Ruwet Bansos Karena Data
Dengan dukungan anggaran yang melimpah, bansos bagi warga terdampak pandemi Covid-19 belum berjalan semestinya. Data penerima bantuan serta pendistribusiannya perlu dibenahi agar bansos kian tepat sasaran.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah telah menjanjikan warga terdampak pandemi Covid-19 bakal menerima bantuan sosial atau bansos hingga akhir Desember 2020. Namun dari dua bulan penyalurannya (April-Mei), banyak masalah yang timbul.
Masalah mulai terlihat dari adanya penerima yang mendapatkan bansos hanya satu kali saja hingga awal Juni ini, pencairan bansos yang terhambat verifikasi data oleh pemerintah daerah, hingga distribusi yang salah sasaran. Sesuai yang dijanjikan pemerintah, warga semestinya sudah tiga kali menerima bansos (April-Juni), atau paling tidak dua kali (April-Mei).
Baca juga : Distribusi Bantuan Sosial di Jabar Ditargetkan Rampung Senin Depan
Temuan di lapangan mengonfirmasi kekacauan distribusi bansos ini. Desa Talok, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Banten, contohnya, sejak April hingga akhir Mei, baru memperoleh 2 macam bansos, yakni Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kemensos sebesar Rp 600.000 per KK dan BLT dana desa.
Kepala Desa Talok, Bunyamin, Rabu (3/6/2020), mengatakan, tidak ada keluarga yang mendapat BST dan BLT rutin setiap bulan selama April-Mei, seperti dijanjikan pemerintah. Sampai awal Juni ini, masing-masing KK penerima bantuan hanya sekali menerimanya.
Bansos berupa BLT dana desa periode April untuk 154 keluarga di desanya, baru diterima pada 29 dan 30 Mei lalu.
Adapun BST diterima total 852 KK di Desa Talok. Bantuan ini didistribusikan PT Pos Indonesia dalam 3 tahap. Tahap pertama pada 29-30 April, bantuan dibagikan ke 276 KK. Sebanyak 140 KK lainnya menerima bansos pada 21 Mei, dan 436 KK pada 22 Mei.
Bunyamin mengaku, mengetahui pendistribusian bansos ini karena ada data penerima BST berupa nama lengkap, alamat, nomor induk kependudukan (NIK), dan kode batang untuk verifikasi data.
"Dari 852 KK penerima BST, sesuai data penerima dari PT Pos, semuanya penerima bantuan untuk periode pertama. Belum ada yang mengulang (menerima bansos tahap kedua)," ujar Bunyamin.
Baca juga : Bantuan bagi Warga Terdampak Covid-19 di Kalsel Terus Mengalir
Dari para penerima bansos itupun ditemukan, ada 5 KK dari keluarga mampu. Hal ini sempat menimbulkan kecemburuan warga Desa Talok.
Banjar (41) adalah salah satu penerima BST di Desa Talok dengan kondisi ekonomi sangat baik. Rumahnya kokoh, dengan mobil Toyota Fortuner dan Honda Brio. Sangat jauh berbeda dengan warga lainnya di Desa Talok yang umumnya hanya memiliki sepeda motor.
Banjar mengaku, keluarganya memperoleh BST karena nama istrinya, Tunenah, masuk dalam daftar penerima bantuan tersebut.
Dengan menggunakan layanan Cek Bansos melalui aplikasi Sistem Informasi Kesejahateraan Sosial-New Generation (SIKS-NG) milik Kemensos, Kompas menemukan nama Tunenah beserta nomor induk kependudukannya (NIK) terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Sebagai pedagang ikan dan istrinya juga bekerja di pabrik, Banjar mengaku, penghasilannnya sudah cukup untuk kehidupan sehari-hari. Bahkan belakangan kondisi ekonominya juga semakin baik sehingga mampu membeli mobil.
Ia tidak menolak ketika memperoleh BST. Di dinding rumahnya pun terpasang stiker penerima bantuan sosial terdampak Covid-19. “Ya namanya saya dikasih (bansos), ada datanya. Mau gimana. Namanya rejeki,” kata Banjar.
Dari para penerima bansos itupun ditemukan, ada 5 KK dari keluarga mampu. Hal ini sempat menimbulkan kecemburuan warga Desa Talok.
Bunyamin mengaku, tidak mengetahui basis data yang digunakan Kemensos untuk menetapkan penerima BST di desanya sehingga ada keluarga mampu yang menerima bantuan tersebut.
