PSBB tahap ketiga di Jakarta akan berakhir pada 4 Juni 2020. Hasil evaluasi terhadap PSBB ini menjadi kunci penentuan penetapan masa transisi menuju situasi normal baru.
Oleh
DAN/DNE
·4 menit baca
PSBB tahap ketiga di Jakarta akan berakhir pada 4 Juni 2020. Hasil evaluasi terhadap PSBB ini menjadi kunci penentuan penetapan masa transisi menuju situasi normal baru.
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tahap ketiga di DKI Jakarta mendekati batas akhir. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Senin, 1 Juni, melakukan evaluasi menyeluruh atas pelaksanaan PSBB yang dimulai sejak 10 April guna menentukan apakah Ibu Kota bisa memasuki masa transisi menuju normal baru.
”Terlalu cepat bagi kita untuk mengatakan Jakarta siap memasuki kehidupan normal baru saat PSBB berakhir. Ini adalah masa transisi. Keputusan soal penerapannya harus berdasarkan data dan fakta lapangan,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui wawancara virtual di Jakarta, Jumat (29/5/2020).
Ia memaparkan, data terkini mengenai tingkat penularan di Jakarta adalah 1,03, pekan lalu angkanya 1,11. Artinya, hingga sekarang satu orang bisa menginfeksi 1,03 orang. Pemprov DKI menunggu sampai tingkat penularan di bawah 1 untuk menyatakan Jakarta siap memasuki masa transisi.
Secara umum, ia menganggap masyarakat Jakarta sudah menunjukkan sikap yang bertanggung jawab. Pada awal Maret, Pemprov Jakarta belum membuat aturan formal PSBB, baru sebatas mengimbau warga agar menghentikan kegiatan di tempat-tempat umum. Per awal April, jumlah kasus positif Covid-19 cenderung mulai menurun.
”Hingga pertengahan Mei ketika PSBB tahap kedua berlangsung, sebanyak 60 persen warga Jakarta sudah efektif tinggal di rumah. Kedisiplinan ini membantu penurunan kasus positif,” tuturnya. Ia mengungkapkan, memang sempat ada kekhawatiran angka kasus akan naik karena ketika memasuki bulan Ramadhan.
Saat itu terpantau pergerakan masyarakat meningkat pada sore dan malam hari. Dampaknya baru bisa terlihat sebulan kemudian. Hal ini yang membuat evaluasi tanggal 1 Juni sangat penting dan menentukan untuk memutuskan apakah Jakarta mengakhiri PSBB yang berakhir 4 Juni atau diperpanjang lagi.
Sejauh ini, perkembangan yang ada cukup menggembirakan. Penumpang MRT 2.000 orang per hari atau 2 persen dari jumlah normal; penumpang Transjakarta yang pada masa reguler mencapai 1 juta orang per hari kini tinggal 12 persen; jumlah kendaraan pribadi yang beredar di jalanan Ibu Kota pun turun menjadi 45 persen saja dari biasanya.
Di samping itu penurunan kasus kian mengecil dan jumlah tes yang diadakan meningkat drastis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki standar satu dari 1.000 penduduk harus dites setiap minggu untuk menentukan tertular Covid-19 atau tidak. Jakarta dengan sekitar 10 juta jiwa penduduk, selama 11 pekan terakhir, telah mengadakan sekitar 140.000 tes. Artinya, jumlah tesnya sudah dua kali lipat dari standar WHO.
Ombudsman Jakarta
Ombudsman Jakarta Raya tengah dalam proses mengevaluasi pelaksanaan PSBB di Ibu Kota. ”Nanti dari sana (evaluasi) baru dilihat apakah Jakarta sudah bisa memasuki situasi normal baru atau masih harus menjalani PSBB,” ucap Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho, di Jakarta, Jumat.
Sejauh ini, normal baru masih sebatas rekomendasi dari pemerintah pusat karena belum ada dasar hukum, pengaturan teknis, dan dasar penetapan normal baru di suatu daerah. Itu berbeda dengan PSBB yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Menurut Teguh, siapa yang menyatakan berlakunya normal baru, dasarnya apa, alat evaluasinya apa, dan anggarannya bagaimana harus jelas sebelum penerapan normal baru. Sebab, banyak warga tidak tertib selama PSBB. Ketika PSBB tahap pertama, misalnya, belum ada perangkat hukum yang memberikan sanksi kepada pelanggar.
Dalam situasi itu, penegak hukum mengambil pendekatan persuasif tetapi tidak cukup efektif dan warga tetap tidak tertib. ”Imbasnya ketika penerapan PSBB kedua, penegak hukum lebih longgar dalam penjagaan,” katanya.
Pusat dan daerah
Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto mengatakan, jika memang akan menuju normal baru, batasan normal baru itu harus sama, baik antara yang dipikirkan oleh pemerintah, pusat dan daerah, maupun masyarakat. ”Sebaiknya standar WHO menjadi acuan semua pihak.
Kalau standar berbeda, nanti yang terpapar korona dikhawatirkan lebih banyak,” katanya, di Jakarta, Kamis (28/5). Pemerintah juga diminta menerapkan normal baru itu secara berkeadilan dan disiplin sesuai dengan kondisi dan status zona daerah bersangkutan. Informasi yang jelas harus disampaikan pemerintah, termasuk tentang pemetaan daerah, apakah suatu daerah itu tergolong zona merah, hijau, ataukah biru.
Dari keterbukaan informasi itu, menurut Yandri, kewaspadaan masyarakat bisa ditumbuhkan. Pesan agar pemerintah melakukan pengkajian secara mendalam juga datang dari Persyarikatan Muhammadiyah. ”Pemerintah perlu mengkaji saksama pemberlakuan new normal agar masyarakat tidak menjadi korban,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir melalui keterangan tertulis, Kamis.
Ketua Bidang Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Syahrizal Syarif berpendapat senada. Hal yang perlu digarisbawahi, pemberlakuan normal baru berdampak pada melambatnya penurunan kurva kasus Covid-19 dan butuh waktu yang lebih lama.
”Jika lockdown adalah standar ideal, PSBB adalah standar esensial, maka pelonggaran harus memenuhi standar minimal kesehatan. Pakai masker, jaga jarak, kebersihan diri, cuci tangan, social-physical distancing tidak bisa ditawar,” ujar Syahrizal.