Jakarta mengalami pelambatan ekonomi yang signifikan. Perputaran ekonomi didesak dilakukan di tengah penerapan ketat protokol kesehatan demi mencegah penularan Covid-19.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar/Helena F Nababan
·5 menit baca
Ekspor DKI Jakarta pada April 2020 menurun dibandingkan pada bulan Maret. Sebaliknya, impor justru meningkat. Hal ini lumrah mengingat situasi pembatasan sosial berskala besar atau PSBB melambatkan aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, asosiasi pengusaha meminta masa transisi menuju normal baru segera diterapkan. Mereka berkomitmen menjalankan protokol keamanan karena tidak mau mengambil risiko merugi lagi.
Data tersebut dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta pada hari Selasa (2/6/2020) dalam ”Berita Resmi Statistik: Inflasi, Pariwisata, dan Ekspor Impor”. Disebutkan bahwa ekspor Jakarta pada bulan April menurun 26,76 persen dibandingkan pada Maret. Angka ini setara dengan 605 juta dollar Amerika Serikat (AS). Sebaliknya, impor naik 1,59 persen atau 5 juta dollar AS.
Situasi pandemi Covid-19 memang berdampak pada segala aspek. DKI Jakarta pun tercatat mengalami deflasi 0,02 persen pada Mei 2020, sementara angka kunjungan wisatawan mancanegara ke DKI Jakarta pada kuartal pertama 2020 turun banyak.
Hamid Ponco Wibowo, Kepala Perwakilan BI Provinsi DKI Jakarta, Selasa, menjelaskan, deflasi Jakarta pada Mei 2020 sebesar 0,02 persen. Hal itu terjadi disebabkan adanya penurunan harga, terutama pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Adapun komoditas yang memberikan andil pada deflasi di DKI Jakarta adalah komoditas cabai merah, telur ayam ras, bawang bombay, dan bawang putih.
”Wajar jika ekspor menurun. Ini fenomena di semua negara akibat pandemi Covid-19. Ada pelambatan ekonomi besar-besaran. Permintaan barang dari luar negeri menurun. Kalaupun impor naik, pastinya hanya di produk-produk spesifik,” kata Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang Indonesia DKI Jakarta Sarman Simanjorang.
Data BPS Jakarta mengungkapkan bahan baku atau bahan penolong, barang modal, dan barang konsumsi merupakan tiga komoditas dengan jumlah impor terbesar. Menurut Sarman, bahan baku atau penolong ini umumnya digunakan di industri kesehatan. Misalnya bahan utama pembuatan cairan antiseptik dan alat-alat pengaman diri.
Wajar jika ekspor menurun. Ini fenomena di semua negara akibat pandemi Covid-19. Ada pelambatan ekonomi besar-besaran. Permintaan barang dari luar negeri menurun.
Adapun terkait kenaikan impor barang-barang konsumsi, Sarman menjelaskan, fenomena ini lumrah setiap sebelum hari raya Idul Fitri. Biasanya, pembelian daging dan buah-buahan meningkat menjelang Lebaran.
”Baik situasi impor maupun ekspor ini belum menunjukkan perbaikan pada perekonomian Jakarta. Pendongkrak ekonomi Ibu Kota adalah pariwisata dan perdagangan,” ujarnya.
Pariwisata mencakup tempat wisata, hotel dan penginapan, restoran, dan kafe. Perdagangan mencakup ritel. Semuanya sangat bergantung kepada pergerakan fisik manusia yang selama PSBB berlangsung dibatasi secara ketat sehingga menurun drastis.
Sarman menjabarkan, dalam hal pariwisata dan ritel, masyarakat Jakarta berbelanja ketika tengah bergerak. Misalnya ketika berjalan-jalan di mal, konsumen membeli barang, makan di restoran, dan menonton di bioskop secara spontan. Usaha restoran dan kafe ketika permintaannya bergantung dari pola konsumsi yang terencana praktis menurun.
Bisnis ketika transisi
Selain mencatat adanya deflasi, BPS DKI Jakarta juga mencatat penurunan sangat signifikan pada angka kunjungan wisatawan mancanegara ke DKI Jakarta melalui dua pintu masuk, yaitu Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma.
