Kedisiplinan PSBB Dimulai dari Terjaminnya Jaring Pengaman Sosial
Adanya sanksi bagi pelanggar pembatasan sosial berskala besar tak langsung menjamin kesuksesan PSBB. Selama tidak ada jaring pengaman sosial, masyarakat akan terus melanggar aturan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengetatan aturan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB melalui pemberian sanksi, baik tertulis maupun denda, tidak cukup. Koordinasi untuk memastikan data dan penyebaran jaring pengaman sosial yang komprehensif adalah kunci agar masyarakat tidak perlu keluar rumah.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 41 Tahun 2020 mengenai Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Covid-19 yang ditandatangani pada 30 April 2020. Pergub itu menyatakan bahwa siapa pun yang melanggar kewajiban bermasker ataupun pembatasan jumlah penumpang kendaraan bermotor menjadi setengah dari kapasitas akan dikenai sanksi administratif. Jumlahnya minimal Rp 100.000 dan maksimal Rp 500.000.
Perusahaan ataupun tempat-tempat makan yang tidak mematuhi aturan menjaga jarak fisik atau hanya melayani pembelian makanan untuk dibungkus dapat dikenai sanksi administratif berkisar Rp 5 juta hingga Rp 50 juta, bergantung pada keseriusan pelanggarannya. Terdapat pula sanksi pemberian hukuman berupa melaksanakan kegiatan sosial dengan mengenakan rompi oranye.
Di samping itu, juga ada klausul mengenai pemberian sanksi pidana sesuai dengan pertimbangan aparat hukum yang berwenang, dalam hal ini kepolisian.
Perilaku warga
Kepala Laboratorium Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Syaifudin, ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (13/5/2020), memaparkan, pergub ini mengatur ketentuan di lapangan. Sejatinya, Polri, TNI, dan satuan polisi pamong praja hanya merupakan penggerak. Kunci keefektifan PSBB adalah koordinasi di tingkat pusat dan daerah beserta pemerintah dan pihak swasta.
”Memang masalah klasik bahwa alasan orang keluar rumah saat PSBB adalah karena harus bekerja atau terpaksa bekerja,” ucapnya.
Memang masalah klasik bahwa alasan orang keluar rumah saat PSBB adalah karena harus bekerja atau terpaksa bekerja.
Ia menjelaskan, berbagai perusahaan yang tidak masuk dalam 11 sektor strategis wajib mempraktikkan bekerja dari rumah. Tidak jarang, perusahaan-perusahaan ini memberhentikan pekerjanya atau merumahkan tanpa ada upah dengan alasan tidak mampu memberi gaji akibat ketiadaan produktivitas.
Harus ada kejelasan jaring pengaman sosial kepada pekerja yang dipecat atau dirumahkan ini yang disampaikan secara terbuka kepada individu yang bersangkutan. Misalnya, perusahaan mengalihkan pemenuhan tunjangan kepada lembaga jaminan kesejahteraan sosial atau pemerintah pusat dan daerah langsung memgumumkan bahwa semua pekerja yang dirumahkan berdasarkan data dinas ketenagakerjaan dan termasuk kategori rentan miskin akan otomatis masuk ke skema bantuan sosial.
Kekeruhan data ini yang membuat masyarakat meragukan jaring pengaman sosial dapat mengenali orang-orang miskin dan rentan miskin secara menyeluruh dan memastikan bantuan sosial diterima oleh mereka. Transparansi data hingga kini belum bisa dipenuhi, jangankan di tingkat rukun warga, di tingkat wali kota juga belum diumumkan.
”Berdasarkan survei kepada warga rentan terdampak PSBB beserta beberapa lembaga keuangan, seperti bank, kami menemukan berbagai keringanan cicilan utang, subsidi listrik, hingga stimulus keuangan sangat sukar diterapkan di lapangan karena masih meminta persyaratan banyak atau sosialisasinya tidak sampai di masyarakat. Para responden mengutarakan ragu stimulus-stimulus ini memang niat diberikan kepada mereka,” ujar Syaifudin.
Berdasarkan survei kepada warga rentan terdampak PSBB beserta beberapa lembaga keuangan, seperti bank, kami menemukan berbagai keringanan cicilan utang, subsidi listrik, hingga stimulus keuangan sangat sukar diterapkan di lapangan karena masih meminta persyaratan banyak atau sosialisasinya tidak sampai di masyarakat.
Ia menjabarkan, keraguan masyarakat akan memunculkan sikap apatis pada aturan. Masyarakat yang frustrasi karena tidak memiliki penghasilan dan tidak masuk ke dalam daftar penerima bantuan sosial akan nekat melanggar aturan PSBB. Pendisiplinan di lapangan berisiko berujung pada konflik vertikal masyarakat dengan aparat. Kalau sudah begini, warga dan petugas sama-sama menjadi korban.
Kekacauan pembagian bantuan sosial juga bisa menimbulkan kecemburuan sehingga bisa mengakibatkan konflik horizontal. Kriminalitas berpotensi meningkat. Tidak hanya berupa perampokan, tetapi juga pencurian ataupun penjarahan bahan pangan.
Sumber daya manusia
Syaifudin menuturkan, selain jaring pengaman sosial, sebenarnya para pekerja terdampak PSBB juga tetap bisa menjaga produktivitas dengan cara mengalihkan jenis mata pencarian. Sejauh ini, umumnya pekerja terdampak diserap oleh industri pembuatan masker, baju pelindung, cairan antiseptik, dan pangan.
”Sesungguhnya mereka juga bisa dikaryakan di bidang lain. Caranya ialah dengan menghentikan sementara segala bentuk otomasi,” ujarnya.
Ia mencontohkan pintu-pintu tol sementara jangan memakai gardu tol elektrik, tetapi kembali mempekerjakan orang-orang sebagai petugas karcis. Demikian pula dengan pusat-pusat perbelanjaan agar sementara ini tidak menggunakan palang parkir otomatis, tetapi petugas parkir langsung.
”Mal-mal tutup kecuali pasar swalayannya. Pekerja mal sebagian bisa dialihkan sebagai petugas parkir. Otomasi memang menguntungkan di situasi normal, tetapi di masa darurat seperti sekarang pemberdayaan manusia harus diprioritaskan,” ucapnya.
Otomasi memang menguntungkan di situasi normal, tetapi di masa darurat seperti sekarang pemberdayaan manusia harus diprioritaskan.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil, Menengah, dan Perdagangan DKI Jakarta Elizabeth Ratu Rante Allo mengatakan, dari dinas belum ada perintah pengalihan sektor pekerjaan. Mereka baru menerapkan pembagian kerja dengan setiap jadwal terdiri atas maksimal setengah jumlah pekerja.