Transportasi Umum Masih Berisiko Menjadi Tempat Penularan Virus
Transportasi umum sementara ini masih berisiko menjadi tempat penularan virus korona jenis baru. Selama tak ada kebijakan yang mengatur jam kerja warga, maka jarak antarpenumpang sulit dijaga pada posisi yang ideal.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian ahli berpendapat transportasi publik masih berisiko selama tidak ada jarak fisik yang aman antarpenumpang. Kebijakan komprehensif melibatkan seluruh pemangku kepentingan memengaruhi kesiapan transportasi publik saat normal baru.
Sosiolog bencana dari Nanyang Technological University, Singapura, Sulfikar Amir Sulfikar, dalam Webinar Lapor Covid-19 tentang Transportasi Publik Sudah Aman atau Masih Berisiko, Kamis (18/6/2020), menuturkan, virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 menyebar sangat cepat di daerah perkotaan, terutama transportasi umum. Penyebabnya ialah tingkat kepadatan, aktivitas orang, dan pendingin ruangan.
”Semakin padat ruang kota, semakin cepat virus menyebar. Demikian juga aktivitas warga yang semakin tinggi. Sementara di dalam ruangan dengan pendingin ruangan, Covid-19 menyebar 40 persen lebih cepat daripada di luar ruangan,” ujar Sulfikar.
Kondisi itulah yang terjadi di transportasi publik, seperti kereta atau bus, yang padat dan dalam kondisi tertutup dengan pendingin ruangan. Alhasil, virus menyebar dengan cepat karena jarak antarpenumpang minim.
Di sisi lain, jika ada kasus infeksi virus dari angkutan umum, pelacakan sangat sulit dilakukan. Singapura sekalipun kesulitan menelusuri kontak penularan di transportasi publik lantaran siapa saja bisa jadi penular dan tertular.
Menurut Sulfikar, pengguna transportasi umum harus dikontrol. Caranya, kebijakan pembagian jam kerja. Itu diikuti dengan protokol kesehatan yang sangat ketat, penegakan aturan yang sangat ketat, alat atau mekanisme penelusuran kontak, dan konsisten.
Sementara itu, peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Publik School of Business and Management Institut Teknologi Bandung, Agung Wicaksono, mengatakan, kondisi normal baru bukan berarti kembali ke situasi normal atau seperti sebelum pandemi. Sebab, normal baru merupakan salah satu skenario. Dalam skenario itu, warga harus disiplin menerapkan prtokol kesehatan karena belum ditemukannya vaksin.
Untuk itu, ada resep imunitas di transportasi publik dengan cara menghindari bepergian, kecuali untuk urusan penting atau mendesak. Warga juga dapat beralih menggunakan alternatif lain, misalnya dengan jalan kaki atau bersepeda untuk jarak pendek. Cara lain adalah dengan meningkatkan efisiensi moda transportasi dan teknologi kendaraan. Misalnya, kerja sama operator dengan pengelola gedung untuk manajemen koneksi halte atau stasiun ke gedung.
”Kapasitas angkutan harus 50 persen dan diikuti kebijakan publik yang menguntungkan transportasi publik. Rencana pemotongan subsidi transportasi ummum justru membebani operator karena saat ini penumang anjlok drastis imbas pandemi,” kata Agung.
Kapasitas angkutan 50 persen memungkinkan jaga jarak antarpenumpang. Selanjutnya bisa menerapkan protokol kesehatan lain, seperti tidak berbicara di dalam angkutan. Adapun cara untuk mewujudkan kapasitas angkutan 50 persen dengan mengatur jam kerja sehingga jam puncak arus penumpang tidak sama.