Terbentur Keterbatasan, Berdagang Cara Konvensional Tetap Langgeng di Tengah Pandemi
Mengalihkan proses jual beli tatap muka menjadi jual beli daring butuh penguatan di berbagai lini, termasuk infrastruktur teknologi informasi. Tidak semua pedagang dan pembeli bisa mengakses fasilitas ini.
Oleh
Aguido Adri
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 begitu berdampak dan memukul para pedagang dan pelaku usaha kecil. Bukannya tidak ingin mematuhi aturan pembatasan sosial berskala besar, tetapi impitan ekonomi membuat mereka terpaksa tetap berjualan demi bertahan memenuhi kebutuhan hidup.
Hingga pukul 16.30, Stevi (50), pedagang ikan hias di Jalan Matraman Raya, Bali Mester, Jatinegara, Jakarta Timur, baru mengantongi uang sekitar Rp 45.000. Sedikitnya pundi rupiah yang terkumpul sudah ia alami hampir tiga bulan sejak Covid-19 merebak di Jakarta dan aturan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Padahal, sebelumnya, ia bisa memperoleh sekitar Rp 200.000 hingga Rp 400.000 per hari.
”Pendapatan sekarang dalam sehari sekitar Rp 50.000, bahkan hanya Rp 30.000 per hari. Kami bukannya tidak mau patuh aturan, tetapi jika kami tak berjualan tidak ada pemasukan harian. Kondisi saat ini saja sudah buat kami terpukul dan kesulitan ekonomi, apalagi jika kami tak berjualan?” kata Stevi, Rabu (3/5/2020).
Stevi paham, aturan PSBB mengharuskan mereka berhenti berjualan agar tidak menimbulkan keramaian yang berpontensi menyebabkan penularan Covid-19. Tak hanya itu saja, ia juga paham, dalam masa PSBB, mereka riskan dirazia oleh petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP). Namun, selama tidak ada perlindungan ekonomi, mereka pun terpaksa berjualan.
”Kami seperti penjahat dan tertuduh melanggar aturan. Kami mengerti konsekuensi pelanggaran tersebut. Namun, setidaknya dalam kondisi pandemi Covid-19, ada upaya pula untuk membantu perekonomian kami. Dari awal, kami seperti dibiarkan menghadapi situasi sulit ini sendiri. Kami tetap berjualan sungguh untuk cari makan dan memenuhi kebutuhan harian,” tutur Stevi.
Pedagang ikan hias lainnya, Joni (40), sependapat dengan Stevi. Berbagai upaya bertahan dalam impitan ekonomi sudah ia lakukan, salah satunya dengan berjualan secara daring. Hal itu ia lakukan agar bisa mengikuti aturan pemerintah. Namun, bagi Joni, tidak mudah untuk berjualan secara daring karena ia sendiri yang harus mengantar pesanan pelanggan.
”Saya juga berjualan secara daring. Namun, ternyata susah juga kalau dikerjakan sendiri. Dari pengalaman, idealnya minimal dua orang yang menjalankannya. Yang satu bekerja sebagai pengantar. Ada ojek daring memang, tetapi biaya ongkos jadi tinggi. Ada banyak pelanggan yang protes dengan biaya tambahan jasa pengiriman. Makanya, sekarang jual langsung saja,” kata Joni.
Joni berharap, dalam situasi pandemi Covid-19, pemerintah memberikan kebijakan yang berpihak kepada pedagang kecil untuk tetap berjualan. Namun, kebijakan tersebut juga disertai dengan protokol kesehatan.
”Kami ini jika difasilitasi tidak mungkin melanggar aturan. Kami bukan orang yang tak kenal aturan. Silakan diatur, termasuk aturan protokol kesehatan. Jadi, kebijakan yang sama-sama menguntungkan. Kebijakan yang bisa buat kami tenang dalam menjalankan usaha,” kata Joni.
Kami ini jika difasilitasi tidak mungkin melanggar aturan. Kami bukan orang yang tak kenal aturan. Silakan diatur, termasuk aturan protokol kesehatan. Jadi, kebijakan yang sama-sama menguntungkan. Kebijakan yang bisa buat kami tenang dalam menjalankan usaha.
PSBB di Jakarta juga membuat sejumlah pusat perdagangan dan perbelanjaan, termasuk Pusat Grosir Cililitan (PGC), meniadakan aktivitas jual beli. Aturan tersebut diberlakukan agar tidak ada keramaian massa sehingga dapat memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Namun, penutupan PGC berdampak para pelaku usaha. Lebih dari dua bulan mereka tak bisa berjualan atau melayani pelanggan. Hal itu membuat Reno (29) dan Slamet (30) mengalami kesulitan ekonomi. Sudah lebih satu bulan mereka terpaksa membuka layanan jasa perbaikan telepon seluler di pelataran halaman PGC demi menyambung hidup.
