Ganjil Genap DKI Jakarta Belum Akan Diterapkan Selama PSBB Transisi
Dinas Perhubungan DKI Jakarta menilai kepadatan lalu lintas masih di bawah normal sehingga ganjil genap belum akan diterapkan di Ibu Kota.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki akhir dari pekan pertama pembatasan sosial berskala besar atau PSBB masa transisi, Dinas Perhubungan DKI Jakarta memastikan Ibu Kota belum akan menerapkan aturan ganjil genap dalam waktu dekat. Pertimbangannya, kepadatan lalu lintas masih di bawah normal.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (12/6/2020), menegaskan, sesuai Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2020, khususnya pasal 17 dan 18, memang aturan ganjil genap bisa diterapkan. Namun, untuk bisa diterapkan, harus ada evaluasi atas situasi dan kondisi lalu lintas dan angkutan umum oleh dinas perhubungan terlebih dahulu.
Hasil evaluasi tersebut kemudian dilaporkan kepada gubernur. ”Tapi, prinsip yang diambil adalah pengambilan keputusan penerapan ganjil genap tetap berdasarkan evaluasi kondisi lalu lintas,” kata Syafrin.
Adapun hasil evaluasi atas situasi dan kondisi lalu lintas di masa transisi ini, lanjut Syafrin, masih di bawah rata-rata normal. ”Dibandingkan masa normal, kondisi lalu lintas di bawah normal. Selisihnya sampai 17 persen di bawah kondisi normal. Untuk jumlah penumpang di seluruh moda angkutan, juga masih terlayani. Artinya ganjil genap belum dilaksanakan,” tuturnya.
Lalu, kapan ganjil genap bisa diterapkan? Syafrin menjelaskan, kembali ke prinsip semula, yaitu berdasarkan evaluasi kondisi lalu lintas. Artinya, jika kondisi lalu lintas sudah sangat padat, tetapi angkutan umum tidak padat.
Bila angkutan umum padat, lalu lintas juga padat, dinas perhubungan akan membuat kajian agar dalam transisi ini masih ada pembatasan. Tujuannya agar orang tidak melakukan kegiatan yang tidak penting dan tetap tinggal di rumah.
Apalagi, pengaturan kegiatan itu juga dimuat dalam pergub tersebut, bahwa dalam masa transisi ini ada pengaturan orang bekerja 50 persen di rumah dan 50 persen di tempat kerja. Kemudian yang 50 persen bekerja ini juga harus dibagi dua sif, 25 persen di sif pertama dan 25 persen di sif kedua. Dengan begitu tidak terjadi kepadatan lalu lintas ataupun di jalan.
Secara terpisah, Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menjelaskan, merujuk kepada kebijakan Pemerintah Provinsi DKI sebelum masa pandemi, aturan ganjil genap dibuat dan diterapkan untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi secara berlebihan di jalan raya. Tujuannya agar ada peralihan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi umum.
Suasana di salah satu kereta rel listrik (KRL) tujuan Jakarta Kota di Stasiun Bogor, Kota Bogor, yang tertera pembatas jarak antarpenumpang, Kamis (11/6/2020). Namun, pada saat pandemi Covid-19 yang diikuti kebijakan PSBB dan sekarang memasuki masa transisi, kebijakan ganjil genap tidak tepat. Bahkan, di dalam Pergub No 51/2002 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif itu, aturan ganjil genap itu hanya bagi kendaraan pribadi roda empat dan roda dua. Sementara kendaraan roda dua untuk ojek daring tidak termasuk atau dikecualikan dari aturan ini. Padahal, secara total, populasi kendaraan roda dua itu sekitar 75 persen dari total populasi kendaraan bermotor di DKI Jakarta.
”Tentunya ini tidak akan bermakna lagi sebagai program pembatasan mobilitas kendaraan pribadi di jalan raya,” kata Djoko.
Kebijakan ganjil genap, menurut Djoko, juga tidak bisa dipertahankan begitu lama. Hal itu karena sekarang ini masyarakat cenderung menambah kendaraan pribadi dan memiliki pelat kendaraan ganda (nomor ganjil dan genap). Ia mendorong segera beralih dengan program jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP).
Langkah lainnya, lanjut Djoko, memang sudah ada beberapa upaya menambah kapasitas sarana dan prasarana angkutan umum. Jumlah layanan KRL, bus Transjakarta, MRT, dan LRT, serta angkutan kota terus ditambah. Namun, dengan pandemi, kebijakan memangkas kapasitas angkut sarana transportasi membuat kapasitas angkut jadi terbatas hanya 50 persen. ”Maka, untuk itu, cara yang bisa ditempuh dengan mengatur pola kegiatan,” ujarnya.
Transportasi adalah kebutuhan turunan dari suatu kegiatan (derived demand). Saat ini sumber permasalahan bukan di sektor transportasinya, melainkan pada bagaimana pengaturan kegiatan manusianya. Kebijakan mengelola kegiatan pun harus ditambahkan untuk membantu mengurangi mobilitas.
Caranya, mengatur pola kerja work from home (WFH) dan work from office (WFO) yang dapat dipadukan, penjadwalan jam kerja, atau menambah kapasitas bus antarjemput di kementerian, lembaga pemerintah, dan BUMN dapat dilakukan.
”Menyediakan angkutan bagi karyawan/pegawai bekerja sama dengan perusahaan transportasi umum dapat membantu bisnis perusahaan transportasi umum yang sedang mengalami menuju titik nadir bisnis,” kata Djoko.
Meski demikian, yang paling rasional adalah bagaimana aktivitas atau kegiatan publik pada masa normal baru dapat dikendalikan intensitasnya agar tidak sama seperti pada masa sebelum pandemi.
Idealnya, masa normal baru tidak semuanya harus kembali kerja ke kantor seperti sebelum pandemi. ”Yang masih bisa work from home, ya semestinya tetap WFH, atau minimal ada pengurangan kehadiran ke kantor,” kata Djoko.
Syafrin melanjutkan, untuk kebijakan ganjil genap, itu akan terus dipertimbangkan. Apalagi, minggu depan sejumlah kegiatan ekonomi secara bertahap dibuka. ”Mulai pekan depan, kami akan lakukan evaluasi, dan hasil evaluasi ini secara rutin akan kami laporkan ke Gubernur setiap hari Senin nanti,” ujarnya.
Sementara untuk pemberlakuan waktu dan sanksi, menurut Syafrin, akan menyesuaikan dengan masa transisi. ”Jadi dari hasil kajian nanti akan menentukan polanya seperti apa, apakah sepanjang hari jamnya bertahap dan seterusnya, itu yang saat ini sedang kami kaji,” ujarnya.