Perpanjangan atau Penghentian PSBB DKI Menunggu Evaluasi
Pemerintah Provinsi Jakarta akan rapat dengan pakar epidemiologi mengenai perkembangan kondisi pembatasan sosial berskala besar. Belum jelas apakah PSBB akan diperpanjang atau malah dilonggarkan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengetatan aturan pembatasan sosial berskala besar diharapkan bisa menurunkan arus pergerakan warga. Meskipun begitu, jangan lupa perhatikan faktor-faktor lunak seperti mental dan perilaku masyarakat serta memastikan terus berjalannya sosialisasi pentingnya untuk tetap di rumah.
Sudah hampir sepekan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 47 Tahun 2020 dicanangkan. Isinya ialah mempersempit celah pergerakan orang keluar masuk Jakarta dengan cara mengharuskan mereka yang memang bekerja di 11 sektor pengecualian memiliki surat izin jalan dari Pemerintah Provinsi Jakarta.
Hingga saat ini belum ada kabar PSBB akan dilonggarkan dengan persyaratan tertentu atau malah akan diperpanjang melampaui tanggal 22 Mei 2020 yang merupakan batas pelaksanaan PSBB DKI Jakarta tahap kedua.
”Laporan pergerakan orang selama pekan lalu tengah disusun oleh Dinas Perhubungan,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika dihubungi pada Senin (18/5/2020).
Ia mengungkapkan, pada Senin petang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jakarta akan melakukan pertemuan dengan para ahli epidemiologi. Mereka akan membahas situasi terkini sehingga bisa memutuskan mengenai status PSBB di Jakarta ke depan.
Data terakhir menyebutkan, kasus positif Covid-19 di Jakarta adalah 6.010 orang. Sebanyak 1.301 orang sembuh dan 483 orang meninggal. Sisanya tengah menjalani perawatan di rumah sakit ataupun isolasi mandiri.
Sejumlah pihak, seperti lembaga-lembaga penelitian, salah satunya Centropolis Universitas Tarumanagara, meminta kesediaan Pemprov Jakarta untuk membuka data penyebaran virus korona baru. Saat ini hanya ada peta wilayah-wilayah yang kasusnya parah, di antaranya Kelurahan Petamburan, Sunter Agung, dan Kebon Kacang. Akan tetapi, tidak ada penjelasan mengenai penyebab lonjakan angka di wilayah tersebut. Adanya keterbukaan arus penyebaran Covid-19 sangat membantu masyarakat menyiapkan diri dan mengambil langkah spesifik sesuai kondisi wilayah masing-masing.
Denda
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta Arifin mengatakan, sudah mendisiplinkan 15 restoran, kafe, dan hotel yang melanggar aturan PSBB. Mereka terbukti masih membuka layanan untuk makan di tempat, padahal selama PSBB semua jenis tempat makan hanya boleh memberi layanan jual beli makanan untuk dibungkus dan dibawa pulang.
”Untuk restoran dikenai denda Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Kalau hotel dendanya Rp 10 juta hingga Rp 25 juta,” tuturnya.
Sebelumnya, pada tanggal 14 Mei Pemprov Jakarta telah mendisiplinkan manajemen restoran cepat saji McDonald’s di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat. Waralaba pertama di Indonesia itu ditutup karena Sarinah akan direnovasi secara menyeluruh. Pada tanggal 10 Mei ketika penutupan McDonald’s dilakukan, ratusan orang berkumpul untuk memberi ucapan perpisahan. Hal ini melanggar aturan keramaian PSBB.
Sosiolog perkotaan Universitas Negeri Jakarta, Ubeidillah Badrun, memaparkan, penerapan PSBB di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi kurang sistemik. Pengambilan keputusan PSBB yang terlambat karena menunggu jumlah kasus merebak, bukannya mencegah agar tidak ada kasus.
”Akibatnya, publik menafsirkan pembatasan ini dengan caranya sendiri yang mungkin tidak sepenuhnya sesuai kaidah PSBB,” ujarnya.
Selain itu, komunikasi elite politik di pusat dan daerah juga tidak konsisten. Isu pelonggaran PSBB di satu pihak dan pengetatan PSBB di pihak lain membuat masyarakat bingung. Contohnya ialah pelarangan masyarakat untuk pulang kampung ataupun mudik, tetapi kemudian diperbolehkan asal mengurus surat keterangan negatif Covid-19. Dualisme aturan ini berbahaya karena masyarakat menganggap pemerintah tidak tegas.
”Indonesia memiliki masalah di tingkat pendidikan masyarakat sehingga kesadaran hukum masih rendah. Hal ini diperburuk dengan aturan yang simpang siur. Pantas saja pelanggaran PSBB masih terjadi di mana-mana," papar Ubeidillah.
Faktor budaya yang guyub biasanya menjadi kekuatan masyarakat Indonesia. Menurut dia, di masa PSBB harus ada penafsiran ulang keguyuban. Bukan guyub secara fisik yang berupa berkumpul bersama, melainkan guyub saling mengingatkan untuk menjaga diri sendiri dan orang lain dengan cara jangan keluar rumah.
Ketegasan penegakan aturan oleh aparat pemerintah harus didukung oleh advokasi dari tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Advokasi digital melalui media sosial juga hendaknya kian digencarkan.