Amplop Lebaran mungkin tidak lagi dilirik karena silaturahmi terhalang pembatasan sosial dan gangguan ekonomi. Namun, banyak cara untuk tetap berbagi rezeki di luar amplop hari raya Idul Fitri.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
Memberi hadiah uang kepada anggota keluarga telah lama menjadi tradisi di Indonesia ketika hari perayaan, termasuk Idul Fitri. Tradisi ini tidak hanya memberi kebahagiaan kepada orang-orang yang lebih muda atau belum memiliki penghasilan, tetapi juga mereka yang berkreasi menjajakan amplop Lebaran.
Kang Adi, panggilan seorang pedagang di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, misalnya, sudah hampir 10 tahun menjual amplop Lebaran. Sabtu (23/5/2020), ia bercerita, barang dagangan musiman itu kerap memberinya penghasilan ekstra yang bisa ia gunakan untuk mudik ke kampung.
Namun, tahun ini berbeda karena pandemi Covid-19. Ia kini kesulitan mendapatkan pasokan amplop Lebaran untuk dijual walau ia beruntung masih mendapatkan stok dari seorang teman. Di pasar, ia pun menjadi satu-satunya pedagang yang menjual amplop untuk ”salam tempel” tersebut.
”Biasanya yang jualan di sini 20 orang. Ini juga juga baru jualan sepuluh hari sebelum Lebaran, padahal biasanya dari hari pertama puasa (Ramadhan). Karena korona, kami susah jualan karena barangnya susah, yang beli juga sedikit. Jualan ini cukup untuk makan saja,” tuturnya.
Sampai Sabtu siang, ia masih menjajakan ratusan bungkus amplop warna-warni yang didominasi karakter kartun anak, dengan tulisan ucapan selamat hari raya. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, dagangannya biasa ludes sejak pagi hari.
Setiap sepuluh lembar amplop dalam satu bungkus ia jual dengan harga Rp 5.000. Harga untuk lima bungkus amplop sekaligus dijual lebih murah, yakni Rp 20.000. Pembeli yang datang mayoritas hanya membeli tidak lebih dari lima bungkus.
”Akan tetapi, kemarin, ada saja orang baik yang mau beli banyak sampai sepuluh bungkus, 15 bungkus. Kata mereka buat pelaris. Buat saya, alhamdulillah, ada saja orang mau kasih rezeki lebih,” tuturnya.
Menunda
Tradisi salam tempel, bagi sebagian masyarakat, nyatanya tidak mudah dilakukan seperti sebelumnya. Rudi (36), wirausaha konter ponsel di Jakarta, mengaku tidak akan membagikan salam tempel untuk keponakan atau anak-anak tetangganya.
Selain alasan adanya pembatasan sosial, yang mungkin membatasi kegiatan silaturahmi, kesulitan ekonomi di tengah pandemi juga menjadi pertimbangannya untuk tidak membagikan uang di hari kemenangan ini.
”Jujur saya sedih karena enggak bisa berbagi ke anak-anak, secara pendapatan cuma cukup untuk hidup sehari-hari. Semoga tahun depan kondisi ekonomi membaik seperti semula,” ujarnya saat dihubungi Kompas.
Novia Utami (30), pekerja perantau dari Bengkulu, juga bersedih karena tidak bisa pulang ke kampung halaman dan memberi amplop berisi uang kepada keponakan dan sepupu kecilnya. Namun, ia memikirkan cara lain untuk tetap bisa berbagi.
Virtual
Berbagi hadiah berupa uang nyatanya tidak melulu harus berupa uang fisik dalam kemasan amplop. Seiring perkembangan teknologi dan sistem pembayaran digital, berbagi hadiah di Lebaran juga bisa dilakukan secara virtual.
Novia pun berencana berbagi dengan cara tersebut. Pegawai di sebuah perusahaan swasta di Jakarta itu memanfaatkan aplikasi e-dagang dan super app untuk menyalurkan rezeki yang ia miliki.
”Pakai aplikasi-aplikasi yang bisa digunakan untuk berkirim hadiah itu, saya enggak cuma bisa kirim uang, tetapi juga semacam voucher supaya bisa dibelanjakan ulang lewat aplikasi itu,” katanya.
Bagi Novia, berbagi rezeki yang berlebih adalah berkah. Ia pun bersyukur masih bisa melakukannya saat ini meski tanpa mengisi amplop-amplop yang menyambung hidup para pedagang. Menurut dia, berbagai cara bisa dilakukan untuk menyalurkan rezeki ke orang lain yang membutuhkan.