Beberapa kebiasaan lama warga tidak dapat dilakukan di kala pandemi Covid-19. Pelan tetapi pasti, pembatasan sosial mengarahkan masyarakat kepada tatanan hidup yang baru.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Kebiasaan masyarakat untuk berkumpul dan bercengkerama tertahan sebulan belakangan. Hal itu terjadi lantaran pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di sejumlah wilayah di Indonesia. Sebagian besar lingkungan sosial pun kini terhindar dari kerumunan warga.
Hilangnya kerumunan pada lingkungan warga salah satunya terjadi di RW 001 Kelurahan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Hanafi, Ketua RW setempat, menginisiasi karantina wilayah untuk mencegah warga asing masuk ke kawasannya.
Alhasil, hingga Jumat (17/4/2020), warga lebih memilih berkumpul di rumah mereka masing-masing. Menjelang sore, ada sebagian warga yang piket berkeliling untuk menyemprotkan cairan disinfektan di gerbang dan pintu setiap rumah warga.
”Warga sejauh ini menjalankan instruksi pembatasan sosial, terutama setelah pemerintah menerapkan kebijakan PSBB di wilayah Jakarta,” jelas Hanafi. Meski begitu, dia kerap bertanya-tanya kapan pandemi ini berakhir sehingga semua kehidupan sosial masyarakat kembali normal.
Kebingungan Hanafi mungkin jadi pertanyaan banyak orang belakangan ini. Sebab, setelah anjuran pembatasan sosial meningkat menjadi berskala besar, belum ada kepastian bahwa penularan virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, akan segera menurun dalam waktu dekat.
Marc Lipsitch, profesor epidemiologi Harvard University, baru-baru ini menyebutkan, kondisi pembatasan sosial mungkin akan terjadi hingga tahun 2022. Kondisi tersebut karena dalam laporan yang dia tulis pada situs jurnal ilmiah, Science, ia memprediksi akan terjadi beberapa kali penularan pandemi Covid-19. Gelombang penularan selanjutnya mungkin akan lebih tinggi daripada yang berlangsung sekarang.
”Prediksi bahwa pandemi ini berakhir di pengujung 2020 sepertinya belum terbukti. Apalagi jika melihat fakta-fakta yang telat dihimpun peneliti. Dengan penemuan vaksin yang masih absen hingga saat ini, pandemi mungkin masih akan berlangsung hingga 2022,” ujar Marc seperti dilaporkan oleh TheGuardian.
Dengan kondisi ketidakpastian pandemi global, banyak pola yang terbentuk di masyarakat kemungkinan besar akan berubah. Kondisi ini mulai terlihat sedikit demi sedikit beberapa pekan terakhir. Sejumlah peneliti menyebut adanya kondisi ”normal baru” atau the new normal yang beriringan dengan kondisi pandemi global.
Sebagai contoh, sebagian masyarakat saat ini lebih banyak memesan makanan dengan jasa antar ke rumah. Hanafi becerita, pengantaran makanan serta barang kini lalu-lalang di wilayah RW-nya hampir setiap hari, meski pengantarnya terpaksa berhenti di depan gerbang RW.
Kondisi serupa juga tecermin dari Covid-19 Community Mobility Report yang dirilis oleh Google pada 11 April 2020. Pergerakan masyarakat Indonesia ke tempat ritel dan rekreasi turun 43 persen dibandingkan dengan rata-rata pergerakan pada 3 Januari-6 Februari 2020. Tempat yang dimaksud antara lain restoran, kafe, serta pusat perbelanjaan.
Pergerakan orang ke toko bahan pangan dan kesehatan pun turun 24 persen. Adapun pergerakan ke tempat kerja turun 30 persen dan pergerakan di area permukiman naik 15 persen.
Nursyam Triatnani (44), warga RT 001 RW 005 Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, juga mengakui banyak berdiam di rumah selama tiga pekan terakhir. Berbagai barang mulai dari persediaan masker, perlengkapan rumah, hingga persediaan makanan instan, dia beli secara daring.
Dengan perubahan kebiasaan seperti yang terjadi pada Nursyam dan Hanafi, bukan tidak mungkin apabila kondisi saat ini menjadi normal yang baru pada dua hingga tiga bulan ke depan. Sebagian warga pun kini tengah mencari pola ”normal” di tengah ketidakpastian pandemi.
Terkait itu, ada sebuah teori menarik yang dipaparkan Robert Glazer. Dalam tulisannya di Forbes berjudul ”Covid-19 Will Permanently Change The Way Every Generations Lives” menunjukkan bahwa pandemi bakal mengubah gaya hidup setiap generasi. Ia menyebutkan, tiap-tiap usia yang ditentukan oleh teori generasi, yakni baby boomer, generasi X, generasi Y, dan generasi Z, akan terdampak oleh pandemi saat ini.
Robert menjelaskan, kalangan baby boomer yang tidak akrab dengan teknologi digital akan makin dekat dengan fasilitas ini. Hal ini lantaran selama di rumah, mereka dipaksa belajar dan menggunakan teknologi ini untuk rapat, memesan kebutuhan pokok, konsultasi kesehatan, hingga memperoleh hiburan secara daring. Mereka yang lebih rentan terhadap serangan Covid-19 menjadi sadar lebih memilih fasilitas digital daripada keluar rumah karena kemungkinan terpapar virus korona baru lebih besar.
Generasi X yang lahir antara 1965-1980 akan merespons secara berbeda. Sebab, sebagian besar dari mereka kini adalah pemimpin bisnis. Mereka tengah berjuang keras menyelamatkan korporasinya. Ibaratnya, mereka berjalan di kegelapan dan mencari terang. Pada masa depan, mereka akan banyak dimintai pendapat tentang kisah-kisah sukses berselancar di tengah krisis.
Sementara itu, generasi Y atau milenial juga akan terdampak. Mereka yang selama ini dinilai terlalu abai dengan prioritas hidup dan cenderung konsumtif, akan menyusun prioritas hidup secara matang. Hal ini terutama kalangan milenial sebagai pihak yang paling terdampak karena sebagian dari mereka mengalami masalah karier selama pandemi.
Selain itu, ada generasi Z yang juga terdampak. Generasi Z yang mulai masuk usia kerja akan menjalani hidup yang lebih keras dibandingkan generasi Y. Hal tersebut karena kondisi dunia pendidikan dan pekerjaan yang mungkin akan serba berbeda dan serba daring apabila dibandingkan kalangan milenial.
Robert memaparkan, aktivitas yang murah dan simpel akan menjadi pilihan gen Z, seperti kuliah daring, kursus gratis, mengurangi kegiatan konsumtif, bahkan hingga merancang investasi lain. Generasi Z mungkin bakal menjadi pembeda generasi sebelumnya yang terkesan lebih ”menikmati hidup”. Mereka bisa jadi makin berhitung dengan pengeluaran.
Di tengah pandemi yang serba tidak pasti, semua orang mencari pola normalnya sendiri-sendiri. Kebiasaan yang semakin diamini, akan menjadi benar dengan sendirinya. Kondisi ini mungkin relevan jika disandingkan dengan penggalan lirik lagu ”Normal yang Baru” milik grup musik Efek Rumah Kaca. ”Karena kita diamkan, menjadi normal yang baru... menjadi nilai yang baru... menjadi pegangan baru...”