Siasat Sembako, Penepis Resah Warga
Kasak-kusuk tidak memperoleh bantuan sosial selama pandemi Covid-19 memenuhi ruang pertemuan warga di gang-gang sempit. Evaluasi dan perbaikan data mendesak dilakukan demi menepis resah warga.
Dengan wajah memelas, Mursinah (58) mengisahkan dirinya tidak menerima bantuan sosial (bansos) apapun dari pemerintah. Sementara 3 anak yang menghidupinya, mengalami pemotongan gaji hingga 50 persen. Satu anak yang menjadi pengojek bahkan kehilangan penghasilan karena tak bisa mengangkut penumpang sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Saya sendiri nggak ada pendapatan. Tadinya saya menjahit, tapi sekarang sakit-sakitaan. Paling sekarang cuma bisa jahit 1-2 pakaian. Kaki sudah sakit,” tutur Mursinah yang dijumpai Sabtu (9/5/2020).
Sejak PSBB di Kota Depok, 15 Maret hingga awal Mei, bansos untuk warga terdampak Covid-19 baru dari Wali Kota Depok. Bantuan berupa uang Rp 250.000 per kepala keluarga (KK) setiap bulan. Itupun tidak merata. Di RT 5 RW 6 Kelurahan Mampang, Pancoranmas, Kota Depok, tempat Mursinah bermukim, hanya 39 KK yang memperolehnya. Padahal perangkat RT mengusulkan 100 KK dari 120 KK di RT itu sebagai penerima bansos.
Sementara bantuan sembako dari Kementerian Sosial (bantuan presiden/banpres) baru didistribusikan di Kota Depok hampir sebulan kemudian, yakni 12 Mei.
Mursinah adalah salah satunya nama yang diusulkan mendapatkan bantuan namun tidak kebagian.
Suwarni (60), salah seorang penerima bantuan, merasa terbantu dengan bansos dari Wali Kota Depok, meskipun nilainya tidak besar. Bantuan yang diterima pada pertengahan April hingga awal Mei itu dipergunakan untuk makan sehari-hari bersama salah satu anaknya.
Sebagai janda yang sudah lansia, Suwarni menyandarkan kehidupan harian pada ketiga anaknya. Akan tetapi, sejak wabah Covid-19, suami anaknya diberhentikan dari pekerjaan sebagai satpam.
Anak laki-lakinya yang bekerja sebagai buruh harian lepas juga kehilangan pekerjaan. Satu anaknya lagi masih merantau. Praktis, anak-anaknya tak dapat menolong Suwarni.
Hidup Suwarni tertolong dari bansos Wali Kota Depok yang sekali diterimanya. "Kebantunya dari situ. Sampai sekarang, belum ada lagi. Bantuan itupun untuk makan sehari-hari, dan dipakainya diirit-irit. Sekarang tinggal sedikit sih.”
Disiasati
Terbatasnya bansos sempat disiasati perangkat RT dan RW setempat dengan mengutip Rp 25.000 kepada setiap penerima bantuan Wali Kota itu.
Menurut Ketua RT 5 RW 6 Kelurahan Mampang, Pancoranmas, Kota Depok, Barep Suroso, hasil kutipan itu digunakan untuk menyediakan paket sembako untuk warga yang belum kebagian bansos.
“Tapi baru dikutip, sudah diberitakan di media bahwa ada pemotongan bansos oleh perangkat RT 5. Padahal maksudnya, uang yang dipotong itu untuk dibelikan sembako lagi buat warga yang belum kebagian bansos,” jelas Barep.
Hal yang dikeluhkan Barep pun diamini Sutini, kader posyandu RW setempat, yang turut membagikan bansos Wali Kota Depok. Menurutnya, banyak warga mengeluh kepada perangkat RT/RW karena belum kebagian bansos.
“Ada satu gang itu, isinya 7 keluarga yang masih saudara semua. Mereka nggak ada yang dapat bansos. Ngeluh ke saya. Kata mereka, bude kok saya nggak dapat. Saya bilang, aduh saya nggak ngerti. Sudah saya jelasin, saya keliling (membagikan uang bantuan wali kota) sesuai nama (daftar penerima bantuan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Depok),” tutur Sutini.
