Sebanyak 26 Orang di Rutan Pondok Bambu Reaktif Tes Cepat
Hasil reaktif pada tes cepat terhadap napi semakin menunjukkan pentingnya menurunkan secara ekstrem tingkat kepadatan lapas dan rutan di Indonesia demi menekan risiko penularan Covid-19.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 26 orang di Rumah Tahanan Kelas I Pondok Bambu, Jakarta Timur, reaktif terhadap tes cepat, yang berarti mereka terindikasi tertular Covid-19. Namun, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menegaskan, belum ada yang dipastikan tertular karena mesti menunggu hasil tes usap terlebih dahulu.
”Rapid test (tes cepat) hanya digunakan untuk screening awal karena bagaimanapun lapas (lembaga pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) menjadi salah satu tempat yang rawan penyakit menular,” ucap Direktur Jenderal Pemasyarakatan Inspektur Jenderal Reynhard Silitonga dalam keterangan tertulis pada Selasa (12/5/2020).
Ia menyatakan, pihaknya masih menunggu laporan dari Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta terkait hasil tes usap warga binaan yang reaktif saat tes cepat.
Mereka yang reaktif tes cepat terdiri dari 24 warga binaan rutan serta 2 petugas. Reynhard mengatakan, kedua petugas rutan menjalani isolasi mandiri di rumah dan diperintahkan melapor ke puskesmas atau rumah sakit rujukan Covid-19.
Untuk warga binaan yang reaktif, sejauh ini 12 orang sudah menjalani tes usap dengan metode reaksi berantai polimerase (PCR), sedangkan 12 orang lainnya rencana mengikuti tes serupa pada Selasa, 12 Mei. Pemeriksaan bekerja sama dengan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur dan Puskesmas Duren Sawit. Warga binaan yang masih menunggu tes usap diisolasi mandiri di kamar karantina Rutan Pondok Bambu.
Reynhard menuturkan, Rutan Pondok Bambu menggelar tes cepat selama tiga hari pada 9-11 Mei terhadap 115 petugas, 2 petugas Kanwil Kemenkumham DKI, dan 309 warga binaan. Selain itu, tes juga menyasar 2 bayi, 9 pegawai kejaksaan, dan 12 orang dari pihak eksternal.
Di luar Rutan Pondok Bambu, lanjut Reynhard, Lapas Kelas IIA Gorontalo juga melaksanakan tes cepat kepada 489 warga binaan pada Senin, 11 Mei. Hasilnya, 3 petugas dan 25 warga binaan reaktif sehingga dikarantina di Lapas Perempuan Kelas III Gorontalo yang ditunjuk sebagai lapas isolasi di wilayah Gorontalo. Sementara itu, 33 warga binaan LPP Gorontalo dipindahkan ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Gorontalo.
”Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Ditjen Pemasyarakatan terus bekerja keras dalam mengoordinasi pencegahan, penanganan, pengendalian, dan penanggulangan Covid-19 di UPT (unit pelaksana teknis) pemasyarakatan, khususnya lapas, rutan, dan LPKA, bekerja sama dengan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19,” ujar Reynhard.
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ditjen Pemasyarakatan Yuspahruddin menambahkan, seorang warga binaan Lapas Bojonegoro, Jawa Timur, yang positif Covid-19 kini dinyatakan sudah negatif. Warga binaan itu masih melanjutkan pengobatan di rumah sakit untuk penyakit-penyakit lain.
Yuspahruddin menjelaskan, warga binaan tersebut awalnya dirujuk ke rumah sakit luar lapas pada 5 April bukan karena Covid-19, melainkan karena penyakit jantung, diabetes melitus, dan hipertensi. ”Karena itu, kuat dugaan, warga binaan tersebut terpapar Covid-19 di rumah sakit tempat dia dirawat,” katanya.
Laporan-laporan itu bagi peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitahsari atau akrab disapa Tita, semakin menunjukkan pentingnya menurunkan secara ekstrem tingkat kepadatan lapas dan rutan di Indonesia. Sebab, kepadatan lapas dan rutan berkontribusi pada peningkatan risiko penularan Covid-19.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Senin, Reynhard memaparkan, 39.273 narapidana telah mengikuti program asimilasi dan integrasi agar bisa keluar dari lapas dan rutan lebih cepat dalam kurun akhir Maret-10 Mei guna mencegah penyebaran Covid-19 di dalam lapas dan rutan. Kebijakan ini berkontribusi menurunkan tingkat kelebihan kapasitas (overcrowding) lapas dan rutan dari 106 persen ke 75 persen (Kompas.id, 12/5/2020).
Namun, Tita menyatakan itu belum cukup. Selama jumlah warga binaan masih melebihi kapasitas, keamanan terhadap Covid-19 tidak terjamin. ”Bahkan, jika 100 persen sesuai kapasitas pun itu belum aman karena physicaldistancing (penjarakan fisik) belum bisa terlaksana,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Tita mendorong pemerintah mempercepat pengeluaran bagi lebih banyak warga binaan. ICJR sudah menyusun skala prioritas warga binaan yang semestinya bisa segera dikeluarkan. Pertama, warga binaan pengguna narkotika. Kedua, warga binaan dari kelompok rentan, antara lain ibu dan anak, orang lanjut usia, serta penderita penyakit serius. Ketiga, pelanggar tindak pidana yang ringan, misalnya yang tidak menimbulkan korban.
Soal kritik terhadap kebijakan asimilasi dan integrasi yang disebut menambah gangguan keamanan di masyarakat, Tita menyebutkan, ICJR sudah memberikan rekomendasi supaya residivisme tidak sampai terjadi. Salah satunya, memperkuat pendampingan warga binaan di lingkungan tinggalnya dengan melibatkan lebih banyak pihak, termasuk lurah, camat, dan polisi.
Dalam rapat dengar pendapat di DPR, Reynhard menyampaikan bahwa 95 warga binaan penerima program asimilasi dan integrasi kembali melakukan pelanggaran. Sebanyak 93 orang kembali melakukan tindak pidana, sedangkan 2 orang melanggar syarat khusus karena tidak melapor ke balai pemasyarakatan (bapas) atau tidak mengikuti program pembimbingan bapas.
Data terbaru yang dipaparkan Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, hingga Selasa terdapat 106 narapidana asimilasi yang kembali melakukan tindak pidana di wilayah hukum 19 kepolisian daerah, termasuk di Polda Metro Jaya. Jenis kejahatan mereka umumnya pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan, pencurian kendaraan bermotor, penyalahgunaan narkoba, serta penganiayaan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, berpendapat, pelanggaran oleh warga binaan penerima asimilasi dan integrasi, meski berjumlah tidak signifikan, tidak bisa dianggap remeh karena meresahkan masyarakat. Karena itu, ia mendorong Ditjen Pemasyarakatan mengevaluasi agar tidak ada lagi pelanggaran.