Pada awal April lalu, kata Bunyamin, pihaknya telah mengusulkan ke Pemkab Tangerang agar disediakan bansos untuk 1.085 KK keluarga miskin dan terdampak wabah Covid-19 dari total 1.910 KK di desa ini. Jumlah itu telah dikurangi 513 KK penerima bansos reguler Kemensos untuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)/Sembako.
Baca juga : Bantuan Petani-Nelayan Terdampak Covid-19 Belum Sepenuhnya Terealisasi
“Kami sudah mengajukan usulan. Tetapi yang ini (data penerima BST), saya sendiri tidak tahu (asal) datanya. Saya baru tahu juga dari petugas PT Pos (yang mendistribusikan bantuan),” ujar Bunyamin.
Meleset dari yang diajukan
Di Desa Candali, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, BST Kemensos hanya diterima 2 KK dari 2 rumah tangga yang berbeda. Padahal di desa ini, menurut data di aplikasi SIKS-NG, ada 542 rumah tangga yang terdaftar dalam DTKS.
Kepala Desa Candali, Madyani, mengungkapkan, sebelumnya pihaknya telah mengusulkan 1.042 KK di desanya sebagai penerima bansos ke Pemkab Bogor. “Bayangkan itu, yang dapat (BST Kemensos) hanya 2 KK. Padahal di Candali ada 1.042 KK yang kami usulkan,” jelasnya.
Sebulan setelah pendistribusian BST pertama, pada 27 Mei, Desa Candali hanya memperoleh tambahan 10 KK untuk penerima BST. Pendistribusian BST di bulan kedua untuk Desa Candali menjadi 12 KK.
Selain BST, Desa Candali juga mendapatkan bansos berupa 30 kg beras/KK dari Pemerintah Kabupaten Bogor untuk 338 KK. BLT Dana Desa untuk 188 KK mulai didistribusikan pada Mei.
Hingga Mei, total 468 KK yang terjangkau bansos dari 1.042 KK yang diusulkan desa.
Sebulan setelah pendistribusian BST pertama, pada 27 Mei, Desa Candali hanya memperoleh tambahan 10 KK untuk penerima BST. Pendistribusian BST di bulan kedua untuk Desa Candali menjadi 12 KK.
Tujuh macam bansos
Hingga kini ada 7 macam bansos, baik berupa bantuan tunai maupun sembako, dari kementerian serta pemerintah daerah untuk warga yang terimbas pandemi Covid-19. Bantuan ini telah didistribusikan sejak April lalu saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilaksanakan di Jakarta dan sejumlah daerah lainnya.
Kementerian Sosial menyediakan 4 macam bansos. Ada lagi Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Lima bansos dari kedua institusi itu memakan anggaran Rp 64,67 triliun. Targetnya, bantuan menjangkau setidaknya 52,8 juta kepala keluarga (KK), hampir 69 persen dari total 75,7 juta KK nasional.
Ada pula 2 bansos yang disediakan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, sebagai contoh, menyediakan bansos senilai Rp 8,2 triliun.
Di Kabupaten Tangerang, bansos yang didistribusikan tak terbatas bansos dari Kemensos dan BLT Dana Desa. Pemkab Tangerang juga menyediakan bansos senilai Rp 600.000/KK/bulan untuk 83.333 KK selama April- Juni. Kabupaten Tangerang juga memperoleh kuota bansos dari Pemerintah Provinsi Banten berupa uang Rp 600.000/KK untuk 28.000 KK.
Dengan dukungan anggaran yang besar, alih-alih berjalan lancar, distribusi bansos dirasakan seret. Salah satu sebabnya, tiap bansos didistribusikan oleh kementerian dan pemerintah daerah yang menyediakan. Tak ada kepaduan dalam jadwal distribusinya.
Nama penerima bantuan pun baru diketahui perangkat desa dan RT/RW saat bansos didistribusikan. Situasi ini mempersulit perangkat desa dan RT/RW untuk mengantisipasi distribusi bansos yang tidak tepat sasaran.
Dengan dukungan anggaran yang besar, alih-alih berjalan lancar, distribusi bansos dirasakan seret. Salah satu sebabnya, tiap bansos didistribusikan oleh kementerian dan pemerintah daerah yang menyediakan. Tak ada kepaduan dalam jadwal distribusinya.
