Pembatasan Pergerakan Orang Kian Longgar di Bekasi
Pemeriksaan kedatangan orang dari luar Jabodetabek di Kabupaten Bekasi telah berakhir sejak 7 Juni 2020. Pembatasan pergerakan orang tak lagi ketat.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Pembatasan pergerakan orang masuk Jabodetabek dari Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, kian longgar. Petugas di daerah itu kini fokus mengedukasi warga untuk mematuhi protokol pencegahan Covid-19 di tempat keramaian. Arus urbanisasi pasca-Lebaran di masa pandemi Covid-19 berpotensi kembali melonjak.
Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Bekasi Yana Suyatna mengatakan, pemeriksaan pendatang di titik perbatasan di daerah itu bersama petugas gabungan TNI, Polri, dan petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta telah diakhiri sejak 7 Juni 2020. Petugas kini ditempatkan di pusat-pusat keramaian, seperti mal, terminal, hingga stasiun untuk mengingatkan warga mematuhi protokol pencegahan Covid-19.
”Kami sekarang fokus ke tempat keramaian, salah satunya di mal. Kalau penempatan petugas untuk pembatasan pergerakan orang sudah tidak ada lagi. Tetapi karena kami masih zona kuning, jumlah angkutan penumpang masih tetap dibatasi 50 persen," kata Yana, Rabu (17/6/2020), di Bekasi.
Pemerintah Kabupaten Bekasi di masa pembatasan sosial berskala besar menerapkan kebijakan wajib karantina bagi warga dari luar Jabodetabek asal Kabupaten Bekasi yang masuk ke daerah itu. Namun, kebijakan itu tak lagi berlaku sejak daerah itu masuk ke masa adaptasi kebiasaan baru. Sebelumnya, di masa PSBB, kebijakan mengisolasi warga pendatang juga diakui tidak berjalan maksimal karena keterbatasan koordinasi antara petugas di titik pemeriksaan dengan pengurus di tingkat RT dan RW.
Di Kota Bekasi, pemantauan terhadap pendatang dari luar Jabodetabek diperkuat di tingkat RW. Setiap pengurus RW dan RT bersama warganya secara kolektif bersama-sama saling mengawasi pendatang baru dari luar Jabodetabek. Langkah ini merupakan tindak lanjut dari kebijakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Bekasi yang sudah membubarkan petugas pengecekan surat izin keluar atau masuk (SIKM) di 14 titik pemeriksaan di daerah perbatasan.
Ketua RW 011 Kelurahan Jatimekar, Kecamatan Jatiasih, Samsudin, mengatakan, pemantauan pendatang di wilayah RW 011 sebenarnya sudah mereka lakukan sejak H-1 Lebaran. Selama masa pemantauan, warga di wilayah itu menemukan sebagian warga yang sebelumnya nekat mudik dan telah kembali lolos dari pemeriksaan di titik pemeriksaan.
”Kami sudah tidak kaget lagi (pengawasan SIKM oleh pengurus RW). Sebab, dari awal, warga boleh lolos dari penyekatan petugas, tetapi tidak lolos di lingkungan RW kami. Bahkan, kemarin, ada 12 keluarga yang sementara kami minta karantina mandiri di rumah,” ujarnya.
Warga boleh lolos dari penyekatan petugas, tetapi tidak lolos di lingkungan RW kami. Bahkan, kemarin, ada 12 keluarga yang sementara kami minta karantina mandiri di rumah.
Keberhasilan pengurus RW mengawasi pendatang tidak terlepas dari keaktifan warga untuk memantau kondisi di sekitar lingkungan. Pendatang baru kemudian dilaporkan ke RW dan pengurus RW mengecek kelengkapan administrasinya, termasuk SIKM.
”Kalau dia tidak punya SIKM, kami minta segera dikarantina mandiri. Kami juga berkordinasi dengan puskesmas agar yang bersangkutan segera dites cepat. Ada sekitar 40 orang yang memutuskan kembali ke kampung karena keberatan dengan kebijakan ini,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua RW 001, Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang, Kiman, mengaku belum mendapat informasi dari Pemerintah Kota Bekasi terkait pengawasan SIKM oleh pengurus RW. Namun, ia setuju dengan kebijakan tersebut lantaran pengurus wilayah di tingkat RT dan RW lebih paham dan mudah mengidentifikasi warga pendatang baru.
”Namun, sampai sekarang belum ada (pemberitahuan pengawasan SIKM). Kalau sudah ada, bisa kami laksanakan,” katanya.
Beban bertambah
Pengamat sosial dari Institute Bisnis Muhammadiyah Kota Bekasi, Hamluddin, menilai kebijakan pengawasan SIKM di tingkat RW kian membebani tugas dari pengurus wilayah di tingkat RT dan RW. Mereka belum tentu memiliki kapasitas yang mumpuni untuk membantu mengendalikan penanganan penularan virus korona baru penyebab Covid-19.
Pengamat sosial dari Institute Bisnis Muhammadiyah Kota Bekasi, Hamluddin, menilai kebijakan pengawasan SIKM di tingkat RW kian membebani tugas dari pengurus wilayah di tingkat RT dan RW. Mereka belum tentu memiliki kapasitas yang mumpuni untuk membantu mengendalikan penanganan penularan virus korona baru penyebab Covid-19.
”Bisa jadi malah mereka yang terpapar (Covid-19) ketika ada yang masuk dan cara penanganan mereka tidak ketahui. Jadi, tidak maksimal karena tugas RT dan RW menangani masyarakat secara administrasi sebagai kepanjangan tangan pemerintah di tingkat wilayah paling rendah,” ujarnya.
Ia menambahkan, pembatasan orang dari luar Jabodetabek di tengah masa pandemi Covid-19 yang sudah berjalan cukup baik seharusnya dilaksanakan berkelanjutan. Pandemi Covid-19 dan adaptasi menuju tatanan hidup baru merupakan momentum menahan laju ledakan penduduk di Kota Bekasi.
Data Badan Pusat Statistik Kota Bekasi menyebutkan, proyeksi jumlah penduduk di daerah itu pada 2010 sebanyak 2,384 juta penduduk. Jumlah itu terus meningkat dan pada 2020, proyeksi penduduk mencapai 3,083 juta penduduk.
Peningkatan proyeksi jumlah penduduk itu menunjukkan arus kedatangan orang ke kota-kota metropolitan kian bertambah setiap tahun. Salah satu dampak dari meningkat arus kedatangan orang itu, yakni munculnya permukiman padat penduduk dan kekumuhan. Kondisi ini sangat berisiko di tengah ancaman pandemi Covid-19 yang memaksa setiap orang untuk hidup dengan menjaga jarak hingga vaksin Covid-19 ditemukan.
”Ledakan penduduk tak hanya berpengaruh pada aspek kesehatan, tetapi aspek sosial ekonomi juga sangat berisiko. Apalagi, di masa sekarang semua sendi kehidupan terpukul. Kalau pengawasan terhadap pendatang tidak dibatasi, peluang terus munculnya masalah sosial makin besar,” ujarnya.