Ketidakpastian pandemi korona jenis baru membuat warga berinisiatif untuk berdaulat pangan secara mandiri. Mereka berbagi bibit hingga mendekatkan petani lokal dengan konsumen di perkotaan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga berupaya berdaulat pangan secara mandiri karena harus lebih lama berada di rumah akibat meluasnya pandemi Covid-19. Di sisi lain, mereka tidak bisa sepenuhnya bergantung pada bantuan sosial.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengingatkan ancaman krisis pangan di tengah pandemi Covid-19. Hal ini terjadi jika biaya produksi pertanian tetap tinggi, sedangkan distribusi dan penyerapan terhambat pembatasan sosial.
Aryz Lauwing Bara dari komunitas Rumah Mentari Maulafa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, tidak ingin hal tersebut terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Apalagi, sebagian warga mulai mengeluhkan tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Padahal, sudah ada bantuan beras, minyak, gula, dan sabun.
”Kalau sembako habis, otomatis tunggu lagi bantuan berikutnya. Siklusnya begitu terus. Tetapi, kalau bagi bibit terung, tomat, dan lainnya justru bisa menjamin kebutuhan pangan ke depannya dan akan menolong warga,” ucap Aryz, Selasa (12/5/2020).
Dari situlah muncul gerakan ”Katong Batanam Katong Aman”. Aryz beserta jejaringnya menggalang maupun bertukar bibit buah dan sayur serta pupuk organik. Buah dan sayur tersebut bisa ditanam di pekarangan rumah maupun lahan sempit.
Bibit dan pupuk yang sudah terkumpul kemudian dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Tidak ada batasan warga hanya menerima bibit atau pupuk saja.
Ia berharap tanaman di pekarangan atau sekitar rumah membantu warga sehingga tidak perlu sering beraktivitas di luar. Sementara hasil panennya tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Panen bisa dibarter sesama warga maupun dijual jika berlebih. Jejaring akan memanfaatkan platform jual beli pangan lokal ”Pasar Katemak” untuk menjaring konsumen.
”Ketidakpastian pandemi membuat orang stres dan bisa timbulkan kejahatan hanya untuk penuhi kebutuhan hidup. Kami ingin warga saling menopang dan membantu melalui pangan karena tidak bisa bantu uang,” tuturnya.
Salah satu warga, Try (28), turut serta dalam Katong Batanam Katong Aman. Ia memanfaatkan area pekarangan rumah seluas 2x3 meter untuk tanaman rosela, sayuran, dan buah.
Try memanfaatkan bibit dan pupuk karena pemasukannya berkurang selama pandemi. Ia tidak bisa menjajakan dagangannya karena sekolah libur. Pihak keamanan pun tidak mengizinkan keramaian sehingga tidak bisa berdagang sementara waktu. ”Lumayan bisa bertukar bibit dan hasil tanaman. Saling bantu dan hilangkan stres,” ujar Try.
Hubungkan petani
Pandemi yang meluas juga menyulitkan petani lokal untuk menjual hasil panen karena pasar tutup. Atta Loban dari wirausaha sosial Papalele berupaya menghubungkan petani lokal dengan konsumen di perkotaan.
Sejauh ini jejaring telah menjangkau petani perempuan dari beberapa desa di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, yaitu Desa Taiftob, Desa Kesetnana, dan Desan Bosen di Timor Tengah Selatan, Desa Oh Aem, dan Desa Lelogama di Kabupaten Kupang. ”Bencana ini mengancam dan merusak aset keberlanjutan hidup warga khususnya di desa yang sebagian besar petani,” kata Atta.
Petani dalam jejaring Papalele menghasilkan produk mentah dan olahan tanpa kemasan atau label. Semuanya dikirim dari desa melalui bus atau jasa pengiriman. Selanjutnya jejaring mengemas produk-produk tersebut, termasuk menyertaian cerita petani di dalam dalam kemasan.
Rencana selanjutnya, jejaring akan menghidupkan lagi sistem barter atau bertukar barang. Misalnya, sekilo ubi jalar dibarter dengan beras dalam jumlah sepadan. Hasil pertanian petani lokal dapat diakses di Instragram @_papalele, Facebook Fun Page Papalele, dan laman papalelekita.com.
Pegiat Indonesia Berkebun, Winartania, mengajak masyarakat berkebun tanaman, termasuk sayuran, untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. ”Bisa mencoba menanam di rumah dengan tanaman simpel, mudah tapi bisa menghasilkan dan mencukupi kebutuhan pangan di rumah,” kata Winartania dalam konferensi video yang bertema ”Urban Farming Saat Pandemi Covid-19” yang diadakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Kantor Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta.
Alternatif memenuhi kebutuhan pangan ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan ruang terbatas di rumah. Paparan sinar matahari yang cukup, sekitar 6 jam, lebih diperlukan untuk proses tumbuh kembang tanaman sayuran. Selain itu, nutrisi pada media tanam juga perlu dipastikan dengan menambah pupuk yang dibeli sendiri atau memanfaatkan sampah organik.
Jika ruang terbatas di rumah, warga tetap dapat berkebun dengan membuat pertanian vertikal dengan instalasi hidroponik dengan sistem tetes dan berkebun di atap. ”Kita bisa menanam ke atas vertikal, tidak perlu lahan yang luas tapi bisa menanam ke atas, bisa di tanam di dinding,” katanya.