Pandemi Covid-19 mengubah cara warga melewati malam takbiran. Sebagian dari mereka menghindari kerumunan tanpa menggelar takbiran keliling demi memutus rantai penularan pandemi.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar... La ilaha ilallahu wallahu akbar... Allahu akbar walillahil hamd...
Seruan takbir itu berkumandang dari sejumlah masjid di Jakarta, Sabtu (23/5/2020) petang, menandai bulan Ramadhan telah berakhir. Bersamaan dengan gema takbir, aktivitas sebagian warga tampak riuh rendah di kawasan permukiman masing-masing.
Pada malam takbiran tahun ini, sebagian warga lebih banyak berdiam di rumah akibat pandemi Covid-19. Kecenderungan berada di rumah juga karena Jakarta masih dalam status pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Segala aktivitas kerumunan selama PSBB ditertibkan demi mencegah penularan Covid-19.
Banyak yang kecewa lantaran tak bisa melaksanakan takbiran keliling. Namun, situasi itu justru mendorong sebagian warga bermalam takbiran lebih intens di permukiman dan rumah ibadah terdekat.
Hal tersebut dilakukan Jawawi (60), warga RT 015 RW 007, Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Dia menginisiasi warga setempat agar takbiran di rumah dan mushala sekitar rumah. Jawawi mengajak sebagian warga yang tidak takbiran keliling.
”Banyak warga setempat, terutama yang muda-muda, gagal takbiran keliling karena situasi pandemi. Saya minta mereka untuk bantu-bantu di mushala, ada yang ikut takbiran, menyalurkan zakat, dan memasak makanan untuk warga. Yang penting mereka jangan sampai keluar wilayah perumahan,” ujar Jawawi.
Pengurus kegiatan agama di RT setempat ini memahami, warga kecewa karena terpaksa melewatkan rutinitas takbiran satu tahun sekali. Meski begitu, dia juga menekankan bahwa takbiran keliling berpotensi memperparah penularan pandemi.
Sejak tiga hari sebelumnya, Jawawi fokus mengimbau warga agar menghindarkan diri dari kerumunan takbiran keliling. Bersama pengurus RT setempat, dia meminta imbauan besar-besaran agar warga tidak bepergian saat malam takbiran.
Hal itu dipahami sebagian warga dengan berat hati. Hasto (51) menyayangkan kondisi pandemi meski dia pun tidak ingin tertular. ”Sedih sekali, malam takbiran justru hanya bisa di sekitar rumah. Namun, di situasi tidak pasti sekarang, saya coba ikut warga setempat saja dulu,” ujarnya.
Selain di Tanjung Duren Utara, kegiatan serupa juga dilakukan sebagian warga RW 004 Kelurahan Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Alfiyan (27), warga setempat, bercerita inisiatif tersebut dimaksudkan agar warga tidak konvoi takbiran keliling selama masa PSBB.
”Sebagian pengurus warga dan karang taruna diminta membersihkan masjid untuk kegiatan berkumpul kecil-kecilan besok. Kendati begitu, kegiatan ibadah tetap dilakukan di rumah masing-masing,” ujar Alfiyan.
Tetap di rumah
Segala kegiatan ibadah di rumah itu bermaksud untuk mencegah penularan. Virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, hingga kini diketahui mampu menular dengan cepat lewat tetesan kecil saat batuk dan bersin (droplet). Maka, kondisi kerumunan orang dalam jarak yang sangat dekat perlu dihindari.
Satu orang positif Covid-19 mampu menularkan virus minimal kepada dua orang. Ditambah lagi, keberadaan virus ini bisa menjadi sangat mematikan bagi sebagian kalangan lanjut usia serta mereka yang memiliki penyakit penyerta.
Hingga 23 Mei 2020, jumlah pasien positif Covid-19 mencapai 21.745 orang. Pada tanggal ini pula, angka penambahan kasus harian mencatat rekor tertinggi sebesar 949 orang dalam sehari.
Atas dasar kondisi tersebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan agar warga mengurangi segala aktivitas fisik di rumah. Dia memahami, warga sedang dalam euforia momen Lebaran. Namun, selama pandemi, berdiam di rumah kini dapat mencegah penularan Covid-19.
Anies juga mengimbau agar kegiatan shalat Idul Fitri pada Minggu (24/5/2020) pagi dapat dilakukan di rumah. ”Kali ini, biarkan takbir itu bergema di setiap hati dan di setiap rumah di kawasan Jakarta,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini menyebutkan, dalam kondisi seperti ini, warga sebaiknya mengutamakan kesehatan di masa pandemi. Ada kaidah ushul fiqih yang menyebutkan dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil masholih. Artinya, menghindari segala kemudaratan lebih baik daripada mengejar manfaat demi menjaga kemaslahatan umat.
Helmy mengingatkan, sejumlah kegiatan meliputi Takbiran malam serta shalat Idul Fitri sebenarnya bersifat sunah. Dalam situasi pandemi, hal ini bisa dilakukan di rumah demi menjaga kesehatan diri masing-masing. ”Menghindari kemudaratan itu lebih baik daripada mengejar manfaat ibadah yang sebenarnya bernilai sunah. Dalam hal shalat Idul Fitri dan Takbiran, Insya Allah makna ibadah tersebut tidak akan berkurang meski dilakukan di rumah,” tutur Helmy.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyayangkan pemerintah kurang tegas dalam menegakkan aturan PSBB. Dia menyarankan PSBB sebaiknya tidak dilonggarkan demi mengantisipasi transmisi lokal yang lebih masif.
”Saya menyayangkan pemerintah yang kurang adil menegakkan PSBB. Warga sudah mati-matian menahan diri tidak ibadah berjemaah di masjid, tetapi warga tetap dibiarkan berkumpul di tempat lain, seperti pasar. Selama warga tidak dihindarkan dari kerumunan, akan terus terjadi transmisi lokal,” ungkap Abdul.