Pada pertengahan Mei, setelah hampir 1,5 bulan PSBB di Kota Depok, RT 5 baru memperoleh sembako banpres dan sembako beras dari Kemensos. Kedua macam bansos itu didistribusikan untuk 24 KK dengan identitas yang sama. "Warga dapat dobel, tetap kami bagi. Mau bagaimana, kan di data ada nama dan NIK di situ," ucap Barep yang sudah enggan mengintervensi pendistribusian bansos.
Pendistribusian semua jenis bansos terkait Covid-19, baik yang sumbernya dari pemerintah pusat maupun daerah, disalurkan dengan menggunakan data nama penerima yang dilengkapi alamat dan NIK.
Penerima bansos ditetapkan melalui proses usulan yang diajukan perangkat RT/RW kepada pemerintah kota atau kabupaten. Di Kota Depok, data itu diverifikasi oleh Dinas Sosial supaya tidak tumpang tindih dengan bansos lainnya. Acuannya adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Data itu baru diberikan kepada perangkat RT setempat saat bansos didistribusikan.
Masalahnya, menurut Barep, pihaknya tidak tahu jadwal distribusi berbagai macam bansos dari pemerintah pusat dan daerah, termasuk banpres dan bansos beras dari Kemensos yang baru diterima. Akibatnya, warga yang kemungkinan belum gilirannya memperoleh bantuan menjadi resah. “Kami sebagai perangkat RT pun jadi tempat warga menumpahkan keluh kesah mereka karena tidak kebagian bansos,” ucapnya.
Menurut Barep, warganya banyak yang menjadi buruh harian lepas. Sejumlah 100 KK yang diusulkan menerima bansos itu pada umumnya adalah karyawan toko, pengojek daring, pekerja pabrik, pedagang, dan janda lansia.
Sejumlah 9 KK lainnya sudah tercatat sebagai penerima Program Keluarga Harapan dan Bantuan Pangan Non Tunai atau sembako. Saban bulan, mereka rutin memperoleh bantuan dari Kemensos.
Sebanyak 11 KK lainnya adalah pensiunan dan pegawai BUMN yang memiliki pendapatan tetap.
Pihak RT tidak tahu jadwal distribusi berbagai macam bansos dari pemerintah pusat dan daerah, termasuk banpres dan bansos beras dari Kemensos yang baru diterima. Akibatnya, warga yang kemungkinan belum gilirannya memperoleh bantuan menjadi resah.
Untuk meredam keresahan warga, menurut Barep dan Sutini, sebelum banpres diperoleh pada awal Mei lalu, perangkat RT/RW setempat menggalang dana dari warga yang mampu untuk menyediakan sembako bagi warga yang membutuhkan. Sejak awal hingga pertengahan Mei, setidaknya terkumpul 8 kardus mi instan, beras lebih dari 10kg, dan uang Rp 2 juta.
“Donasi berupa uang saya belanjakan sembako, kemudian dibagikan ke warga,” jelas Sutini.
Jika melihat jumlah bantuan yang terkumpul, diakui Sutini, tidak cukup untuk seluruh warga di lingkungannya yang belum kebagian bansos. “Bantuan yang sudah terkumpul ini, kami bagikan segera. Namun kami tetap menerima sumbangan, dan jika sudah terkumpul maka akan dibagikan lagi. Biar warga tidak resah,” jelas Sutini yang sehari-hari berdagang gorengan ini.
Camat Pancoranmas, Kota Depok, Utang Wardaya, mengatakan, bantuan dari pemerintah tidak boleh dipotong perangkat RT/RW. “Seperti pemotongan bansos, meskipun alasannya untuk menyediakan sembako lagi, itu tidak boleh. Bantuan harus diberikan kepada penerima.”
Bagi rata
Di Jakarta, sebagian pengurus RT membagikan secara merata bantuan sembako yang diterima selama April-Mei.
Di RT 7 RW 7 Kelurahan Duri Pulo, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, misalnya, seluruh bansos sembako dari Pemprov DKI Jakarta dan Kemensos pada awal Mei, dibagi rata kepada warga RT itu.
