Gelombang Kepulangan Warga Tangerang ke Daerah Tidak Terbendung
Orang-orang memadati Terminal Poris Plawad, Tangerang, Banten, sehari jelang pemberlakuan larangan mudik pada 24 April 2020. Mereka memanfaatkan waktu sebelum pelarangan mudik dimulai untuk segera pulang ke daerah asal.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Menjelang larangan mudik pada 24 April, gelombang kepulangan warga Tangerang ke sejumlah daerah di Indonesia tidak terbendung. Kondisi itu terjadi karena larangan mudik sejauh ini masih bersifat lisan dan belum terdapat payung hukumnya.
Kepadatan penumpang terlihat di Terminal Poris Plawad, Tangerang, Banten, Kamis (23/4/2020). Ratusan warga Tangerang dan sekitarnya memenuhi area keberangkatan terminal. Tujuan keberangkatan para penumpang meliputi sejumlah wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mayoritas dari mereka hendak menuju Madura.
Kondisi tersebut dipicu pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan, mulai 24 April, pemerintah menerapkan larangan mudik. Larangan itu terutama diperuntukkan bagi warga yang tinggal di wilayah episentrum pandemi Covid-19, yaitu Jabodetabek.
Begitu mendengar ada larangan dari pemerintah terhadap warga agar tidak mudik, Zainal Abidin (29) langsung bereaksi. Warga Rangkasbitung, Lebak, Banten, itu bergegas menghubungi keluarganya di Semarang, Jawa Tengah. Ia menanyakan apakah terminal di Semarang masih dibuka atau tidak.
Begitu keluarga memberi kabar terminal belum ditutup untuk pemudik, Zainal kemudian menanyakan ketersediaan tiket ke perusahaan otobus (PO). Saat mendapat kabar tiket masih tersedia, ia memantapkan niat pulang kampung.
Perjalanan pulang kampung tersebut, kata Zainal, dilakukan secara spontan dan minim persiapan. Sebab, awalnya ia berencana pulang kampung pada saat menjelang Idul Fitri.
Zainal sangat menyadari risiko jika ia kembali ke kampung halaman. Dia tidak memungkiri potensi dirinya menjadi pembawa virus meski tanpa mengalami gejala Covid-19. Namun, hasrat untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman menyingkirkan kekhawatirannya terhadap keselamatan keluarga. Ia mengaku akan menjalankan protokol kesehatan selama berada di Semarang.
”Terus pakai masker. Saya juga akan isolasi secara mandiri di rumah,” kata Zainal ketika ditemui di Terminal Poris Plawad.
Sementara itu, calon penumpang bus lainnya, Mulyadi (33), mengatakan terpaksa mudik lebih awal karena usaha sewa tenda miliknya tengah sepi. Akibatnya, ia tidak lagi memiliki penghasilan yang cukup menopang kebutuhannya selama hidup di Tangerang.
Bersama istri dan anak-anaknya, Mulyadi berencana kembali ke Madura. ”Sebelum larangan mudik benar-benar diberlakukan, lebih baik saya antisipasi dengan pulang lebih awal. Daripada nanti telanjur tidak bisa pulang, di perantauan tidak ada pemasukan untuk kebutuhan hidup,” kata Mulyadi.
Sebelum larangan mudik benar-benar diberlakukan, lebih baik saya antisipasi dengan pulang lebih awal. Daripada nanti telanjur tidak bisa pulang, di perantauan tidak ada pemasukan untuk kebutuhan hidup.
Kepala Satuan Pelayanan Terminal Poris Plawad Alwien Athena mengatakan, tren peningkatan jumlah penumpang mulai terasa sejak dua hari terakhir. Pada hari-hari biasa saat pandemi Covid-19, jumlah penumpang di Terminal Poris Plawad berkisar 200 hingga 250 orang.
Dalam dua hari terakhir, jumlah penumpang meningkat hingga sekitar 500 orang per hari. Selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlaku, Terminal Poris Plawan beroperasi sejak pukul 06.00 hingga 18.00.
Alwien mengaku belum mendapat instruksi atau arahan khusus terkait pelarangan mudik. Sejauh ini, ia hanya mengawasi protokol kesehatan telah diterapkan oleh setiap PO.
”Belum ada upaya melarang mudik karena payung hukumnya (larangan mudik) belum ada. Kalau sudah ada, kami yang di bawah ini siap menjalankan arahan apa pun yang diputuskan pemerintah pusat,” kata Alwien.
Belum ada upaya melarang mudik karena payung hukumnya (larangan mudik) belum ada. Kalau sudah ada, kami yang di bawah ini siap menjalankan arahan apa pun yang diputuskan pemerintah pusat.
Dari pengamatan di Terminal Poris Plawad, empat petugas berjaga di pintu keluar terminal. Sebelum bus keluar, petugas-petugas itu memeriksa tingkat keterisian bus.
Jika ada bus yang tingkat keterisiannya melebihi 50 persen kapasitas, petugas meminta sopir atau kondektur menurunkan penumpang agar jumlah penumpang sesuai dengan ketentuan dalam regulasi PSBB. Bagi penumpang yang diturunkan, mereka diarahkan menaiki bus keberangkatan selanjutnya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahadiansyah, mengatakan, apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo terkait larangan mudik berupa kebijakan yang lisan. Belum berbentuk norma hukum sehingga belum bisa mengikat masyarakat untuk tidak mudik. Oleh karena itu, bagi Trubus, larangan mudik setidaknya akan efektif jika sudah dituangkan dalam sebuah peraturan atau ada payung hukumnya.
”Persoalannya sekarang ini belum ada norma hukumnya sehingga kepala terminal juga bingung mau bertindak atas nama apa. Kalau melarang juga tidak bisa karena aturannya itu belum ada, itu persoalannya,” ujar Trubus dihubungi dari Tangerang Selatan.
Kondisi itu membuat masyarakat yang kehilangan penghasilan selama merantau di Jabodetabek tidak berpikir dua kali untuk mudik. Selama aturan dan sanksi belum ada, kepulangan mereka tidak bisa dicegah. Akibatnya, kerumunan masyarakat terlihat di sejumlah terminal di Jabodetabek.
Situasi itu, menurut Trubus, justru membuat keadaan saat ini di lapangan bertolak belakang dengan semangat PSBB yang bertujuan mencegah timbulnya kerumunan warga.