Sopir Bajaj dan Mikrolet Minim Perlindungan di Tengah Seretnya Pendapatan
Di tengah pandemi Covid-19 dan kebutuhan warga akan layanan angkutan umum, para sopir kendaraan umum masih bekerja dengan perlindungan yang minim. Saat pendapatan seret, mereka sangat berharap bantuan segera cair.
Oleh
Insan Alfajri
·3 menit baca
Tarono (57), sopir bajaj, mengaku baru dua hari ini mengenakan masker kain. Masker itu diberikan oleh petugas RT di tempat tinggalnya di Duri Pulo, Jakarta Pusat.
Selama ini, lanjutnya, belum ada bantuan masker dan alat pelindung diri lainnya dari pemerintah ataupun dari pemilik bajaj. ”Saya nggak minta aneh-aneh sama bos. Sekarang saja udah syukur bos nggak protes karena setoran kurang terus,” kata Tarono ketika ditemui di Stasiun Tanah Abang, Selasa (5/5/2020).
Dalam situasi normal, ia harus menyetor Rp 100.000 per hari kepada pemilik bajaj. Akan tetapi, sejak Covid-19 melanda Indonesia, ayah dua anak ini maksimal menyetor Rp 50.000. Hal itu disebabkan minimnya penumpang yang turun di Stasiun Tanah Abang lantaran ada pembatasan perjalanan kereta rel listrik (KRL) serta banyak pekerja yang bekerja dari rumah.
Di sisi lain Tarono mengaku belum mendapat bantuan sembako. Ia tak mengerti kenapa dirinya tak masuk hitungan, sementara pemilik warung di samping rumahnya malah kebagian sembako. ”Pemerintah menyuruh tetap di rumah. Yang ada, saya kelaparan,” ucapnya.
Keterangan sopir mikrolet, Unen (58), juga tak jauh berbeda. Menurut dia, koperasi yang menaungi dirinya juga belum memberikan alat pelindung diri. Tiga hari lalu, seorang polisi membagikan masker. Dan, masker itu masih menggantung di lehernya hingga sekarang.
Ketua trayek M08, Simbolon (61), menegaskan, di Tanah Abang terdapat lima trayek yang sopirnya masih bekerja. Mereka sedang menunggu bantuan dari pemerintah.
Salah satu efek pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan jumlah penumpang. Menurut Simbolon, sopir pernah ribut dengan petugas dinas perhubungan mengenai hal ini. Sebab, mikrolet hanya diperbolehkan membawa enam penumpang atau separuh dari kapasitas. Pembatasan ini kian memukul sopir di tengah penumpang yang semakin sedikit.
Simbolon dan kawan-kawan berpendapat, mereka akan di rumah saja jika pemerintah memberikan insentif. ”Beri kami Rp 50.000-Rp 75.000 per hari. Saya pastikan semua sopir di lima trayek ini akan memarkir mobilnya,” katanya.
Pemerintah sudah menyiapkan insentif Rp 600.000 per bulan bagi sopir angkutan umum. Insentif itu berlaku selama tiga bulan. Insentif ini dibagikan oleh Korps Lalu Lintas Polri. Mereka diberi pelatihan sebelum mendapat bantuan (Kompas.com, 13/4/2020).
Beri kami Rp 50.000-Rp 75.000 per hari. Saya pastikan semua sopir di lima trayek ini akan memarkir mobilnya. (Simbolon)
Menurut Simbolon, baru segelintir sopir yang mendapatkan bantuan itu. Sisanya masih menunggu. Dia dan kawan-kawan sempat berencana membawa sopir ke Balai Kota. Namun, hal ini dilarang oleh dinas perhubungan. ”Kami disuruh bersabar. Apa masalahnya? Kalau soal data, kan, mereka tinggal cek ke lapangan. Kami, kan, di sini setiap hari,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo menjelaskan, ada sekitar 40.000 sopir angkutan umum yang akan mendapat bantuan di wilayah Polda Metro Jaya. Sebanyak 26.000 sopir sudah mendapat pelatihan dari Polda Metro Jaya. Bantuan dicairkan setelah sopir tersebut menjalani pelatihan.