Kerumunan Masih Terjadi
Kepatuhan warga terhadap aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) kian lemah di sebagian wilayah. Pencegahan penularan Covid-19 dikhawatirkan menjadi tidak efektif.
Kepatuhan warga terhadap aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) kian lemah di sebagian wilayah. Pencegahan penularan Covid-19 dikhawatirkan menjadi tidak efektif.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah warga melaporkan masih ada kerumunan pada masa PSBB untuk wilayah Jakarta. Kerumunan itu dikhawatirkan membuat rantai penularan Covid-19 akan terus berlangsung.
Aktivitas kerumunan terutama terjadi di sejumlah jalan raya dan ruas jalan menuju perumahan warga. Warga melaporkan aktivitas kerumunan melalui cuitan di akun Twitter @DKIJakarta, Minggu (3/5/2020). Ini salah satu kanal untuk aduan resmi yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Salah satu laporan kerumunan disampaikan Rafael Narendra (34). Warga Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ini menyampaikan adanya kerumunan para pemuda di Jalan Opal II. Jalan in juga menjadi akses menuju perumahan Permata Hijau. Kerumunan terjadi setiap pagi, sore, dan malam hari. Hampir sepekan ia melaporkan kondisi kerumunan, yang tidak terjaring petugas keamanan.
”Warga justru makin ramai di tengah masa PSBB. Saya perhatikan, di daerah saya ada sekelompok pemuda yang keluar saat sore menjelang malam dan dini hari. Kalau memang ingin menegakkan PSBB, ya, tolong kerumunan itu dicegah aparat,” ujar Rafael saat dihubungi. Sedikitnya ada 15 laporan serupa terkait kerumunan warga di sejumlah wilayah DKI Jakarta. Suryadi Purnama (48), warga Sawah Besar, Jakarta Pusat, menuturkan, warga di wilayahnya kerap berkerumun di sekitar ruas Jalan Lautze.
Kondisi itu kian ramai ketika menjelang malam. ”Makin banyak warga keluar rumah. Ini terjadi karena ada warga yang mendengar dari televisi, bahwa penularan Covid-19 untuk wilayah Jakarta sudah turun. Warga kayaknya enggak tahan juga lama-lama di rumah,” jelas Suryadi. Laporan lain disampaikan Gayuh Setyo Laras (29). Perempuan ini melaporkan aktivitas kerumunan di wilayah Pasar Rebo hingga Cibubur, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur.
”Di Jakarta Timur, banyak lokasi kerumunan, seakan tidak sedang ada penerapan PSBB. Ini sangat berbeda dengan kondisi di jalan protokol di wilayah Jakarta Pusat,” kata pegawai di Kementerian Komunikasi dan Informatika itu. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dalam konferensi pers, Sabtu (2/5/2020), menyatakan, kondisi kepatuhan warga terhadap PSBB di Jakarta belakangan tampak mengendur setelah berkurangnya jumlah kasus penularan pasien positif Covid-19 pada beberapa hari di akhir bulan April.
Pengurangan jumlah kasus harian itu terlihat pada Rabu, 29 April 2020. Jumlah kasus saat itu ada 83 pasien, lebih sedikit daripada dua hari sebelumnya, yakni 118 pasien. Meski begitu, ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, mengingatkan, kondisi penurunan itu juga bisa terjadi karena berkurangnya pemeriksaan kasus.
”Kalau jumlah pasien yang diperiksa per hari semakin sedikit, ya, wajar kalau kasus positifnya tampak menurun,” ucap Iwan. Terkait itu, Anies menyampaikan, kondisi penurunan jumlah pasien positif per hari bukan berarti turut mengendurkan pelaksanaan PSBB. Nyatanya, penambahan kasus Covid-19 per hari ini terus bertambah menjadi 11.192 pasien.
”Meskipun dalam beberapa hari terakhir terlihat penurunan jumlah kasus, tak boleh diartikan kegiatan PSBB mengendur. Ini belum selesai, Jakarta belum merdeka dari Covid-19,” ujarnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengimbau, segala kegiatan sosial, ekonomi, budaya, dan kegiatan agama sebisa mungkin dilakukan warga di rumah. Ia mengupayakan agar tak ada kegiatan berkelompok di masyarakat selama PSBB berlangsung.
Tidak capai target
Kondisi serupa dijumpai dalam pelaksanaan PSBB di Tangerang Selatan, Banten. Dari evaluasi PSBB termin pertama, hasil yang dicapai masih jauh dari target. ”Evaluasi PSBB di termin pertama menunjukkan tingkat pemenuhan aturan kesehatan oleh masyarakat hanya 71,5 persen. Ini meleset dari target 90 persen,” kata Wakil Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Benyamin Davnie melalui sambungan telepon.
Ia mengungkapkan kendala penerapan PSBB bukan pada pengetahuan masyarakat, melainkan pada kesadaran soal tinggal di rumah. Dari laporan aparat pemerintah yang melakukan razia terhadap kendaraan bermotor dan keramaian, ditemukan bahwa semua warga yang tertangkap mengetahui PSBB.
Mereka juga mengerti risiko penularan Covid-19 yang diakibatkan oleh penyebaran virus korona baru. Rata-rata warga yang dirazia mengatakan mereka keluar rumah karena bosan di rumah terus dan hendak mengunjungi kerabat. Saat ditanya mengapa tak memakai masker, warga berkilah, tak punya masker, atau gerah, hingga lupa.
Akibatnya, pengurangan pergerakan orang di Tangsel hanya 40 persen, jauh dari target 60 persen. Menurut Benyamin, Peraturan Wali Kota (Perwali) Tangsel No 13/2020 telah mengatur seluruh aspek pelaksanaan PSBB. Guna memastikan penerapan PSBB, pemerintah kota menurunkan pegawai eselon II untuk memantau kelurahan.
Eselon III dan IV ditugasi memantau pelaksanaan PSBB di 750 rukun warga (RW). ”Kami juga memberikan surat teguran bagi pelanggar aturan PSBB agar menimbulkan efek jera,” tuturnya. Di Bogor, Jawa Barat, seorang warga menolak mematuhi peringatan petugas terkait protokol kesehatan dalam penerapan PSBB. Rekaman video warga Bogor itu pun beredar luas di media sosial.
Warga tersebut menolak memindahkan istrinya dari kursi penumpang depan mobil ke kursi belakang. Sesuai aturan PSBB, semua penumpang harus duduk di kursi belakang, bukan di sebelah pengemudi. Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim menyayangkan sikap warga tersebut.
”Aturan dibuat untuk keamanan masyarakat dan memutus penularan virus korona. Jangan keluar rumah kalau bukan untuk urusan penting dan ketika keluar patuhi aturan demi kepentingan semua,” kata Dedie.
Kendala bantuan sosial
Sementara itu, kendala dalam penyaluran bantuan sosial masih dijumpai di Tangsel. ”Kami menyadari masih ada kendala di lapangan, misalnya warga tidak percaya kepada RT dan RW untuk mengurus bansos. Akan tetapi, hal ini yang harus diluruskan. Ini dengan cara membangun kompetensi RT, RW, dan warga melalui data yang transparan dan akurat sehingga bisa diawasi bersama,” ujar Benyamin.
Guru Besar Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia Bambang Shergi Laksmono mengkritisi cara pemberian bansos pemerintah yang masih sarat politisasi. Hal itu bisa menghambat pengumpulan data yang cepat dan tepat. Di samping itu, budaya bansos di Indonesia masih kental dengan nuansa patron dan klien, yakni yang mampu memberikan sumbangan kepada yang tidak mampu.