Perayaan HUT Ke-493 Jakarta, kuliner khas Betawi seakan kehilangan panggungnya. Biasanya, perayaan HUT Jakarta diramaikan dengan hiburan, pertunjukan budaya, dan makanan Betawi.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
Perayaan HUT Jakarta biasanya ditandai dengan serangkaian acara hiburan dan budaya. Pada momen tersebut pula, kuliner betawi seakan menemukan panggungnya. Sayang, seiring kesederhanaan perayaan HUT Ke-493 Jakarta, Senin (22/6/2020) ini, kuliner Betawi ikut tenggelam. Dalam keseharian, banyak kuliner Betawi di Jakarta tak semoncer kuliner dari daerah lain.
Senin pukul 09.00, Kompas mencoba menelusuri kawasan Jakarta Pusat untuk mencari keberadaan penjual kerak telor, salah satu makanan khas Jakarta. Hal ini sekaligus membuktikan, apakah makanan khas Betawi hanya bisa dijumpai di kompleks Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan dan acara perayaan khusus.
Penelusuran diawali di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Setelah mengelilingi seluruh area luar pasar, tidak ditemukan satu pun penjual kerak telor di sana. Kompas kemudian bergesar ke kawasan wisata, seperti Monumen Nasional dan Lapangan Banteng. Hasilnya pun nihil.
Justru, di sepanjang jalan menuju kawasan-kawasan tersebut, makanan seperti soto mi bogor, bubur ayam cirebon, atau sate padang justru lebih mudah dijumpai. Setelah sekitar satu jam, penjual kerak telor akhirnya ditemukan di salah satu ”kandang” mereka, yakni kawasan Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta Pusat.
Menurut Sutia (42), salah satu penjual kerak telor di kawasan JIExpo Kemayoran, banyak penjual kerak telor di kawasan tersebut yang berjualan secara musiman. Mereka baru berjualan jika ada perhelatan besar, salah satunya HUT Jakarta. Biasanya, bersamaan dengan HUT Jakarta, diadakan Jakarta Fair Kemayoran (JFK) di JIExpo. Tahun ini, tidak ada JFK saat HUT Jakarta lantaran pandemi Covid-19.
”Kali ini sepi karena sama sekali tidak ada kegiatan di JIExpo karena Covid-19. Biasanya penjual kerak telur berjejer di sepanjang jalan ini dengan jarak dua sampai tiga meter. Acara (JFK) juga biasanya lebih dari satu bulan,” katanya.
Sutia mengakui bahwa kerak telor bukanlah makanan yang populer di kalangan warga Jakarta. Makanan ini seakan banyak dicari hanya saat perayaan HUT Jakarta saja. Sebagai gambaran, ia biasa menjual sekitar 15 porsi kerak telor pada hari biasa. Akan tetapi, saat JFK, ia bisa menjual sampai 30 porsi per hari.
Sutia berjualan kerak telor selama lebih kurang enam tahun. Ia bukan orang asli Jakarta, melainkan orang Garut, Jawa Barat. Ia memang mengaku jarang melihat orang Jakarta yang berjualan kerak telor. Kebanyakan adalah orang Sunda.
”Orang Betawi penjual kerak telor yang terakhir saya temui ya guru saya. Saat itu, saya masih jadi tukang sol sepatu,” katanya.
Beberapa penjual kerak telor, menurut Sutia, bahkan dikelola oleh satu juragan. Juragan tersebut memiliki sekitar 20 lapak kerak telor. Lapak-lapak tersebut hanya ia kerahkan saat ada hajatan besar, sedangkan yang menjaga lapak adalah orang-orang Sunda.
”Salah satu (juragan) ada yang namanya Haji Udin. Dia punya 20 lapak. Kalau ada acara, dia menghubungi orang-orang dari Sunda untuk berjualan di sini,” ujarnya.
Kue rangi
Selain kerak telor, makanan khas Betawi lain yang juga sulit dijumpai adalah kue rangi. Makanan berbahan dasar sagu dan parutan kelapa ini bahkan tidak lagi dikenali oleh generasi Z.
