Perubahan perilaku dan nilai secara besar-besaran mengenai kebiasaan kumpul-kumpul, bekerja, dan bersekolah diperlukan. Hal ini bukan untuk menjauhkan manusia, justru untuk melindungi sesama dari penularan Covid-19.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Menafsirkan kembali budaya Jakarta sebagai kosmopolitan berarti mengingatkan masyarakat bahwa semua berlandaskan pemikiran yang rasional, terbuka, dan demokratis. Pendidikan yang mengasah daya pikir kritis dan sikap tenggang rasa menjadi kunci budaya tersebut.
”Kosmopolitan sejatinya tidak bisa diukur dari kemegahan pembangunan fisik, tetapi dari cara berpikir masyarakat di kota itu. Arti dari kosmopolitan adalah pola pikir yang terbuka dan bisa menerima berbagai perbedaan. Jika ada hal yang tidak disetujui, bukan menjadi alasan berkonflik, tetapi menjadi diskursus yang dibahas secara rasional,” papar sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Ubeidillah Badrun, Senin (22/6/2020).
Menurut analisis dia, Jakarta secara fisik memang memiliki penduduk dari berbagai latar suku bangsa, agama, dan kelas sosial. Akan tetapi, keragaman ini belum masuk ke dalam pola pikir masyarakat secara signifikan. Keragaman masih sesuatu yang dianggap sebagai fakta kehidupan, tetapi belum bisa memberi makna.
Arti keragaman sehingga melahirkan budaya kosmopolitan sangat tergantung pada sikap yang ditunjukkan oleh para pemimpin, seperti kepala daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Cara mereka menerima dan mengolah kritik adalah cerminan apakah perilaku kosmopolitan sudah atau belum membudaya karena landasan utamanya adalah pemikiran yang demokratis.
”Peristiwa-peristiwa politik besar di Jakarta seperti pemilihan umum masih kerap diwarnai politik identitas. Jika ada kritik terhadap pemerintah petahana ataupun oposisi, bukannya argumen berbasis data yang bermain, malah para pendengung yang emosional. Tidak hanya di media sosial, termasuk di ruang-ruang publik fisik,” kata Ubeidillah.
Dalam budaya kosmopolitan, fungsi ruang publik, baik fisik maupun substantif, sangat penting. Ruang ini berfungsi sebagai wadah diskusi berbagai pihak untuk membahas suatu topik dari bermacam sudut pandang. Di ruang diskursus ini pula publik belajar membangun argumen berbasis akurasi data. Bukan sekadar emosi suka atau benci terhadap sesuatu.
Ruang ini adalah kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakannya. Selain di fasilitas formal, seperti sekolah dan universitas, ruang diskursus juga terdapat di tempat publik dan media sosial. Kota yang kosmopolitan berarti memiliki jaminan bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum menghormati kebebasan berekspresi individu atau kelompok sepanjang tidak bersifat diskriminatif.
Ubeidillah menerangkan, apabila dari masyarakatnya telah ada sifat yang hangat dan menerima perbedaan, tidak akan ada diskriminasi. Hal ini akan berpengaruh ke dalam akses layanan publik yang sistematis, setara, dan memberdayakan masyarakat.
Rasional
Dalam wawancara eksklusif, Jumat (19/6/2020), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan pandemi Covid-19 adalah kesempatan mendefinisikan ulang budaya Jakarta. Modal budaya tradisional Betawi yang menerima pendatang dengan segala perbedaannya harus diterjemahkan ke dalam tatatan masyarakat modern agar benar terwujud publik yang kosmopolitan.
Selain pemerintah, masyarakat di kota kosmopolitan juga dituntut untuk mengedepankan nalar. Hal ini masih pekerjaan rumah besar bagi warga Jakarta. Di masa pandemi Covid-19, misalnya, meskipun media atus utama dan pemerintah telah menyosialisasikan bahaya virus korona baru, masih banyak warga yang keluar rumah walau tidak butuh dan tidak mengenakan masker.
Badan Pusat Statistik dalam survei bulan April 2020 mengungkapkan bahwa penduduk lansia cenderung lebih taat terhadap protokol kesehatan. Skornya adalah 8,1 untuk penduduk usia 56-69 tahun dan 8,2 untuk penduduk berusia di atas 70 tahun. Semakin tinggi skor berarti semakin patuh terhadap aturan.
Sebaliknya, penduduk usia 31-35 tahun skornya 7,7 dan penduduk usia 20-34 mendapat skor 7,3. Mereka dideskripsikan masih belum tertib mengenakan masker, menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan, dan hanya keluar rumah jika benar-benar diperlukan.
Penduduk usia 31-35 tahun skornya 7,7 dan penduduk usia 20-34 mendapat skor 7,3. Mereka dideskripsikan masih belum tertib mengenakan masker, menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan, dan hanya keluar rumah jika benar-benar diperlukan.
Contohnya di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Di bangku-bangku trotoar pada Senin ditemukan penuh terisi orang nongkrong. Mereka antara lain adalah pengemudi ojek daring, pekerja di restoran dan kafe yang sedang istirahat makan siang, serta para petugas penyapu jalan.
Bangku tersebut telah ditempeli tanda silang yang berarti hanya satu orang boleh mendudukinya. Kenyataannya, satu bangku diduduki oleh tiga hingga empat orang ditambah dengan ada yang berjongkok dan berdiri di sebelah bangku. Masker hanya dikalungkan di leher.
”Kan lagi merokok, masak pakai masker. Lagian juga aneh ngobrol sama teman-teman pakai masker,” kata Eep, seorang pengemudi ojek daring.
Dalam diskusi terkait kebijakan pemerintah dalam menghadapi pandemi, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan, masyarakat harus mulai membiasakan diri dengan pola hidup tanpa kontak fisik di ruang publik. Segala bentuk kegiatan ekonomi, transportasi, dan profesional sebisa mungkin tanpa perlu saling menyentuh.
Artinya, akan ada perubahan perilaku dan nilai secara besar-besaran mengenai kebiasaan kumpul-kumpul, bekerja, dan bersekolah. Hal ini bukan untuk menjauhkan manusia, justru untuk melindungi sesama dari penularan Covid-19.