Pengaturan Jam Kantor di DKI Menentukan Rencana Penerapan Ganjil Genap
Kebijakan ganjil genap pada masa PSBB transisi DKI Jakarta belum diterapkan.
Oleh
Aguido Adri
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem ganjil genap untuk kendaraan roda dua dan roda empat pada masa pembatasan sosial berskala besar atau PSBB transisi belum diberlakukan. Pemerintah masih akan mengevaluasi PSBB transisi untuk menentukan kesiapan sistem ganjil genap, terutama kepatuhan perkantoran dalam menjalankan pola kerja karyawan.
Dalam Pasal 17 Bab VI Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif tertulis pengendalian moda transportasi sesuai dengan tahapan masa transisi kendaraan bermotor pribadi berupa sepeda motor dan mobil beroperasi dengan prinsip ganjil genap pada kawasan pengendalian lalu lintas.
Sementara pada Pasal 18 dijelaskan bahwa kendaraan roda dua ataupun roda empat dengan pelat genap hanya boleh melintas di ruas jalan pada tanggal genap. Sementara kendaraan dengan pelat ganjil hanya bisa melintas di ruas jalan DKI pada tanggal ganjil.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, kebijakan ganjil genap untuk kendaraan roda dua dan roda empat di masa PSBB transisi belum akan diimplementasikan. ”Hasil evaluasi seminggu ke depan akan kami laporkan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai dasar pertimbangan kebijakan pelaksanaan ganjil genap. Jadi implementasinya tunggu keputusan Gubernur DKI Jakarta. Saat ini belum berlaku sistem ganjil genap,” kata Syafrin saat dihubungi, Minggu (7/6/2020).
Selain evaluasi lalu lintas, kata Syafrin, mereka juga akan melihat kesiapan transportasi saat beroperasi di masa PSBB transisi dan ketaatan perkantoran dalam mengatur pola jam kerja karyawan.
”Dalam Pergub No 51 juga diatur tentang work from home (WFH), pengaturan jam masuk kerja. Hal ini penting agar nanti tidak ada kerumunan massa di transportasi umum, kantor, dan ruang publik. Kita harap perkantoran taat terhadap aturan, terutama mengatur jam masuk kerja. Dari sana kami akan evaluasi juga terkait kemampuan sistem angkutan umum di Jabodetabek serta kondisi lalu lintasnya. Lalu, baru bisa kita simulasi kebijakan ganjil genap,” kata Syafrin.
Konsekuensi baru
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, jika ganjil genap diberlakukan secara luas untuk roda dua dan roda empat pada masa PSBB transisi, pemerintah perlu menyiapkan penambahan moda transportasi umum yang nyaman, aman, selamat, dan sehat.
Namun, kesiapan transportasi umum perlu diikuti ketaatan perkantoran, baik pemerintah maupun swasta, dalam menjalankan aturan PSBB transisi seperti aturan jam masuk pulang kantor. ”Kita bicara aktivitas karena transportasi adalah kebutuhan turunan. Pola aktivitas dan jam kerja harus diatur perkantoran di Jakarta. Jam kerja sangat menentukan pergerakan warga mengunakan transportasi umum. Jadi, permasalahan pentingnya ada pada pengaturan kegiatan manusia,” kata Djoko.
Selain itu, Djoko mengingatkan, pemerintah memiliki tantangan dalam menerapkan sistem ganjil genap di masa PSBB transisi. Berkaca pada kasus sebelumnya, banyak pengendara yang bersiasat membuat pelat ganda berdasarkan ganjil genap agar lolos dari aturan sistem ganjil -genap. Hal itu tentu akan membuat petugas jaga seperti polisi dan dinas perhubungan repot memantau mobilitas kendaraan.
Oleh karena itu, kata Djoko, untuk menekan kepadatan kendaraan di jalan pada masa PSBB transisi, selain ganjil genap, pemerintah perlu menerapkan sistem electronic road pricing atau jalan berbayar yang dinilai efektif menekan kepadatan kendaraan.
Rencana pemberlakuan kembali kebijakan ganjil genap menuai reaksi dari Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya. Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Teguh Nugroho meminta Pemprov DKI menunda kebijakan ganjil genap.
Alasannya, jika kebijakan itu diberlakukan kembali, dikhawatirkan masyarakat akan berbondong-bondong beralih ke kereta rel listrik (KRL) dan Transjakarta. Dalam situasi seperti itu, kerumunan penumpang akan sulit dihindari. ”Kalau sudah begitu, angkutan umum berpotensi menjadi sarana penyebaran Covid-19,” kata Teguh.
Menurut dia, penundaan kebijakan ganjil genap akan membuat warga punya pilihan moda transportasi lain dalam bepergian. Dalam masa PSBB transisi ini, sejumlah kantor dan tempat usaha di luar 11 sektor yang dikecualikan sudah diperbolehkan beroperasi secara terbatas.
Hal serupa diutarakan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahardiansyah. Dengan menunda kebijakan ganjil genap, dinas perhubungan memiliki waktu lebih lama untuk memantau situasi dan kondisi di lapangan. Selain itu, apabila langsung diterapkan saat masa transisi, akan timbul resistensi dari masyarakat.
”Masa transisi ini gunakan saja dulu untuk sosialisasi, sekaligus mematangkan kebijakan ganjil genap,” ucap Trubus.
Sebagai gantinya, kebijakan ganjil genap bisa diganti dengan sejumlah opsi. Opsi itu antara lain kebijakan merekayasa lalu lintas dengan tahapan uji coba dan sosialisasi memadai, melakukan analisis beban dan sinkronisasi antarmoda transportasi agar dapat mengurangi kepadatan jalan raya, serta mengedepankan upaya penegakan hukum simpatik dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dalam berlalu lintas (Kompas.id, 6/6/2020).
Khawatir
Akmal Taher (34), warga Depok yang berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selaran, mengatakan tak setuju jika roda dua masuk dalam aturan sistem ganjil genap. Karyawan jasa pengiriman itu, sejak dua bulan terakhir, tak lagi pernah menggunakan KRL karena jam operasionalnya hanya sampai pukul 18.00. Sejak saat itu pula ia menggunakan sepeda motor saat berangkat kerja.
”Saat ini lebih aman pakai motor ketimbang angkutan umum untuk menghindari keramaian. Saya masih takut pakai KRL, takut ramai lagi sementara kita masih pandemi, belum aman. Eh, ada aturan sistem ganjil genap untuk roda dua. Saya tidak setuju,” kata Akmal.
Gracia Yunisa Tampubolon (28), warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan, juga tak setuju jika ada aturan sistem ganjil genap. Meski jarang menggunakan kendaraan roda dua, ia khawatir jika aturan tersebut kembali membuat angkutan umum seperti KRL penuh.
”KRL nanti penuh dan padat lagi. Bahaya buat penumpang di masa pandemi ini. Nanti bisa terjadi lonjakan kasus,” kata Gracia.