Informasi kriteria orang yang boleh bepergian di tengah pandemi belum tersampaikan ke semua lapisan masyarakat. Ada yang nekat ke terminal untuk pulang ke kampung halaman. Rencana mereka ambyar terbentur aturan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Eko (42) berdiskusi alot dengan petugas di tempat pemeriksaan dokumen syarat bepergian Terminal Pulo Gebang, Jakarta Timur, Senin (11/5/2020) siang. Ia mendapat informasi bahwa warga bisa pulang dari terminal ini.
Richy, petugas dari TNI Angkatan Darat, menjelaskan bahwa layanan angkutan umum hanya untuk kepentingan tertentu, bukan untuk mudik atau pulang kampung. Penumpang harus menyertakan surat tugas bagi aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai swasta. Mereka juga harus melampirkan hasil tes negatif Covid-19 atau surat keterangan sehat.
Bagi yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), lanjut Richy, harus melampirkan surat PHK dari perusahaan. Mereka yang keluarga intinya sakit keras atau meninggal juga harus melampirkan surat dari rumah sakit.
Eko tidak memiliki semua syarat itu. Dia sudah mendatangi Puskesmas Duren Sawit, Jakarta Timur, untuk meminta surat keterangan sehat. Namun, petugas puskesmas menyatakan bahwa surat itu bisa diurus di terminal.
”Saya tidak pulang kampung, cuma mau menengok istri,” kata pria yang ingin ke Purwakarta, Jawa Barat, ini.
Eko baru 26 hari berada di Jakarta. Ia bekerja sebagai kuli bangunan di Duren Sawit, Jakarta Timur. Pada Sabtu, pekerjaan dihentikan. Itu sebabnya ia ingin pulang kampung ketimbang hidup di Jakarta tanpa pemasukan sama sekali.
”Kalau enggak pulang kampung, saya mau tinggal di mana lagi,” ujarnya. Hingga kemarin, ia masih tinggal di rumah yang sedang dibangun. Namun, rumah itu sudah harus ditinggalkan mulai hari ini.
Selama 26 hari kerja, ia mendapat sekitar Rp 2 juta. ”Itu setelah dipotong uang makan. Lebih dari separuh sudah saya kirim ke istri, sekarang sisa buat ongkos saja,” ujarnya menjelaskan.
Eko baru 26 hari berada di Jakarta. Ia bekerja sebagai kuli bangunan di Duren Sawit, Jakarta Timur. Pada Sabtu, pekerjaan dihentikan. Itu sebabnya ia ingin pulang kampung ketimbang hidup di Jakarta tanpa pemasukan sama sekali.
Diskusi antara Eko dan petugas berujung buntu. Eko pun diminta kembali ke tempat duduk antrean.
Ia sempat kepikiran untuk bertanya kepada agen tiket agar mencarikan solusi pulang kampung tanpa dokumen. Namun, ia khawatir uangnya tak memadai untuk itu.
Berselang 30 menit, datang seorang perempuan bersama anak berusia sekitar 7 tahun. Perempuan itu langsung minta dipulangkan.
”Saya mau pulang ke Tegal, tetapi tak punya ongkos,” ujar perempuan bernama Susi itu.
Perempuan itu membawa sebuah kantong berisi pakaian. Sementara si anak sedang menyantap mi instan.
Kepada petugas, dia mengaku tersesat. Dia sebenarnya hendak ke Cirebon, tetapi malah tiba di Jakarta.
Keterangan Susi membuat kening petugas berkerut. ”Ibu bilang semalam dari Cirebon, setahu kami tak ada bus semalam dari Cirebon yang masuk ke terminal ini,” kata petugas.
Akhirnya, seorang petugas menyarankan agar Susi melapor ke dinas sosial. Selama pandemi, dinas sosial menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang tak punya tempat tinggal dan tak bisa pulang kampung.
Susi meninggalkan tempat pemeriksaan dokumen. Ia membimbing si anak yang menangis entah apa sebabnya.
Petugas menyarankan agar Susi melapor ke dinas sosial. Selama pandemi, dinas sosial menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang tak punya tempat tinggal dan tak bisa pulang kampung.
Petugas Terminal Pulo Geban, Denny Indriyanto, menjelaskan, banyak kasus seperti Susi di hari biasa. Warga yang kehabisan uang, tetapi ingin pulang ke kampung halaman.
”Di hari biasa, biasanya kami fasilitasi. Ongkosnya ditanggung terminal. Akan tetapi, saat pandemi begini, kan, tidak boleh,” ujar Denny.
Cek ombak
Selain itu, terpantau beberapa warga ada yang melakukan ”cek ombak”. Mereka menanyakan syarat-syarat agar bisa naik bus antarkota antarprovinsi (AKAP) menuju kampung halaman.
Salah satunya adalah Ronald (29), buruh yang terkena PHK. Ronald bekerja sebagai buruh proyek di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Petugas menanyakan surat bukti PHK. Ronald mengaku surat tersebut sudah ada, tetapi belum dibawa. ”Saya mau tanya-tanya saja dulu, Pak,” kata Ronald.
Berdasarkan data Terminal Pulo Gebang, hanya 12 penumpang yang memenuhi syarat untuk berangkat hingga Senin siang. Sebanyak 5 orang di antaranya terkena PHK, 2 orang perjalanan dinas, 3 orang TKI, dan 2 orang beralasan orangtua meninggal.
Mereka menaiki tiga perusahaan otobus (PO) yang berbeda, yaitu Lorena, Sinar Jaya, dan Haryanto.
Kepala Unit Pengelola Terminal Terpadu Pulo Gebang Bernad Octavianus Pasaribu menjelaskan, ada 38 PO yang diizinkan pemerintah mengangkut penumpang selama pandemi dengan jumlah armada 300 bus. Bus-bus itu diberi stiker khusus oleh Kementerian Perhubungan.
Dirinya tidak menutup mata tentang adanya oknum yang memfasilitasi warga untuk mudik secara ilegal. Akan tetapi, ia menjamin bahwa hal itu tidak terjadi di Terminal Pulo Gebang karena aturan dijalankan dengan sangat ketat.