Hal itu diungkapkan Misjan (35), penjual keliling kue rangi. Meski sudah berjualan kue rangi selama delapan tahun, ia masih kerap melayani pertanyaan dari orang-orang yang menanyakan nama kue yang ia jual.
”Terutama di sekolah-sekolah gitu. Anak-anak pada nanyain ini apa. Pas dijawab mereka kabur beli jajanan yang lain,” kata warga asal Bogor, Jawa Barat, ini.
Meski bukan orang Betawi asli, Misjan bertekad terus berjualan kue rangi demi meneruskan jejak sang ayah yang sudah berjualan kue rangi sejak tahun 1990-an. Saat ini ayahnya sudah berusia renta sehingga tidak sanggup lagi berkeliling menjajakan kue rangi.
Ditemui di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Misjan mengaku menjadi satu-satunya orang yang berjualan kue rangi di kawasan tersebut. Ia justru bersyukur sebab tidak harus bersaing dengan banyak orang. Meskipun pesaing tak banyak, ia mengakui tidak mudah menjual kue rangi. ”Pendapatan harian saya naik dari yang tadinya sekitar Rp 100.000 menjadi Rp 150.000 setelah saya pasang tulisan ’Kue Rangi’ ini. Kebanyakan yang beli memang orang-orang tua,” kata Misjan memaparkan strategi kecil-kecilannya.
Pertahankan cita rasa
Barangkali, salah satu makanan khas Betawi yang relatif bisa bertahan dari gempuran makanan dari daerah lain adalah soto betawi. Makanan ini mudah ditemui di berbagai rumah makan, kafe, dan mal. Bahkan, regenerasinya juga berjalan ciamik.
Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Eko Safrudin (26), pemilik rumah makan Soto Jakarta Pak Haji Yus, Cabang Pasar Manggis Setiabudi, Jakarta Selatan. Di usia yang relatif muda, ia mau menjadi suksesor dari kakeknya, Haji Yus.
Menurut Eko, Haji Yus mulai berjualan di Jalan Teuku Umar Menteng, Jakarta Pusat, pada 1973 atau sekitar 20 tahun sebelum dirinya lahir. Saat itu, Haji Yus hanya berjualan di tenda semipermanen. Seiring berjalannya waktu, soto betawi kian digemari. Saat ini, ia telah memiliki empat cabang.
”Usaha kakek diteruskan oleh ayah saya dan saudara-saudaranya. Sekarang ayah dibantu oleh saya dan kakak-kakak saya,” katanya.
Hingga saat ini, soto betawi yang dijual di tempatnya tetap mempertahankan resep yang diusung Haji Yus. Misalnya, kuah sotonya tetap menggunakan susu sapi murni dari depot yang sama. Hal itu yang menyebabkan Soto Jakarta Haji Yus memiliki penggemar fanatik.
Bukan sekali dua kali Eko melayani pelanggan yang hampir seusia kakeknya. Menurut dia, pelanggan tersebut puas karena masih merasakan rasa masakan yang sama seperti yang dimasak Haji Yus.
”Ada juga pelanggan yang juga turun temurun, dari ayahnya, anaknya, sampai cucunya juga datang ke sini. Bukan hanya orang Jakarta, orang Bandung dan Cirebon juga ada yang jadi pelanggan,” katanya.
Hal yang sama juga dianut Neni (44), penjual asinan betawi dan soto betawi di Kemanggisan, Jakarta Barat. Ia menganut resep dari almarhum ayahnya agar bisa bertahan. Sebab, saat ini banyak penjual asinan betawi yang bukan orang Betawi asli.
”Di kawasan sini hanya saya, orang Betawi yang berjualan asinan. Yang lain orang Jawa. Rasanya pasti beda,” katanya.
Di HUT Ke-493 Jakarta, para pegiat kuliner Betawi tersebut berharap agar makanan khas Betawi tidak mati dilindas zaman. Selain untuk mendulang rupiah, mereka kini punya tugas menjaga warisan budaya tersebut.