Verifikasi calon penerima
Salah satu faktor yang menyebabkan ketidaktepatan penerima bansos adalah data DTKS yang belum mutakhir. Padahal, DTKS digunakan pemerintah sebagai basis data untuk memverifikasi calon penerima bantuan yang diusulkan perangkat desa dan RT/RW hingga pemerintah provinsi,
Hingga kini, belum semua pemerintah daerah memutakhirkan DTKS yang memuat data 40 persen keluarga Indonesia dengan kondisi sangat miskin hingga rentan miskin tersebut. Ada kalanya, data ini berkontribusi pada distribusi bansos yang tak tepat sasaran.
Belum dimutakhirkan
Saat dikonfirmasi, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tangerang, Ujat Sudrajat mengaku, Pemerintah Kabupaten Tangerang belum pernah memutakhirkan data DTKS. Data yang dimiliki Dinsos Kabupaten Tangerang masih DTKS yang diterbitkan pemerintah pusat pada 2015. Akibatnya, ada distribusi bansos yang tak tepat sasaran seperti ditemukan di Desa Talok.
Ujat menjelaskan, sebetulnya pada awal 2020 ini pihaknya mengganggarkan Rp 2 miliar untuk pemutakhiran dan verifikasi DTKS. Namun rencana pemuktahiran data ini tak dapat dilaksanakan karena anggarannya direlokasi untuk pengadaan bansos Pemkab Tangerang bagi warga terdampak Covid-19.
Baca juga : Solidaritas dan Hakikat Manusia sebagai Makhluk Sosial
Diakui Ujat, meskipun Pemkab Tangerang juga menyediakan bansos tetapi belum semua bantuan itu tersalurkan. Desa Talok adalah salah satu desa yang belum menerima bansos ini.
Dari 83.333 KK yang ditargetkan memperoleh bansos Pemkab Tangerang sebesar Rp 600.000/KK, baru 18.000 KK yang menerimanya. Bansos Pemprov Banten sebesar Rp 600.000/KK untuk 149.133 KK di Kabupaten Tangerang juga baru disalurkan untuk 35.000 KK.
"Belum semua bansos ini tersalurkan karena sumber dana dan cara penyalurannya berbeda. Bantuan Provinsi Banten disalurkan melalui Bank Jabar Banten (BJB), sedangkan bantuan Pemkab Tangerang melalui BRI. Ada yang masih disiapkan buku tabungannya," jelasnya.
Belum semua bansos ini tersalurkan karena sumber dana dan cara penyalurannya berbeda. Bantuan Provinsi Banten disalurkan melalui Bank Jabar Banten (BJB), sedangkan bantuan Pemkab Tangerang melalui BRI. Ada yang masih disiapkan buku tabungannya.
Sementara untuk BLT Dana Desa, menurut Ujat, hingga 23 Mei belum semua desa memperolehnya. Data penerima yang diusulkan oleh sejumlah desa masih harus diverifikasi dan disinkronisasi oleh pemerintah kabupaten. Hal ini karena banyak NIK untuk warga yang diusulkan tak lengkap atau tumpang tindih dengan NIK orang lain.
Dinsos Kabupaten Bogor juga baru akan memuktakhirkan DTKS pada 2020 ini dengan mengalokasikan anggaran Rp 2,7 miliar. Pemuktahiran data itu pun terancam batal karena dananya akan direlokasi untuk pengadaan bansos Pemkab Bogor bagi warga terdampak Covid-19.
Namun menanggapi Desa Candali yang memperoleh BST Kemensos hanya untuk 2 KK pada April lalu, Operator Teknis Kepala Seksi Fakir Miskin Dinas Sosial Kabupaten Bogor Ferry Ando menyampaikan, bahwa ada kemungkinan data penerima bansos yang diusulkan pihak desa itu tidak lengkap, seperti tidak mencantumkan NIK.
“Semua data yang diusulkan dari desa, kami kirim ke Kemensos. Di Kemensos, data diverifikasi dengan sistem. Jika ada data yang tidak lengkap, akan rontok dengan sendirinya di sistem verifikasi yang ada di Kemensos. Kemungkinan ada yang rontok (datanya gugur) karena tidak sesuai format, atau NIK-nya kurang (sehingga hanya ada 2 KK di Desa Candali yang menerima BST),” jelas Ferry.
Distribusi ruwet
Sementara Kota Depok yang telah memutakhirkan data DTKS sejak 2019, tetap menghadapi keruwetan pada pendistribusian bansos bagi warga terdampak Covid-19 selama April-Mei kemarin.