Reno pun bingung untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Sudah tiga bulan terakhir ia hanya mengirim sekitar Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan ke kampung halaman. Padahal, sebelum Covid-19 merebak, ia bisa mengirim Rp 3,5 juta-Rp 4 juta per bulan. Bahkan, jika banyak pelanggan, ia bisa mengirim Rp 5 juta per bulan.
”Saya jadi kepikiran anak istri di kampung. Penghasilan saya turun jauh. Sementara saya juga perlu memenuhi kebutuhan hidup. Sejak penutupan PGC karena aturan PSBB, sehari uang yang masuk hanya Rp 100.000 dan paling banyak Rp 250.000, itu pun kalau beruntung,” kata Reno.
Meski terjerat masalah ekonomi, Reno tak mau patah arang dan menyerah. Pandemi Covid-19 memang menggoyangkan perekonomian di segala sektor, tetapi Reno tak mau berdiam saja menunggu bantuan atau perhatian dari pemerintah. Ia sadar, perlu berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
”Yang penting, kita usaha dan doa saja. Menunggu pemerintah tentu bukan solusi cepat. Kita harus gerak sendiri. Jika diam saja tunggu bantuan, tidak ada uang yang masuk kantong. Capek, loh, mikir pemerintah harus begini dan begitu. kita berusaha dan jangan menyerah,” kata Reno.
Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Hoiza Siregar mengatakan, pemerintah perlu membuka pasar daring lebih luas bagi pedagang kecil dan pedagang kaki lima. Pasar daring dinilai sebagai salah satu cara pemerintah menyongsong tatanan normal baru tanpa mengabaikan protokol kesehatan.
”Yang dikhawatirkan saat normal baru adalah kesiapan pemerintah mengatur keramaian di pasar dan sejumlah ruas jalan yang dijadikan lokasi jual beli. Selama PSBB saja masih terpantau ramai dan protokol kesehatan tidak ketat dijalankan,” kata Hoiza, Senin (1/6/2020).
Pasar daring dinilai sebagai salah satu cara pemerintah menyongsong normal baru tanpa mengabaikan protokol kesehatan.
Meski menyatakan setuju dengan langkah pemerintah untuk menghidupkan kembali ekonomi warga, terutama pedagang kecil atau PKL yang terdampak cukup parah akibat pandemi Covid-19, Hoiza mengingatkan, jangan sampai geliat ekonomi di pasar menimbulkan ledakan kasus baru Covid-19.
Pemerintah perlu menyiapkan strategi atau langkah tepat agar pada masa pandemi Covid-19 dan menuju normal baru, sejumlah pasar tidak menimbulkan keramaian.
Di pasar yang berpotensi ramai, katanya, pemerintah harus menurunkan personel untuk mengatur pedagang dan pembeli. Bagaimanapun, jumlah pedagang dan pembeli tetap harus dibatasi dan protokol kesehatan harus dijalankan. Namun, ia menyangsikan, pemerintah dan petugas mampu mengawasi dengan ketat titik-titik keramaian.
”Oleh karena itu, dalam kondisi masih rawan Covid-19, sebenarnya lebih efektif membuat atau memberdayakan pasar daring dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Justru ini menjadi peluang pemerintah untuk menguatkan kembali ekonomi kerakyatan serta melindungi pedagang dan warga dari penularan Covid-19,” ucapnya.
Menurut Hoiza, melalui pasar daring, pemerintah bisa menyerap tenaga kerja baru atau warga yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk membuat sistem jual beli berbasis aplikasi.
”Pemerintah bisa merekrut tenaga IT (teknologi informasi) untuk membuat aplikasi jual beli. Ini tentu bukan perkara sulit untuk pemerintah. Dari sini bisa membangun ekonomi kerakyatan dengan merekrut warga yang terdampak. Selain itu, di setiap kelurahan, pemerintah bisa memberdayakan warga untuk antar pesanan. Sementara untuk pedagang, pemerintah harus menyiapkan pelatihan penjualan secara daring,” tuturnya.
Pemerintah bisa merekrut tenaga IT (teknologi informasi) untuk membuat aplikasi jual beli. Ini tentu bukan perkara sulit untuk pemerintah. Dari sini bisa membangun ekonomi kerakyatan dengan merekrut warga yang terdampak.