Aturan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB untuk menekan penyebaran Covid-19 tidak akan berhasil jika pemerintah tidak memberikan perlindungan kesehatan dan ekonomi bagi pekerja.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
Imbauan dari petugas melalui pengeras suara terdengar jelas dalam kereta rel listrik (KRL) tujuan Bogor agar penumpang menjaga jarak aman. Namun, imbauan tersebut tak lagi dipedulikan para penumpang. Situasi pada Selasa (7/3/2020) sekitar pukul 18.15 terpantau padat.
Pesan petugas dari pengeras suara meminta penumpang untuk mengisi kursi sebanyak empat orang dan kursi prioritas hanya dua orang. Sementara penumpang yang berdiri diminta menyesuaikan jarak aman. Dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Manggarai, para penumpang masih mengikuti imbauan petugas tersebut.
Namun, kereta tujuan Bogor tersebut semakin padat oleh para penumpang saat berhenti di Stasiun Manggarai, Stasiun Tebet, Stasiun Cawang, dan Stasiun Duren Kalibata. Imbauan pembatasaan jarak tak lagi relevan.
”Aturan pembatasan sosial, bekerja dari rumah, pembatasaan sosial berskala besar, karantina, atau apa pun itu aturannya tidak akan pernah berjalan lancar selama tidak ada aturan tegas disertai perlindungan para pekerja. Kami akan tetap bekerja,” kata Eka Setiawan (27), penumpang KRL asal Bogor.
Anggota staf perusahaan konstruksi tersebut masih rutin ke kantor menggunakan KRL. Perusahaannya memang menerapkan aturan pembagian jam kerja, tetapi hal itu membuat karyawan harus menerima pemotongan gaji 20-30 persen.
Dalam situasi tersebut, mau tak mau Eka tetap harus bekerja dan bolak balik Bogor-Jakarta. Ia sadar peluang terpapar Covid-19 sangat besar, tetapi tak ada pilihan lain untuk tetap masuk kerja.
”Bukan tak mau mengikuti aturan, tapi mau gimana? Apa ada solusi agar kami tetap di rumah dan masih bisa memenuhi kebutuhan? Silakan buat aturan apa pun untuk menekan Covid-19, tetapi perhatikan juga nasib kami yang masih bekerja. Lindungi kami,” kata Eka.
Kegusaran serupa juga dialami Iwan (42), karyawan swasta perusahaan distributor di Serpong, Tangerang Selatan, saat dijumpai di Stasiun Tanah Abang. Ia menilai, aturan dari pemerintah untuk melindungi warganya dari pandemi Covid-19 sudah baik. Namun, sayang, niat baik pemerintah belum cukup untuk melindungi para pekerja.
”Kalau baca berita dan obrolan sesama teman, kadang mikir, apakah Covid-19 bisa kita lawan dan angkanya bisa turun, lalu pekerjaan kita kembali normal. Ada banyak aturan dari pemerintah, itu baik, tetapi seperti tak ada artinya. Kasus semakin meningkat dan jumlah meninggal terus bertambah, meski yang sehat (sembuh) juga ada. Nasib para pekerja juga semakin sulit, enggak kerja salah, kerja juga salah,” kata pria asal Bekasi tersebut.
Iwan mengatakan jika PSBB dilaksanakan, sementara belum ada perlindungan ekonomi terhadap para pekerja, ia akan tetap masuk kerja.
”Jika angkutan massal dibatasi atau ditiadakan, saya akan naik sepeda motor dari Bekasi ke Serpong,” ujar Iwan.
Jika angkutan massal dibatasi atau ditiadakan, saya akan naik sepeda motor dari Bekasi ke Serpong.
Sementara itu, dampak pembatasan sosial membuat rezeki Joko Susanto (33), pengemudi ojek daring, turun drastis. Dari pukul 06.00 hingga sekitar pukul 16.00 ia baru dapat dua penumpang. Alhasil, uang yang masuk dompetnya pun hanya sekitar Rp 28.000. Sepinya penumpang sudah ia rasakan dalam dua minggu terakhir.
Sebelum Covid-19 menyebar ke Indonesia, khususnya Jakarta, dalam seminggu Joko bisa memperoleh sekitar Rp 1,7 juta. Namun, saat ini, ia hanya mendapat Rp 300.000-Rp 400.000 per Minggu.
”Padahal, harus bayar kontrakan Rp 1 juta, cicilan motor Rp 1,2 juta. Belum kebutuhan sehari-hari untuk anak dan istri. Sudah begitu ada wacana PSBB, ojek daring katanya gak boleh bawa penumpang, hanya boleh ambil antar pesanan. Gusti, pusing, dapat uang darimana lagi?” kata Joko.
Meski ada bantuan dari sukarelawan berupa makan gratis, Joko tetap sangat berharap, pemerintah mau berbaik hati untuk membantu para pekerja harian yang semakin terimpit secara ekonomi.
”Kalau dilarang bawa penumpang, pemasukan kami akan semakin berkurang. Semoga segera ada aturan dari pemerintah disertai bantuan dan perlindungan. Jika aturan dibuat tanpa ada perlindungan terhadap rakyat kecil, kami hidup dari mana? Aturan tidak akan pernah berhasil mengatasi pandemi Covid-19, jika pemerintah tak mau lindungi rakyat,” kata Joko.
Kalau dilarang bawa penumpang, pemasukan kami akan semakin berkurang. Semoga segera ada aturan dari pemerintah disertai bantuan dan perlindungan.
Keluhan para pekerja tersebut memang masuk akal. Mereka mungkin bukan tergolong orang miskin, seperti kriteria Badan Pusat Statistik, karena memiliki pekerjaan dan bisa jadi penghasilan per bulan sudah di atas upah minimum regional (UMP). Namun, jika sumber penghasilan mereka disumbat karena terdampak kebijakan penanganan pandemi, bisa jadi mereka akan tergelincir menjadi masyarakat tak mampu.
Sejauh mana tangan pemerintah daerah ataupun pusat menjamah menolong mereka? Semua masih harap-harap cemas menunggu.