Tak semua warga miskin dan terdampak wabah Covid-19 di Kota Depok ini terjangkau bansos. Di RT 5 RW 6, Kelurahan Pancoranmas, Kecamatan Pancoranmas, contohnya, tak ada satu pun bansos dari pemerintah yang didistribusikan di RT ini sejak Kota Depok menerapkan PSBB pada pertengahan April lalu.
Sebagai gantinya, menurut Ketua RT setempat, Yunus Subiantoro, sejumlah warga yang mampu bersama-sama patungan menyediakan paket sembako untuk warga miskin di RT ini. "Di RT kami ada 44 KK yang terdampak wabah Covid-19. Ada yang hilang pekerjaan, ada juga ojek daring yang hilang penghasilan karena nggak bisa narik penumpang selama PSBB,” jelasnya.
Baru sebulan kemudian, pada 20 Mei, Yunus mengaku, lingkungan RT tempat tinggalnya untuk pertama kalinya memperoleh bansos dari pemerintah berupa sembako Bantuan Presiden dari Kemensos untuk 91 KK. Bansos ini menjangkau 65 persen dari total warganya 140 KK.
Kepala Bidang Jaminan Sosial, Dinas Sosial Kota Depok, Tri Rezeki Handayani mengaku, proses penghimpunan dan verifikasi data bagi warga terdampak Covid-19 selama April kemarin berjalan secara berkejaran dengan distribusi Bantuan Presiden dari Kemensos, dan bansos Provinsi Jabar.
Tahap pertama, data dihimpun oleh perangkat RT/RW dalam waktu 2 hari. Hari berikutnya, pada 6 April sebelum tengah malam, data itu harus diunggah ke sistem Provinsi Jabar.
“Pada 6 april juga, kami vicon (video conference) dengan Linjamsos (Perlindungan Jaminan Sosial, Dinas Sosial Jawa Barat) bahwa akan ada bantuan dari Kemensos yaitu Banpres di wilayah Jabodetabek yang dianggap zona merah. Bantuan itu berbentuk sembako senilai Rp 600.000. Di dalamnya juga ada usulan penerima dari kelompok DTKS dan non-DTKS. Akhirnya kami lakukan proses filterisasi, cleansing, pemadanan dan overlay data dengan data DTKS (untuk menghindari warga yang menerima bantuan sampai dua kali),” katanya.
Setelah melalui verifikasi, menurut Tri, diperoleh data 300.000 KK yang tidak terjangkau oleh bantuan Kemensos hingga Pemprov Jabar. Kelompok ini dimasukkan sebagai penerima bansos Wali Kota Depok sebesar Rp 250.000/KK/bulan. Namun karena pada 15 April dilaksanakan PSBB di Kota Depok, bansos Walikota didistribusikan lebih dulu untuk 30.000 KK. Sementara sembako Banpres baru turun hampir sebulan kemudian pada 12 Mei.
“Jadi untuk Banprov dan Banpres itu permintaan datanya sudah lebih dulu dibandingkan data bantuan Wali Kota. Namun karena Depok melakukan PSBB sehingga bantuan Wali Kota didistribusikan lebih dulu, dan itu pun baru terbatas 30.000 KK. Akibatnya warga teriak,” jelasnya.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil lewat hubungan video conference, menyampaikan, sejauh ini warga mengira bansos disalurkan lewat satu pintu, padahal ada banyak pintu baik itu bansos dari Kemensos, Kemendes, pemprov, maupun pemerintah kota/kabupaten. Bansos dari pemerintah pusat, contohnya, baru datang belakangan setelah bansos dari pemda. Akibatnya, kelompok penerima bansos yang bantuannya belum turun itu pun protes.
“Saya sudah menyampaikan sesuai hirarki (birokrasi), tolong ini (bansos) dijadikan satu pintu. Tapi sampai hari ini belum terjadi,” ucap Ridwan.
Data penerima bansos yang dihimpun dari RT/RW pun, lanjut Ridwan, juga tidak semuanya dapat lolos sebagai penerima bansos karena banyak yang tak lengkap datanya, salah satunya karena pencatatan NIK yang tidak lengkap. Di sisi lain, masih banyak pemerintah kabupaten/kota di Jabar yang belum memuktahirkan data DTKS sehingga masih ada peluang penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran.
“Hampir 1,7 juta data yang masuk itu tidak lengkap datanya sehingga tidak bisa disetujui sebagai penerima bansos. Inilah yang menyebabkan verifikasi data berlangsung lama,” jelasnya.
