Sebagian orang bernasib kurang beruntung di Jakarta. Di tengah pandemi Covid-19, mereka ikut mengandalkan hidup dari bantuan pemerintah. Sementara keseharian mereka tetap di jalanan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Taman di samping kantor Komando Distrik Militer 0503 Jakarta Barat dipadati warga, Kamis (30/4/2020) siang. Mereka menunggu giliran pembagian beras gratis di kantor tentara itu. Di antara kerumunan, terselip Sultan (38) dan Irwan Syahputra (31), duo gelandangan yang dipertemukan oleh korona.
Sultan dan Irwan sudah dua kali datang ke kantor ini. Meskipun tidak terdaftar sebagai penerima bantuan beras gratis, mereka berdua tetap nekat mengantre. ”Di dalam juga tidak ditanya dari mana. Kami tinggal tanda tangan, terus ambil beras,” kata Sultan.
Sultan tinggal di kolong jembatan, sementara Irwan menginap di salah satu masjid di Jakarta Barat. Menurut Irwan, masjid itu menampung musafir, istilah yang ia gunakan untuk menggambarkan dirinya saat ini. Bagi keduanya, beras 1,5 kilogram itu bisa menopang hidup mereka sehari-hari.
Beras yang mereka dapat tidak dimasak, tetapi ditukar dengan barang lain. Kemarin, Sultan menukarkan berasnya di warteg. Ia mendapat nasi sebungkus dengan ikan sebagai lauk. Sementara itu, Irwan menjual beras itu di warung. ”Dibeli Rp 10.000 kemarin. Ha-ha-ha,” kata pria asal Aceh ini.
Hari Kamis, mereka berdua mengantre lagi di Kodim 0503. Sultan terlihat ragu-ragu ketika membubuhkan tanda tangan. Tetapi, toh, ia berhasil juga dan memikul beras dengan kantong merah itu dengan wajah semringah.
Penonton bayaran
Sebelum Covid-19 melanda Indonesia, mereka berdua berprofesi sama: menjadi penonton bayaran di salah satu televisi swasta. Untuk pekerjaan ini, mereka mendapat upah Rp 22.000. ”Ditambah snack tiga biji,” ujar Sultan yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan.
Sultan sebetulnya pernah melihat Irwan ketika mereka sedang berjoget di salah satu program acara di televisi. ”Tetapi, waktu itu semua orang, kan, terlihat keren pakaiannya. Eh, ternyata dia (Irwan) gembel juga kayak saya,” kata Sultan, tertawa.
Duo Sumatera ini baru berkenalan minggu lalu. Bermula ketika mereka berdua sering berpapasan di jalan. Setelah berbagi cerita, Sultan lalu mengajak Irwan mengambil beras.
Beras yang mereka dapat tidak dimasak, tetapi ditukar dengan barang lain. Kemarin, Sultan menukarkan berasnya di warteg. Ia mendapat nasi sebungkus dengan ikan sebagai lauk.
Sebagai perantau, mereka ke Jakarta lantaran ingin hidup lebih baik dari kondisi di kampung halaman. Namun, Jakarta malah membuat keduanya terlunta-lunta di jalanan.
Irwan, misalnya, datang dari Aceh setahun lalu. Selama empat bulan pertama, dia menjadi tukang cuci piring di tempat penjualan bakso di Kalibata, Jakarta Selatan. Dia kemudian cekcok dengan teman sejawat lalu cabut dari tempat itu.
Setelah itu, Irwan menggelandang di jalanan dan bertemu dengan orang yang menawarkannya untuk menjadi penonton bayaran. Ia juga menerima jasa menjadi pengunjuk rasa bayaran. ”Pernah suatu kali demo di kementerian soal tambang. Aku dapat Rp 40.000 dan dua nasi kotak,” katanya.
Nasib Sultan tak jauh lebih baik. Datang dua tahun lalu dari Palembang, Sultan pernah bekerja menjadi kuli bangunan. Kemudian, ia pernah pula menjadi karyawan toko tanaman hias di Tangerang, Banten.
Semua baik-baik saja hingga seseorang di Muara Angke, Jakarta Utara, menawarkannya pekerjaan yang lebih laik. Orang itu menawarkan Sultan bekerja di kolam pemancingan di Merauke, Papua, dengan gaji Rp 100.000 per hari. Ia menganggap gaji tersebut sangat besar.
”Tetapi, tas saya malah diambil calo itu. Uang, kartu identitas, semua ada di tas itu. Sejak itu saya kehabisan uang dan jadi gembel,” kata Sultan.
Kini, Irwan dan Sultan mencari peluang untuk kembali ke kampung halaman. Dua tahun di Jakarta sudah cukup membuat mereka paham bahwa Jakarta tak selalu ramah kepada setiap orang.
Tempat penampungan
Di tengah pandemi Covid-19 yang mengharuskan orang berada di rumah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan solusi bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Ada gelanggang olahraga (GOR) yang siap menampung mereka. Selain mendapat makan, kesehatan mereka juga diperiksa.
Irwan dan Sultan pun berencana pergi ke GOR Tanjung Priok, Jakarta Utara. Namun, masih ada yang mengganjal dalam pikiran mereka, terutama Sultan. Sultan khawatir tempat penampungan itu justru membuatnya berakhir di panti sosial. ”Saya takut kalau sampai masuk panti, ngeri, mending di jalanan,” katanya.
Sultan ternyata pernah tertangkap oleh satuan polisi pamong praja. Lalu ia menjalani rehabilitasi sosial di salah satu panti di Jakarta. Ia mengaku pernah dipukuli oleh petugas panti.
Sementara Irwan, yang belum pernah sekali pun terjaring razia, hanya bengong saja mendengar kawannya itu. ”Aku mau ke Aceh saja,” ucapnya.
Seiring pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan ujungnya, nasib Sultan dan Irwan masih bergulir tanpa tentu arah. Ke mana ada peluang, di situ mereka sambangi demi menyambung hidup dari hari ke hari.