Bila pada Maret 2020 jumlah kunjungan wisman 52.721 kunjungan, pada April 2020 menjadi hanya 424 kunjungan. Apabila angka kunjungan pada April 2020 dibandingkan pada April 2019, angka kunjungan itu jatuh hingga 99,78 persen.
Cucu Ahmad Kurnia, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta, memahami bahwa hal itu terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di DKI Jakarta. ”Kita tidak sendirian. Secara global, kejadian penurunan di sektor pariwisata sama. Bahkan secara global, untuk pariwisata baru, akan pulih di 2022,” kata Cucu.
Kita tidak sendirian. Secara global, kejadian penurunan di sektor pariwisata sama. Bahkan secara global, untuk pariwisata baru, akan pulih di 2022.
Menurut Cucu, bila angka kunjungan turun, sudah pasti dampak ikutannya banyak. Mulai dari penurunan tingkat hunian hotel hingga penurunan belanja di usaha pariwisata. Apabila kondisi ekonomi belum pulih, pariwisata juga belum pulih dengan cepat. Apalagi akan banyak kaidah baru di sektor transportasi sebagai sektor yang menunjang sektor pariwisata.
Sebagai upaya menggenjot pariwisata, lanjut Cucu, pihaknya akan memaksimalkan kunjungan domestik Jakarta. ”Kami memanfaatkan kekuatan domestik untuk pemulihan sektor pariwisata,” katanya.
Namun, untuk pemulihan, ia melihat perlu ada banyak agenda pariwisata di DKI Jakarta dibarengi strategi komunikasi dan promosi yang lebih menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
Untuk itu, lanjut Cucu, pihaknya terus berkoordinasi dan berkomunikasi dengan para pelaku pariwisata. Selain dalam menyusun protokol Covid-19 untuk per jenis industri pariwisata, juga soal kampanye pariwisata dan pembuatan paket-paket pariwisata yang lebih menjual perlu dimunculkan.
”Untuk wisman dengan paket-paket wisata itu, kami menargetkan Jakarta tetap bisa menjadi pintu masuk mereka, baru mereka terdistribusikan ke daerah lain,” kata Cucu.
Sarman menerangkan, kalangan pengusaha telah meminta pemerintah untuk membuka kembali operasionalisasi industri dan perdagangan. Tekanan ekonomi membuat modal serta tabungan kian menipis. Pengusaha juga tidak berniat mencari laba besar dalam masa transisi karena yang paling penting adalah perputaran uang.
”Kami memahami kecemasan masyarakat bahwa jika unit-unit usaha dibuka, akan terjadi kluster penularan Covid-19 yang baru. Akan tetapi, pengusaha pastinya akan mematuhi protokol keamanan karena mereka tak mau mengambil risiko peningkatan kasus yang mengakibatkan ekonomi merugi kalau PSBB diterapkan lagi. Perusahaan bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keamanan pekerja,” tuturnya.
Ia mengatakan, pemerintah bisa membuat aturan agar setiap perusahaan memiliki gugus tugas Covid-19 internal yang memastikan protokol keamanan diterapkan. Kinerja gugus tugas ini nanti dievaluasi oleh pemerintah. Perusahaan yang gagal memenuhi protokol harus siap dengan konsekuensi dihentikan sementara, bahkan dicabut izinnya.
Pada kesempatan yang berbeda, antropolog sosial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Fadjar Thufail, mengingatkan pemerintah agar benar-benar menghitung risiko kebencanaan jika memutuskan Jakarta memasuki masa transisi. Setiap wilayah, tempat wisata, dan tempat kerja memiliki penilaian risiko yang berbeda-beda. Mal besar, seperti Grand Indonesia, memiliki kebutuhan sarana keamanan yang berbeda dari mal-mal lebih kecil dan dengan demografi konsumen berbeda.
Meskipun ekspor secara umum berkurang, ekspor ikan dan udang justru meningkat. Dibandingkan pada bulan Maret, naiknya mencapai 12,36 persen. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Elizabeth Ratu Rante Allo mengatakan, peningkatan itu terjadi karena ada program peningkatan ekspor dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
”Ikan dan udang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti di AS, China, dan Jepang. Negara-negara ini juga sudah membuka akses impor produk bahari,” ujarnya.
Kabar baik dari industri perikanan ini mungkin bisa menjadi pelipur lara sekaligus salah satu peluang yang bisa digarap lebih serius demi menyelamatkan perekonomian Ibu Kota.