ia hanya mendapat upah sekitar Rp 65.000 per hari.
”Saya tidak sanggup jika harus berdiam diri di rumah karena masih harus mencari penghasilan untuk membayar biaya listrik dan kontrakan setiap bulan. Selain itu, anak istri saya juga masih butuh makan,” ucapnya.
Senada dengan Didik, Syamsuddin mengatakan tidak tahu harus bekerja apa jika harus berada di rumah. Ia pun tidak memiliki tabungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama karantina di rumah.
”Kalau mau buka usaha di rumah, juga tidak punya modal. Sedangkan saya juga belum tahu apakah akan mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah jika harus berdiam diri di rumah,” ucapnya.
Pemerintah perlu menghitung berapa banyak orang yang tidak bisa memiliki kemewahan untuk bekerja di rumah. Kemudian, kalau bisa, bantuan ini didistribusikan dalam bentuk sembako.
Sementara itu, Widyastuti (46), pedagang buah-buahan, menuturkan, pembeli dagangannya semakin sepi akibat imbas penyebaran virus korona baru ini. Ia pun berpikir untuk pulang kampung karena tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta.
”Biaya hidup di Jakarta sangat tinggi sehingga akan sulit untuk membeli kebutuhan pokok kalau saya tidak berjualan. Saya terpikir untuk pulang kampung, tapi sudah dilarang oleh pemerintah,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, menjelaskan, sistem karantina wilayah akan sulit dilakukan oleh golongan pekerja informal. Padahal, golongan tersebut bisa jadi sadar dan paham akan bahaya Covid-19.
”Mereka bisa jadi paham dan sadar akan bahaya bekerja di luar rumah pada saat pandemi virus ini. Namun, mereka tak kuasa karena harus memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti cicilan dan kebutuhan harian,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Imam mengatakan, Presiden telah mengeluarkan kebijakan untuk penundaan cicilan dan penurunan bunga kredit bagi usaha mikro, usaha kecil, sopir ojek, sopir taksi, dan nelayan. Namun, hal ini belum menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
”Memang golongan ini mendapat keringanan dari sisi pembayaran cicilan. Namun, mereka, kan, juga perlu memenuhi kebutuhan harian,” katanya.
Imam menuturkan, perlu ada bantuan sosial dari pemerintah dan perusahaan swasta melalui program tanggung jawab sosial perusahaan agar mereka bisa berdiam diri di rumah. Bantuan sosial ini harus efektif dan tepat sasaran.
”Pemerintah perlu menghitung berapa banyak orang yang tidak bisa memiliki kemewahan untuk bekerja di rumah. Kemudian, kalau bisa, bantuan ini didistribusikan dalam bentuk sembako,” katanya.
Menurut Imam, jika bantuannya diberikan secara uang tunai, hal ini masih akan tetap membuat orang-orang keluar rumah untuk berbelanja. Selain itu, pemerintah juga perlu menyusun regulasi yang tegas agar masyarakat bisa tetap berada di rumah.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengatakan, saat ini sudah banyak pekerja informal yang mudik lebih dahulu sebelum hari raya Idul Fitri. Presiden melihat arus mudik lebih awal terjadi bukan karena faktor budaya, melainkan karena keterpaksaan. Menurut dia, pekerja informal di Jabodetabek terpaksa pulang kampung karena penghasilannya menurun drastis, bahkan hilang.
”Tidak ada pendapatan sama sekali akibat diterapkannya kebijakan tanggap darurat, yaitu bekerja di rumah, sekolah di rumah, dan ibadah di rumah,” katanya.
Presiden pun meminta percepatan pelaksanaan program jaring pengaman sosial bagi pekerja informal ataupun pekerja harian. Dengan begitu, pekerja informal, buruh harian, pedagangan asongan, dan semua yang kehilangan penghasilan karena terdampak Covid-19 tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, program insentif untuk pengusaha mikro dan kecil juga diminta agar segera direalisasikan. Program tersebut penting untuk memberikan perlindungan sosial kepada pengusaha mikro dan kecil.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan, peraturan pemerintah tentang karantina wilayah akan dibahas pada Selasa (31/3/2020). Saat ini, pemerintah tengah memfokuskan untuk membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Relaksasi Keuangan dan Perbankan.
”Untuk itu, kita harus melakukan langkah hukum yang disepakati dengan DPR. Ini semua sudah diukur supaya situasi tetap aman,” kata Mahfud.