Tergoda Keuntungan Abaikan Kesehatan
Meski diiringi sejumlah pembenaran, para pelaku usaha nakal sebenarnya menyadari penggunaan jelantah merupakan kekeliruan. Motif ekonomi cenderung membuat mereka nekat memakai jelantah untuk konsumsi.
Jauh dari pengawasan dan mengaku bermodal pas-pasan merupakan kesamaan dari usaha rumahan nakal pengguna jelantah. Mereka menggunakan jelantah untuk menekan ongkos produksi demi memperbesar margin keuntungan dengan mengesampingkan kesehatan konsumen.
Pabrik tahu pong di Desa Cibadak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, terletak di jalan buntu di desa itu. Ruangan produksinya suram dengan penerangan minim, berlantai tanah yang sebagian becek oleh air bercampur minyak.
Di sana, Senin (2/3/2020) sore, salah satu pekerja, A (26) tengah sibuk menggoreng. Pemuda bertubuh kecil itu bekerja nyaris tanpa henti. Ia mulai merendam kedelai pada pukul 03.00 dini hari, hingga tuntas menggoreng tahu paling cepat pukul 19.00. “Iya, kejar setoran saya mah,” kata A yang menerima upah Rp 75.000 setelah bekerja hampir seharian penuh.
Ia tengah risau. Sudah beberapa bulan ke belakang, pabrik milik kerabat A yang asal Sukabumi, Jawa Barat, ini hanya memproduksi tahu dari 50 kilogram (kg) kedelai per hari. Padahal sebelumnya, usaha itu bisa menjual 80 kg – 150 kg per hari.
Baca juga : Lika Liku Jelantah, Si Limbah Minyak Goreng
Pengawas pabrik itu, UA (39) mengatakan, usaha itu tengah berjuang bertahan. Oleh sebab itu, penghematan ongkos dan tampilan menarik sangat penting. Bahkan, harga jelantah pun ikut naik drastis beberapa waktu terakhir. “Dua tahun lalu, jelantah masih Rp 50.000 per jeriken, lalu naik-naik, sekarang menjadi Rp 100.000 per jeriken,” katanya.
Usaha tahu pong itu menggunakan campuran minyak curah dan jelantah dengan proporsi 1:1. Selain harganya yang lebih murah dibandingkan harga minyak baru, penggunaan jelantah, kata UA, membuat tahu lebih coklat sehingga lebih menarik pembeli.
Saat ini, harga minyak curah mencapai Rp 11.000-13.000 per kg cukup memberatkan. Adapun jelantah lebih murah, yaitu Rp 100.000 per jeriken (sekitar 18 liter) atau sekitar Rp 6.600 per kg. “Harga bahannya naik, tetapi kan harga tahu segitu-gitu aja, Rp 80.000 untuk 1.000 potong,” ujarnya.
Dari penelusuran di Jabodetabek, harga jelantah yang dipasarkan ke usaha-usaha rumahan terus naik selama beberapa tahun belakangan. Harganya juga beragam dari Rp 100.000 per jeriken di Kabupaten Bogor, Rp 110.000 per jeriken di Jakarta Selatan, hingga Rp 150.000 per jeriken di Jakarta Timur.
Baca juga : Ancaman Kesehatan dari Konsumsi Jelantah
Usaha itu Tahu SKW yang terletak di ujung jalan becek di pinggiran Kali Pesanggrahan, sekitar 100 meter dari Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat, memproduksi 600 kg tahu yang dijual Rp 250 per bijinya. Usaha itu juga mencampurkan jelantah dan minyak baru. Harga itu lebih murah dibandingkan dengan produk dari usaha tahu yang menggunakan minyak baru, sekitar Rp 300 per potong.
Saat ini, harga minyak curah mencapai Rp 11.000-13.000 per kg cukup memberatkan. Adapun jelantah lebih murah, yaitu Rp 100.000 per jeriken (sekitar 18 liter) atau sekitar Rp 6.600 per kg.
Perbedaan harga yang signifikan mempengaruhi tingkat penjualan. Menurut AR, produk Pabrik Tahu SKW lebih diminati oleh pedagang pasar. Hal itu tampak dari peningkatan produksi dari rata-rata empat kuintal per hari pada 2019, menjadi enam kuintal per hari pada 2020.
