Jakarta Kesulitan Pantau SIKM
Jalan alternatif membuat pemantauan orang keluar-masuk DKI Jakarta kurang efektif. Kesadaran perantau melapor kedatangan kepada ketua RT juga masih rendah.
Jalan alternatif membuat pemantauan orang keluar-masuk DKI Jakarta kurang efektif. Kesadaran perantau melapor kedatangan kepada ketua RT juga masih rendah.
JAKARTA, KOMPAS — Pergerakan orang, yang tak memiliki surat izin keluar masuk atau SIKM di wilayah DKI Jakarta, melalui jalan-jalan alternatif relatif sulit terpantau. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menyiapkan strategi baru untuk mengatasi hal ini demi memutus penularan Covid-19.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika diwawancarai Kompas di Jakarta, Jumat (19/6/2020), mengatakan, pihaknya terus melakukan evaluasi terhadap implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi. Ia mengakui, kesulitan utama ialah mengendalikan pergerakan orang keluar-masuk Ibu Kota.
”Banyaknya jumlah jalur, termasuk jalan-jalan ’tikus’, mengakibatkan terjadinya kesulitan memantau orang-orang yang datang dan pergi tanpa memiliki SIKM,” ujar Anies.
Ia mengungkapkan tengah menyusun pendekatan dan kebijakan baru untuk menangani masalah ini. Meskipun begitu, dari segi makro, perkembangan PSBB transisi cukup menggembirakan karena tidak terjadi lonjakan kasus. Dalam sepekan terakhir, Pemprov DKI Jakarta mengetes 19.912 orang. Angka ini 1,8 kali lebih banyak daripada ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dari tes itu, tingkat positif Covid-19 adalah 4,5 persen. Jumlah ini di bawah batas aman WHO, yakni 10 persen. ”Memang ada kejadian-kejadian positif Covid-19, tetapi bukan lonjakan. Dalam seminggu ini hanya pada 16 Juni penularan mencapai 5 persen,” kata Anies.
Adapun dalam rapat kerja dengan Komisi E DPRD DKI Jakarta, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti menjelaskan, sebelum PSBB transisi, ada 66 rukun warga (RW) yang mendapat pengawasan ketat. Namun, setelah PSBB transisi berjalan dua pekan, tinggal 31 RW yang mendapat pengawasan ketat.
”Semua RW tetap dipantau karena PSBB transisi belum selesai. Kami tak hanya mengawasi 66 RW itu, tetapi se-DKI. Jadi, kalau ada kelurahan-kelurahan yang tiba-tiba tinggi penularan, akan cepat diatasi. Jika tidak, nanti jadi berpotensi, lebih rawan,” ucap Widyastuti.
Masih relevan
Dalam kondisi ini, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menilai SIKM masih relevan sebagai instrumen pengendali pergerakan manusia demi mencegah penyebaran Covid-19. Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho, Kamis (18/6/2020), menjelaskan, SIKM masih relevan karena belum ada mekanisme penapis lain yang disiapkan untuk menyaring warga luar DKI Jakarta guna mencegah penularan.
Di wilayah DKI Jakarta sendiri, lanjut Teguh, ada banyak pekerjaan rumah untuk melakukan penatalaksanaan penanganan Covid-19. Hal itu, di antaranya, penanganan transmisi Covid-19 di pasar, pusat perbelanjaan, tempat wisata, juga area pelayanan publik.
”Penting untuk fokus penatalaksanaan masalah internal dulu. Ketika penatalaksanaan Covid-19 di DKI Jakarta dalam masa transisi lebih berhasil menekan penyebaran Covid-19, pembukaan wilayah bagi warga luar Jakarta lebih mudah,” ujar Teguh.
Pengendalian pergerakan dengan melibatkan perangkat rukun tetangga (RT) dan RW sebenarnya bisa lebih efektif. Namun, mereka perlu dibantu Bhabinkamtibmas, Kepolisian Daerah Metro Jaya, dan satuan polisi pamong praja.
Pemprov DKI Jakarta mesti memperketat pengawasan seiring arus balik perantau dari daerah. Sedikitnya 70 persen pengusaha warung tegal (warteg) asal Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, sudah kembali ke Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sejak pekan lalu.
Ketua Asosiasi Pengusaha Warteg Mulyadi mengatakan, 700 dari 1.000 pengusaha warteg telah kembali karena kondisi Jakarta sudah berangsur normal. Berdasarkan hasil penjualan selama sepekan terakhir, pendapatan pengusaha warteg juga sudah 60 persen dibandingkan dengan kondisi normal.
Omzet Mulyadi kini berkisar Rp 1,2 juta per hari, naik dari Rp 900.000 per hari pada awal PSBB. Sebelum pandemi Covid-19, omzetnya Rp 2 juta per hari. ”Belum seperti semula, tetapi lumayan daripada tidak ada sama sekali. Pelan-pelan pasti bisa pulih kembali,” kata Mulyadi saat dihubungi dari Kota Tegal.
Mulyadi memperkirakan, sekitar 300 pengusaha warteg yang belum kembali ke perantauan terkendala mendapatkan pekerja. Sebagian pekerja warteg masih ragu kembali merantau karena takut terpapar Covid-19 dan enggan repot mengurus SIKM.
Fitri (19), buruh warteg asal Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, memilih bertahan di kampung karena enggan mengurus dokumen persyaratan kembali ke Jakarta. ”Persyaratan kembali ke Jakarta rumit, saya malas mengurusnya. Lagi pula, ongkos ke Jakarta masih mahal,” ujar Fitri.
Kesadaran rendah
Kesulitan memantau perantau terkait kepemilikan SIKM juga terjadi di Kota Tangerang Selatan. Kesadaran perantau melaporkan diri begitu tiba di Tangsel masih rendah. Padahal pelaporan sangat penting untuk menghambat penularan.
Di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Ketua RW 018 Masdar menyampaikan, kesadaran perantau melapor kedatangan kepada ketua RT masih rendah. ”Jarang perantau berinisiatif melaporkan kedatangannya, kecuali jika ketua RW turun langsung dan menegur,” kata Masdar.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahardiansyah, berpendapat, kedisiplinan perantau melapor bisa membuat kebijakan SIKM efektif demi memutus penyebaran Covid-19. Hal ini bisa berjalan jika ketua RW proaktif yang dimotivasi langsung oleh wali kota.
Berkaitan dengan hal ini, Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Tangsel Chaerudin mengatakan, sosialisasi SIKM dilakukan terus-menerus kepada ketua RW dan akan lebih intensif lagi dilakukan.
(DNE/HLN/IGA/XTI)