Menyusul Surat Edaran Kepala Gugus Tugas terkait dispensasi perjalanan, pemerintah bisa dinilai memberikan pelonggaran kebijakan larangan mudik yang akhirnya bisa kontraproduktif dengan larangan mudik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah untuk memberikan dispensasi bepergian dapat dipersepsikan oleh masyarakat sebagai pelonggaran dari kebijakan pelarangan mudik. Aturan tersebut dinilai justru akan menjadi kontraproduktif dengan upaya pemerintah secara keseluruhan menghambat penyebaran Covid-19.
Ketua Komisi V DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Lasarus, ketika dihubungi, Sabtu (9/5/2020), dari Jakarta, mengatakan, Komisi V DPR telah mempertanyakan kebijakan dispensasi untuk bepergian, termasuk dibukanya kembali transportasi publik, ketika rapat bersama Menteri Perhubungan pada 6 Mei lalu.
Di satu sisi, Komisi V DPR memahami kesulitan pemerintah jika transportasi publik ditutup terus-menerus. Namun, bagaimana dampaknya jika dispensasi diberikan, sementara kedisiplinan dan kepatuhan pada protokol kesehatan masih belum efektif dilakukan warga.
”Kami memahami kesulitan pemerintah. Namun, kami juga mempertanyakan, apakah pemerintah dapat secara konsisten melaksanakan protokol kesehatan Covid-19 di lapangan serta menjamin bahwa pembukaan moda transportasi itu tidak malah mempercepat penyebaran Covid-19,” kata Lasarus.
Kami memahami kesulitan pemerintah. Namun, kami juga mempertanyakan, apakah pemerintah dapat secara konsisten melaksanakan protokol kesehatan Covid-19 di lapangan serta menjamin bahwa pembukaan moda transportasi itu tidak malah mempercepat penyebaran Covid-19.
Menurut Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), orang dengan kepentingan tertentu dapat bepergian menggunakan transportasi publik dan kendaraan pribadi selama larangan mudik pada 6-31 Mei. Kemudian, mereka yang bekerja di lembaga pemerintah dan swasta diperbolehkan melintas, tetapi hanya yang menjalankan tugas percepatan penanganan Covid-19, pelayanan keamanan, kesehatan, kebutuhan dasar, dan fungsi ekonomi penting.
Sebelum SE No 4 Tahun 2020 diterbitkan, ada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 yang memberikan pengecualian pembatasan perjalanan pada jenis pekerjaan tertentu, pasien maupun repatriasi atau pekerja migran.
Permenhub tersebut kemudian disusul lagi oleh SE Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan No 31 Tahun 2020 yang menyebutkan, angkutan udara niaga berjadwal di Jabodetabek hanya dilayani di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Menurut Lasarus, jika kebijakan pemberian dispensasi tersebut malah mempercepat penyebaran Covid-19, hal itu justru kontraproduktif dengan kebijakan sebelumnya yang melarang mudik. Sementara kebutuhan pemerintah agar pejabat negara, anggota TNI-Polri, dan juga petugas kesehatan untuk dapat bepergian sebenarnya bisa dipenuhi secara terbatas tanpa harus membuka transportasi publik.
Saat ini, ujar Lasarus, pihaknya masih mengumpulkan data dan masukan, termasuk temuan adanya penumpang di Bandara Soekarno-Hatta yang reaktif terhadap tes Covid-19. Minggu depan, Komisi V DPR berencana untuk rapat bersama pemerintah dengan agenda evaluasi terhadap kebijakan dispensasi bepergian tersebut.
Untuk situasi saat ini, lanjut Lasarus, pemerintah mesti menyosialisasikan secara lebih masif bahwa mudik tetap dilarang. Sebab, pada hari-hari menjelang Lebaran, kemungkinan masyarakat mencari celah untuk tetap bisa mudik semakin besar.
Wakil Ketua Komisi V DPR dari Fraksi Partai Nasdem Syarief Abdullah Alkadrie mengatakan, penerbitan SE No 4 Tahun 2020 justru kontraproduktif meskipun alasan pemerintah untuk memberikan dispensasi kepada pihak-pihak tertentu dinilai wajar.
”Kami sebelumnya sudah mengingatkan, memang ada pengecualian, tapi pengecualian itu harus jelas. Namun, ternyata (surat edaran) itu sudah menimbulkan persepsi yang keliru di masyarakat,” ucap Syarief.
Ia menambahkan, sebenarnya aturan tentang larangan mudik tersebut sudah jelas dan tepat. Namun, terbitnya surat edaran tersebut membuat masyarakat berasumsi bahwa larangan mudik dibuka.
Jika hal ini tidak ditangani segera, ujar Syarief, upaya pemerintah untuk menekan penyebaran Covid-19 justru akan terhambat dan memerlukan waktu semakin lama. Padahal, yang harus dilakukan untuk mencegah Covid-19 adalah memperkecil interaksi orang. Di sisi lain, kebijakan pemerintah tersebut dapat dipahami pihak asing bahwa Pemerintah Indonesia tidak mengindahkan protokol kesehatan untuk Covid-19.
Kami sebelumnya sudah mengingatkan, memang ada pengecualian, tapi pengecualian itu harus jelas. Namun, ternyata (surat edaran) itu sudah menimbulkan persepsi yang keliru di masyarakat.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Novie Riyanto mengatakan, transportasi publik dan penerbangan yang diperbolehkan beroperasi tersebut bukan untuk kepentingan mudik, melainkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak, seperti percepatan penanganan Covid-19 ataupun hal mendesak lainnya.