Didorong Ada Perda PSBB agar Lebih Kuat dan Mengikat
Setelah di tahap 1 pelaksanaan PSBB di DKI Jakarta lebih banyak diwarnai edukasi, pada pelaksanaan tahap 2 yang akan berlangsung sampai 22 Mei, Pemprov DKI mulai menerapkan sanksi.
Oleh
helena f nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak penetapan pembatasan sosial berskala besar tahap kedua, Gubernur DKI Jakarta menyatakan, penerapan PSBB akan disertai pemberlakuan sanksi bagi pelanggar. Namun, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menilai, sanksi yang diatur melalui peraturan gubernur kurang kuat dan mengikat sehingga sebaiknya pergub diubah menjadi peraturan daerah.
Yayan Yuhanah, Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta, Rabu (13/05/2020), menjelaskan, Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi DKI Jakarta sudah ditetapkan tanggal 30 April 2020.
Begitu ditetapkan, lanjut Yayan, segala yang diatur dalam pergub tersebut bisa diterapkan.
”Karena PSBB waktunya juga pendek, itu berlaku selama PSBB. Jika nanti setelah tanggal 21 Mei Kementerian Kesehatan tidak mengizinkan perpanjangannya berarti tidak akan ada lagi pergub itu untuk memayungi penegakan yang dilakukan satpol PP ditambah beberapa untuk menambah efektivitas dengan ada sanksi yang jelas. Selama ini, kan, hanya sanksi pidana. Itu pun merujuk ke UU. Kita tidak bisa menerapkan langsung. Kalau ini, Gubernur ingin membuat sanksi administrasi yang sifatnya memang ruang lingkup kewenangannya ada di gubernur,” jelas Yayan.
Secara terpisah, Teguh P Ngroho, Kepala Ombudsman RI Perawakilan Jakarta Raya menjelaskan, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya (Ombudsman Jakarta Raya) bisa memahami keinginan Pemprov DKI Jakarta untuk membuat aturan yang lebih teknis terkait sanksi bagi para pelanggar PSBB.
”Ombudsman menyadari kompleksitas aturan sanksi dalam Pergub No. 33 Tahun 2020 yang rujukan sanksinya masih mengacu ke UU Karantina Kesehatan dan UU Wabah Penyakit Menular,” ujar Teguh.
Hal tersebut, lanjut Teguh, memicu kebimbangan di kalangan aparat penegak hukum. Sebab, jika sanksinya langsung merujuk pada kedua undang-undang tersebut, implikasi pelanggaran PSBB adalah sanksi pidana.
”Pilihan persuasif oleh aparat penegak hukum pada PSBB tahap I sudah merupakan pilihan paling logis karena tidak mungkin memidanakan sekian banyak orang dengan sanksi pidana 1 tahun atau denda Rp 100 juta hanya karena tidak memakai masker atau tidak mengetahui ketentuan social distancing,” tambah Teguh.
Untuk Pergub No 41 Tahun 2020, Teguh melanjutkan, secara substansi Pergub tersebut komprehensif karena memuat sanksi bukan saja bagi pelaku individual, melainkan juga perusahaan yang tidak mengindahkan ketentuan PSBB. Hal ini penting karena potensi penyebaran Covid-19 terbesar salah satunya dari diberikannya Izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI) oleh Kementerian Perindustrian kepada perusahaan-perusahaan yang tidak dikecualikan untuk tetap beroperasi.
”Penyebaran Covid-19 kami temukan di beberapa kawasan industri seperti di kawasan MM Cikarang dan pabrik di Bandung yang sudah mendapat izin operasi dari Kemenperin. Kami khawatir ini fenomena gunung es. Jika ada pemeriksaan potensi Covid-19 yang memadai di perusahaan-perusahaan tersebut, bisa jadi angkanya jauh lebih besar,” lanjut Teguh.
Hanya saja, Ombudsman Jakarta Raya meminta Pemprov DKI menyelaraskan ketentuan sanksi dalam Pergub tersebut dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU No 12/2011 disebutkan bahwa peraturan yang memuat sanksi hanya undang-undang atau perppu dan perda. Dengan berbentuk perda, dasar hukum penegakan sanksi lebih kuat dan mengikat.
”Sanksi merupakan pengurangan hak seseorang atau warga negara. Karena merupakan pengurangan hak, produknya harus dihasilkan oleh pemerintah dan perwakilan masyarakat, dalam hal ini DPRD,” ujar Teguh.
Teguh menjelaskan, ada dua peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan tentang jenis sanksi yang dapat dimuat dalam Perda. Kedua peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU PD).
Pasal 15 UU PPP menyebutkan, materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah.
Sementara, Pasal 238 UU PD menyebutkan, satu, perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dua, perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000. Tiga, perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda selain dimaksud pada ayat dua sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
[caption id="attachment_11246152" align="alignnone" width="720"] Petugas penanganan sarana dan prasarana umum (PPSU) Kelurahan Kuningan Barat menyemprot jembatan penyeberangan orang dan halte Transjakarta dengan cairan disinfektan di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (11/5/2020).[/caption]
Dalam Pasal 7 Ayat 1 UU PPP disebutkan perda termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan pasal ini, maka status perda tidak menjadi lebih rendah dari peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk keppres, permen, dan kepmen karena aturan tersebut tidak masuk dalam hierarki.
”Jadi, hanya perda yang boleh mencantumkan sanksi di tingkat daerah dan dengan perda itu pula Pemprov DKI tetap bisa memberikan sanksi kepada perusahaan yang mendapat izin dari Kemenperin karena perda merupakan peraturan perundang-undangan sementara keputusan menteri bukan,” tutur Teguh.
Untuk itu, Ombudsman Jakarta Raya meminta Pemprov DKI segera melakukan koordinasi dengan DPRD agar menjadikan Pergub No 41/2020 peraturan daerah.
”Dengan semangat kebaikan bersama, Ombudsman Jakarta Raya percaya, DPRD akan cepat memproses pergub tersebut sebagai rancangan perda dan dapat memberikan persetujuan cepat,” jelas Teguh.
Namun, Gembong Warsono, anggota Komisi A bidang Pemerintahan DPRD DKI Jakarta, menjelaskan, melihat tingkat urgensi dari produk yang akan dibuat dan masalah waktu, tidak memungkinkan untuk mengubah pergub menjadi perda.
”PSBB hanya sampai dengan 22 Mei 2020. Kalaupun diperpanjang 14 hari berikutnya saja, urgensinya kurang sehingga relatif dinaikkan sebagai perda,” jelas Gembong.
Menurut Gembong, yang paling mungkin saat ini adalah Pemprov DKI Jakarta konsisten menegakkan dan menjalankan peraturan gubernur tentang PSBB. Tentang usaha-usaha atau kegiatan yang masih beroperasi padahal termasuk dalam kelompok yang tidak dikecualikan, menurut Gembong, seharusnya bisa diatasi. Demikian juga dengan usaha-usaha yang beroperasi dengan IOMKI.
”Seharusnya Pemprov DKI bisa lebih baik berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat mengenai penerapan PSBB tersebut,” kata Gembong.