Baca juga : Jelantah Mengalir hingga Eropa
Diam-diam
Para pemilik usaha nakal pengguna jelantah umumnya sudah tahu penggunaan minyak goreng bekas untuk usaha itu tak sesuai aturan. Sebisa mungkin mereka berkelit dan mengaku hanya menggunakan minyak baru. Di sebuah gang area pembuatan kerupuk kulit di Jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan, misalnya, tak satu pun pemilik usaha mengaku menggunakan jelantah.
Terdapat 13 usaha rumahan kerupuk kulit di gang yang hanya cukup dilewati satu sepeda motor itu. Namun, dari proses pembuatannya, terlihat jelas penggunaan jelantah setidaknya di proses ngelapu, yaitu merendam kulit kering di minyak hangat sebelum proses penggorengan. Salah satu pekerja yang tak mau disebut namanya mengatakan, jelantah dijual di salah satu toko di gang itu dengan harga Rp 110.000 per jeriken.
Demikian juga di pusat usaha bawang goreng yang berada di balik perumahan di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Para pemilik terus berkelit menggunakan jelantah. Md (39), pekerja di salah satu pabrik bawang goreng mengatakan, minyak yang digunakan untuk menggoreng bawang seluruhnya adalah jelantah yang diantar setiap pekan oleh pemasok.
Jelantah yang digunakan tak pernah bersisa. Minyak bekas itu digunakan berulang kali lalu ditambah yang baru hingga habis di penggorengan. “Usaha ini untungnya besar sekali, bisa dua kali lipat dari modalnya,” kata Md yang sudah bekerja sejak tahun 1990.
Namun tak semua usaha rumahan menempuh jalan nakal. Pabrik Tahu Usaha Maju Pangan Suplai di Palmerah, Jakarta Barat, menggunakan minyak baru. Demikian juga usaha bawang goreng milik Mohammad (67) di Kelurahan Bojong Pondok Terong, Kota Depok, Jawa Barat, maupun usaha kerupuk kulit JY di Pengasinan, Kelurahan Rawa Lumbu, Kota Bekasi, tetap menggunakan minyak goreng curah dan kemasan demi menjaga kualitas.
“Kami jaga mutu, tak pernah beli jelantah. Kalau pakai jelantah gorengnya, kerupuk kulit keliatan ada bercak-bercak minyaknya. Rasanya juga terkadang tengik,” kata Suhendar (30), pemilik usaha kerupuk kulit JY.
Pengawasan daerah
Kendati mengancam kesehatan, peraturan yang secara spesifik melarang penggunaan jelantah untuk konsumsi masih sangat minim. Salah satu daerah yang sudah mengatur adalah DKI Jakarta yang telah melarang distribusi jelantah untuk konsumsi manusia dan hewan lewat Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 167/2016 tentang Pengelolaan Limbah Minyak Goreng. Pergub mendorong agar limbah minyak goreng dimanfaatkan untuk bahan bakar alternatif berupa biodiesel atau sektor non-konsumsi.
Sekretaris Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (PPKUKM) DKI Jakarta Ety Sartika mengatakan, pembinaan UKM dan industri makanan telah dilakukan secara berkala. Sejauh ini, pihaknya belum pernah menemukan kasus penggunaan jelantah untuk konsumsi. Kalau pun ditemukan, pihaknya akan mengutamakan pembinaan terhadap pelaku usaha.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Kabupaten Bogor Arman Jaya mengatakan, pembinaan dan pengawasan terhadap sekitar 300 UKM dilaksanakan setiap tahun. Mulai dari ranah produksi, pengemasan, hingga pemasaran seluruhnya diarahkan pada produksi yang sehat, aman, dan layak jual.
Arman mengakui, di wilayahnya belum ada regulasi khusus yang mengatur ihwal penggunaan jelantah untuk konsumsi. Temuan terkait pun belum ada. “Namun, jika ditemukan yang seperti itu tentu akan kami bina, bukan dibinasakan. Karena UKM pada dasarnya adalah tumpuan ekonomi warga,” ujarnya.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, pihaknya akan terus membina dan menyosialisasikan tata cara dan bahan produksi yang aman dan sehat kepada pelaku industri kecil menengah (IKM). Rencananya akan dilakukan pemetaan dan sertifikasi gratis kepada pelaku IKM yang memenuhi standar keamanan dan kesehatan dalam produksi pangan.
Meski diiringi sejumlah pembenaran, para pelaku usaha nakal sebenarnya menyadari penggunaan jelantah merupakan kekeliruan. Kondisi ini tak lepas dari pengawasan dan pembinaan yang belum maksimal. Konsumen pun menanggung kerugian. (NIA/BKY/IRE)