Ketua RT 7 RW 7 Duri Pulo, Ahmad Supangat, mengungkapkan, jauh sebelum pendistribusian bansos, seluruh warga yang bermukim di RT 7 telah diusulkan sebagai penerima bansos ke Sudin Sosial Jakarta Pusat, termasuk penghuni rumah kontrakan yang berasal dari luar Jakarta. Totalnya 100 KK.
“Namun giliran bansos dari Dinsos DKI datang, hanya 42 paket. Tak lama kemudian datang Banpres, jumlahnya juga sama dan penerimanya pun sama,” jelasnya.
Agar tak menimbulkan kecemburuan, Supangat bersama karang taruna setempat membagi rata bantuan Dinsos DKI maupun Banpres kepada 100 KK di RT 7 tersebut. “Warga pun mengerti kenapa kami membagi rata bansos ini. Tujuannya supaya tidak ada yang iri,” jelasnya.
Hampir seluruh warga RT 7 adalah buruh harian lepas. Supangat pun buruh pemasok barang ke supermarket.
Tempat tinggal warga di RT ini umumnya berupa rumah petak dengan lebar rumah 2,5-3 meter dan panjang sekitar 7 meter. Akses jalan yang tersedia di RT ini juga berupa gang sempit yang hanya dapat dilalui 1 sepeda motor.
Sementara di Jakarta Utara, alih-alih warga miskin, justru warga mampu yang memperoleh bansos dari Kemensos dan Dinsos DKI.
Bansos tidak tepat sasaran ini salah satunya diterima Johannes Saliman, yang bermukim di Kelurahan Sunter Jaya, Tanjung Priok. Saliman tinggal di perumahan yang cukup elite dan dijaga ketat satpam. April kemarin, dua kali ia menerima bansos dari Dinsos DKI dan Kemensos. Atas inisiatifnya, bansos tersebut ia salurkan ke warga yang lebih membutuhkan.
"Tahun-tahun lalu saya tidak pernah mendapat bansos. Tidak tahu siapa yang mendaftarkan saya, karena saya kaget juga tiba-tiba masuk daftar. Hidup saya masih berkecukupan,” ucap Saliman.
Saliman tinggal di perumahan yang cukup elite dan dijaga ketat satpam. April kemarin, dua kali ia menerima bansos dari Dinsos DKI dan Kemensos. Atas inisiatifnya, bansos tersebut ia salurkan ke warga yang lebih membutuhkan.
Diakui Saliman, ia juga terkena pemutusan hubungan kerja dari tempatnya bekerja yakni perusahaan roti. Akan tetapi, kondisi itu belum pernah ia sampaikan kepada pengurus RT maupun RW.
Total ada 32 paket bansos yang didistribusikan di lingkungan tempat tinggal Saliman. Menurut Ketua RT setempat, Angelina Sendy, ia tak pernah mengusulkan siapa pun warga di wilayahnya sebagai penerima bansos karena semua warga tergolong mampu.
Ketua RW setempat, Kurniawan Sutedjo, mengatakan, pihaknya tidak pernah mendata atau mengusulkan warganya menerima bantuan sosial. Ia pun bingung dasar yang digunakan sehingga warganya tercatat sebagai penerima bansos. “Di sini kan ekonominya menengah ke atas. Rumah harganya berapa miliar. Kok bisa dapat bansos.”
Karena 32 paket terlanjur masuk, lanjut Kurniawan, bansos itu tetap diterima kemudian disalurkan ke warga lain yang lebih membutuhkan. “Akhirnya ada kebijakan RT yang memberikan (bansos) ke warganya. Soalnya kalau dikembalikan repot, harus bikin berita acara. Lebih baik kami ambil dan salurkan ke yang membutuhkan.”
Adapun Pemprov DKI mengakui, ada kekeliruan data penerima sehingga distribusi bansos tidak tepat sasaran. Kepala Dinas Sosial DKI Irmansyah mengatakan, ada kesalahan penyaluran bantuan sebesar 1,6 persen dari total 1.194.633 keluarga. “Data ini terus diperbaiki.”
Evaluasi dan perbaikan sistem penyaluran bansos bagi warga terdampak Covid-19, sangat dibutuhkan. Bantuan yang tepat sasaran akan meredam keresahan warga yang secara ekonomi terimbas Covid-19.