Warga Manfaatkan Celah Aturan soal Berboncengan di Sepeda Motor
Kesimpangsiuran informasi tentang berboncengan di sepeda motor membingungkan masyarakat. Masih banyak warga yang berboncengan meski pembatasan sosial berskala besar berlaku di Bogor, Depok, dan Bekasi, Jawa Barat.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan tentang berboncengan sepeda motor belum jelas di mata warga. Mereka menganggap ketentuan mengenai hal ini tidak berkonsekuensi apa pun pada masa pandemi Covid-19. Padahal aturan pembatasan sosial berskala besar berlaku di Bogor, Depok, dan Bekasi, Jawa Barat, per Rabu (15/4/2020).
Pantauan Kompas, masih banyak pesepeda motor yang berboncengan di sepanjang Jalan Raya Bogor dan Jalan Raya Pondok Gede, Jakarta Timur. Kedua jalan ini menjadi rute yang sering dilalui pengendara sepeda motor dari arah Bogor, Depok, dan Bekasi (Bodebek). Hingga sore, puluhan pengendara masih tampak berboncengan di kedua ruas jalan.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan imbauan pemerintah terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo pada 10 April mengimbau sepeda motor yang menuju Jakarta sebaiknya tidak digunakan berboncengan. Apabila berboncengan, pengguna kendaraan harus memakai masker dan penumpang harus sealamat dengan pengendara.
Kendati begitu, Hamdi Widodo (36), pengendara yang ditemui di Jalan Raya Bogor, masih berboncengan dengan seorang teman saat pulang kerja. Dia bersama temannya itu menyusuri beberapa rumah di Jakarta Timur untuk mengerjakan perbaikan instalasi listrik rumah.
Hamdi dan temannya sama-sama tinggal di Kecamatang Cibinong, Kabupaten Bogor, meski berbeda kelurahan. Saat ditanya terkait imbauan untuk tidak berboncengan selama PSBB, dia mengaku belum cukup mengerti. Dia hanya tahu kalau setiap bepergian wajib memakai masker.
”Aturan soal boncengan itu informasinya masih simpang siur, ya, yang saya tahu. Tapi kalau memang dilarang, pasti jadi menyusahkan karena pekerjaan saya banyak yang di wilayah Depok atau Jakarta bagian timur begitu,” ujarnya.
Imbauan terkait berboncengan sepeda motor juga belum diketahui pasangan Irman (25) dan Nila (22). Saat ditemui di halte bus Transjakarta, Nila membonceng sepeda motor pacarnya itu tanpa pakai masker. Mereka berdua pun tinggal di wilayah yang saling berjauhan.
”Saya pikir karena lokasi haltenya dekat, jadi saya mengantar dengan tidak pakai masker. Lagi pula pacar saya sudah buru-buru mengejar jadwal bus ke kantornya di Sudirman, Jakarta Pusat,” ucap perempuan ini.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, pasti akan sulit mencegah arus pergerakan sepeda motor selama masa PSBB. Hal tersebut menjadi lebih sulit lagi karena saat ini imbauan untuk tidak berboncengan terasa kurang tegas.
Kondisi sekarang pun diperparah dengan kerancuan regulasi antara Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020. Regulasi dari Kementerian Perhubungan memberi kelonggaran terhadap aktivitas lalu-lalang kendaraan sepeda motor, sedangkan aturan dari Kementerian Kesehatan berusaha membatasi laju sepeda motor.
Dalam Pasal 11 Ayat (1) Huruf c Permenhub 18 disebutkan, ojek daring atau sepeda motor berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang. Namun, Pasal 11 Ayat (1) Huruf d regulasi itu juga menyebutkan, sepeda motor tetap bisa mengangkut penumpang jika memenuhi protokol kesehatan. Protokol kesehatan itu, antara lain, melakukan disinfeksi kendaraan dan atribut sebelum dan setelah selesai digunakan, menggunakan masker dan sarung tangan, dan tidak berkendara jika mengalami suhu badan di atas normal atau sakit.
Terkait hal tersebut, pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen Agus Pambagio mendukung pembatasan sosial di sepeda motor. ”Prinsip utama dari pembatasan sosial, apalagi pembatasan berskala besar, adalah menjaga jarak fisik untuk mencegah penularan Covid-19. Masak, boleh duduk berdempetan di motor? Ini, kan, enggak bener,” ujarnya.
Djoko juga menyampaikan, jika memang pemerintah berniat menerapkan PSBB, Pasal 92 dan Pasal 93 dalam Permenkes No 9/2020 harus dijalankan. Pasal 92 berbunyi, pengemudi kendaraan yang menaikkan atau menurunkan orang/barang sehingga berisiko menyebarkan penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan di masyarakat dapat diancam pidana maksimal 10 tahun penjara atau denda Rp 15 miliar.
Sementara itu, Pasal 93 diperuntukkan bagi pihak-pihak yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp 100 juta. ”Dua pasal itu sudah paling cocok untuk penegakan PSBB. Kalau pemerintah ingin serius melakukan pembatasan, ya, tinggal diterapkan saja,” ungkap Djoko.