Kekeliruan dalam verifikasi data terkait bansos Covid-19 pun terjadi di DKI Jakarta, meskipun DTKS DKI Jakarta terbilang paling rutin dimuktakhirkan dalam catatan Kemensos. Akibatnya, sejak awal April telah santer diberitakan banyak paket bansos yang tidak tepat sasaran di Jakarta, sehingga bansos itu dikembalikan oleh warga.
Hampir 1,7 juta data yang masuk itu tidak lengkap datanya sehingga tidak bisa disetujui sebagai penerima bansos. Inilah yang menyebabkan verifikasi data berlangsung lama.
Salah satunya ditemukan di kompleks perumahan elit RW 7 Kelurahan Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara. Lingkungan RW ini memperoleh bansos sembako dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan sembako berlabel Bantuan Presiden, masing-masing 22 paket. Staf RW 7, Nugroho mengungkapkan, bansos pertama datang tanggal 12 April, dan yang kedua pada 29 April.
“Keduanya, masing-masing 22 paket. Daftar nama penerimanya pun sama. Namun karena di satu RW ini semuanya keluarga kaya, tidak ada yang miskin, sehingga seluruh bansos itu dikembalikan dengan dilengkapi berita acara,” jelas Nugroho.
Pemprov DKI Jakarta mengakui ada kekeliruan pada pendataan. Ketua Tim Tanggap Covid-19 DKI Jakarta yang juga Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta Catur Laswanto menjelaskan, pada tahap pertama pihaknya menyalurkan bansos ke 1.194.633 keluarga. Namun ditemukan kesalahan penyaluran bantuan sebesar 1,6 persen, dan telah diperbaiki.
Perbaikan data
Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial, Hartono Laras, menyampaikan, semua pemerintah daerah sebaiknya tetap merujuk DTKS dalam mendistribusikan bansos terkait Covid-19 ini. Dia mengakui, masih ada data yang belum valid karena data tersebut belum divalidasi lagi oleh pemerintah daerah.
Namun, menurutnya, data yang kurang valid itu tak menghambat pendistribusian bansos. Jika ditemukan warga yang terbukti miskin maka dapat langsung diusulkan untuk masuk dalam DTKS. Begitu juga jika ditemukan ada warga yang sudah membaik kondisi ekonominya tetapi masih masuk dalam DTKS, maka datanya dapat divalidasi.
“Itulah sesungguhnya mengapa kita perlu memetakan warga miskin supaya bansos yang diberikan dapat tepat sasaran,” jelasnya.
Menurut Hartono, jika di lapangan ditemukan kerumitan dan keruwetan dalam pendataan dan verifikasi data penerima bansos, itu hal yang wajar. Di satu sisi memang belum semua pemerintah daerah memutakhirkan data DTKS. Sisi lain, Covid-19 merupakan pandemi. Wabah ini telah menyebabkan bencana nasional di dalam negeri sehingga untuk menyalurkan bantuan sosial pun tak mudah.
“Negara kita, negara yang luas. Penduduknya 269 juta jiwa. Maka kita minta supaya orang-orang yang belum dapat (bansos) itu ditekel (ditangani) melalui APBD. Ada sedikit rumit, ruwet, nggak apa. Karena ada banyak bantuan. Tapi jangan karena rumit, ruwet, malah gak ada bantuan,” jelasnya.
Sementara Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar menyampaikan, hingga 28 Mei ada 50.939 desa yang telah mencairkan BLT Dana Desa dari total 74.953 desa yang ada di Indonesia. Bagi desa yang belum mencairkan BLT Dana Desa, lanjutnya, umumnya terhambat sinkronisasi data di pemerintah kabupaten.
"Sekarang hampir posisinya dana itu di tingkat pemerintah kabupaten. Maka saya betul-betul mengimbau untuk bupati dan walikota untuk (lakukan) percepatan. Desa nggak berani kalo nggak mendapatkan support dari pemkab/pemkot," jelas Halim.
Mengingat begitu besarnya dana yang digelontorkan untuk bansos bagi warga terdampak Covid-19 ini, peneliti PARA Syndicate Jusuf Suroso berpendapat, tetap perlu diwaspadai adanya penyimpangan dalam penyaluran bantuan tersebut. Seharusnya penyalurannya dilakukan dengan sistem yang tertata rapi dan penuh pengawasan.
“Sepeserpun uang APBN atau APBD tidak boleh tercecer dan harus dipertanggungjawabkan,” ujar Jusuf.