Keberpihakan Pembangunan Berkelanjutan dalam Perpres No 60/2020 Dipertanyakan
Tujuan pembangunan di dunia mengarah pada keberlanjutan dengan memastikan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial, sekaligus memitigasi dampak buruknya bagi lingkungan. Peraturan Presiden No 60/2020 dipertanyakan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur dinilai tidak bermasalah dari segi teknis hukum. Akan tetapi, dari segi keberpihakan sangat jelas bahwa pemerintah berpihak kepada pemodal besar, bukan rakyat.
”Sungguh disayangkan karena arah pembangunan global saat ini adalah pembangunan yang berkelanjutan, sementara di beberapa pasal Perpres No 60/2020 tidak tampak itikad mematuhi kaidah daya dukung lingkungan,” kata pengajar hukum lingkungan Universitas Indonesia, Wiwiek Awiati, ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (14/5/2020).
Ia mengapresiasi perpres karena membagi-bagi wilayah berdasarkan zona untuk menjelaskan secara rinci mengenai karakteristik wilayah dan wujud pembangunan yang sesuai. Namun, pada Pasal 81 Ayat 3, ketika menjelaskan Zona B8, tiba-tiba muncul spesifik nama-nama pulau reklamasi di Teluk Jakarta yang statusnya masih bermasalah. Pulau-pulau itu adalah Pulau C, D, G, dan N.
Menurut Wiwiek yang aktif membekali para hakim dengan perspektif hukum lingkungan, dari segi acuan hukum, pulau-pulau itu masuk dalam Undang-Undang No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Padahal, Perpres No 60/2020 mengacu pada UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang. Memasukkan nama-nama pulau yang masih disengketakan ini akhirnya memunculkan kecurigaan publik bahwa perpres dibuat untuk melancarkan kembali proyek reklamasi.
Ia memaparkan, asumsi pemerintah ialah menanggulangi kemiskinan dari masyarakat dengan cara meningkatkan perekonomian. Namun, kerap dipandang perekonomian sebatas perputaran modal yang besar, tidak mencakup ekonomi masyarakat di akar rumput.
Dalam penerapan perputaran modal besar juga sering tidak memandang seberapa panjang daya dukung pembangunan yang linier itu. Pemerintah lupa bahwa segala jenis dan skala ekonomi terikat dengan kehidupan sosial dan berada di dalam satu lingkungan. Daya dukung lingkungan menentukan keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial.
Wiwiek menerangkan, hal ini tidak cukup karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib mengelola semua lahan dan air yang masuk dalam wilayah mereka. Saat ini, pulau-pulau itu dibiarkan terbengkalai.
”Harus ada rencana pemanfaatan pulau. Misalnya, dijadikan cagar alam, permukiman warga terdampak erosi dan banjir rob, atau peruntukan lain yang mengikuti kaidah sosial, ekonomi, dan lingkungan,” tuturnya.
Senada dengan Wiwiek, dosen hukum lingkungan UI, Bono Budi Priambodo, yang dihubungi di Amsterdam, Belanda, mengutarakan, sejak 1990-an pemerintah pusat dan Pemprov Jakarta tidak menunjukkan tanda-tanda kepedulian terhadap wilayah pesisir. Sebelum ada keputusan reklamasi melalui Keputusan Presiden Nomor 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, wilayah itu sudah memprihatinkan karena parahnya sedimentasi dan sampah.
Aturan Perpres No 60/2020 mengenai Zona B menyebutkan agar tidak mengganggu fungsi muara. ”Masalahnya, fungsi muara itu sendiri sudah rusak dan hingga kini belum terlihat upaya pembersihan lingkungan atau setidaknya perbaikan kehidupan warga lokal,” kata Bono yang tengah melakukan riset doktoral mengenai kawasan Teluk Jakarta.
Ia menjelaskan, selain masalah lingkungan, faktor sosial di pesisir Jakarta belum sepenuhnya diperhatikan. Berlanjut atau tidaknya reklamasi pulau-pulau di Teluk Jakarta harus bisa membantu menyelesaikan masalah penghidupan warga setempat. Apabila warga tidak digusur ke tempat lain, hendaknya ada pemberdayaan bertahap. Misalnya, mengubah pola dari perikanan tangkap menjadi budidaya dan pembuatan produk turunan perikanan.
”Pembangunan dimulai dari masyarakat miskin diberdayakan dan menggusur kemiskinan. Bukan menggusur masyarakat miskinnya,” ujarnya. Setelah masalah di faktor sosial diselesaikan, barulah pembangunan fisik bisa dilakukan. Sejauh ini belum ada tanggapan dari jajaran Pemprov DKI Jakarta.