Para pekerja menangkap peluang yang ada untuk memburu pemasukan tambahan selama pandemi korona jenis baru. Mereka tidak bisa lagi mengandalkan gaji bulanan.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·4 menit baca
Para pekerja menghadapi pemutusan hak kerja hingga pemotongan gaji karena pandemi korona jenis baru. Tak mau pasrah pada keadaan, sebagian pekerja masih berusaha mencari peluang penghasilan. Apa pun akan dilakukan karena belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berlalu.
Pandemi memaksa warga menghadapi situasi yang berbeda. Para pekerja, misalnya, harus bekerja dari rumah, tidak mendapatkan insentif, pemotongan gaji, dan pemutusan hak kerja. Kenyataan ini mesti dihadapi semata-mata untuk menghindari rantai penularan Covid-19.
Isen Janu (27), perantau asal Manggarai, Nusa Tenggara Timur, sering termenung. Realita pengurangan waktu kerja dan tidak mendapatkan insentif sehingga penghasilannya sebagai karyawan koperasi simpan pinjam di Jakarta Timur berkurang setengah dari biasanya. Praktis gaji bulanan selama pandemi tidak cukup untuk sewa indekos, kebutuhan sehari-hari, dan keperluan orangtua di kampung.
Ia yang selama ini bergantung dari gaji bulanan pun mulai menjajal peruntungan iklan per klik (AdSense) dari saluran Youtube. ”Saya suka iseng-iseng nge-vlog kalau jalan-jalan ke tempat wisata, atau ada kegiatan-kegiatan yang bernuansa tradisional,” ucap Isen, Kamis (30/4/2020).
Ia mengemas video-video tersebut menjadi konten di saluran pribadinya. Setidaknya sudah ada puluhan konten tentang keseharian, banjir di kawasannya bermukim, mewawancarai artis dalam suatu kesempatan, dan berwisata. Isen tidak lupa memberitahukan kenalan dan mempromosikan kanal Youtube miliknya agar menambah jumlah subscribe dan klik.
Anet Herawaty (24) juga menangkap peluang di rumah saja dengan menjual makanan. Pramuniaga ini menjual biskuit cokelat, bakso, dan cireng dengan sistem pesan antar. ”Banyak orang di rumah saja membeli makanan secara online. Ya udah jualan makanan saja, pas juga lagi gak dapat gaji,” kata Anet.
Ia dirumahkan sejak 30 Maret 2020 karena pusat perbelanjaan tempat kerjanya di Jakarta Selatan tutup untuk sementara waktu. Selama itu ia tidak menerima gaji dan hanya memperoleh satu kali insentif sebesar Rp 250.000.
Sejauh ini jualanannya cukup laris dengan pemasukan berkisar Rp 100.000-Rp 200.000 dalam sehari. Pemasukan tersebut cukup untuk membayar utang cicilan kredit barang.
Sementara Rosa (22), karyawan bagian administrasi salah satu perusahaan di Jakarta Timur, kerepotan karena mendapatkan potongan gaji 40 persen. Pemotongan berbarengan dengan pengurangan waktu kerja menjadi empat hari dalam seminggu. Imbasnya, ia kelimpungan membayar cicilan kredit dua bulan terakhir. ”Belum ada kepastian sampai kapan. Mungkin sampai kas kantor normal,” ujar Rosa.
Rosa enggan mengambil pinjaman daring karena khawatir utangnya justru akan menumpuk. Alhasil, sebulan terakhir ia menjajal pekerjaan sebagai reseller atau menjual lagi produk tertentu dengan keuntungan selisih harga.
Produk tersebut antara lain cairan antiseptik pencuci tangan, masker kain, produk kecantikan, dan aksesoris. Ia memanfaatkan jejaring pertemanan, termasuk klien perusahaan untuk pemasaran produk. Dari pekerjaan sampingan tersebut, setidaknya setiap penjulan bisa menghasilkan Rp 50.000-Rp 100.000.
Isen, Anet, dan Rosa merupakan segelintir pekerja yang berhasil menangkap peluang penghasilan tambahan tatkala pandemi. Langkah itu mereka lakukan karena mereka kelompok yang terdampak karena pandemi. Selain mereka, banyak pekerja lain di luar sana yang tidak berdaya melawan situasi sulit.
Masih banyak pekerja lain yang kelimpungan menghadapi pandemi. Sekitar 2 juta pekerja, baik di sektor formal maupun informal, sudah terkena pemutusan hubungan kerja.
Kepada mereka, pemerintah menawarkan Program Kartu Prakerja sebagai bantuan sosial. Per Rabu (29/4/2020), dari 8,6 juta orang yang mendaftarkan diri, 456.265 orang lolos seleksi sebagai peserta Kartu Prakerja.
Tidak tepat
Pemerintah menyalurkan Rp 596,8 miliar untuk peserta gelombang pertama dan menyusul untuk peserta gelombang kedua. Akan tetapi, penyaluran Kartu Prakerja selama dua gelombang pertama ditengarai tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad pada Rabu (29/4/2020) menilai perlu evaluasi menyeluruh terhadap relevansi dan efektivitas penerapan Kartu Prakerja di tengah pandemi Covid-19. Kelas pelatihan seharusnya ditiadakan dan dialihkan untuk bantuan sosial bagi pekerja yang terdampak karena warga tidak butuh pelatihan di tengah pandemi, tetapi uang untuk makan dan menyambung hidup.
”Harus dievaluasi, kelas-kelas pelatihan sebaiknya ditunda. Publik juga pasti paham kalau program (pelatihan) tidak bisa dijalankan tahun ini. Jangan sampai program ini malah menurunkan kredibilitas pemerintah,” katanya.
Senada, Direktur Riset Center of Reform and Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, pemerintah tidak cukup hanya mempertimbangkan aspek rasional, tetapi juga harus melibatkan rasa dan empati. Di tengah pandemi, prioritas kebutuhan warga adalah bertahan hidup tanpa penghasilan, bukan mengikuti kelas-kelas pelatihan.
”Terkadang, kita tidak hanya butuh kebijakan yang rasional, tetapi juga kebijakan yang mempertimbangkan rasa dan empati. Banyak sekali masyarakat yang terkena PHK dan tidak bisa bayar kontrakan, seharusnya bisa menggugah rasa dan hati,” ucapnya.