Masalah Zonasi Berbasis Kelurahan dan Usia Belum Terpecahkan dalam PPDB DKI
Penerimaan peserta didik baru di DKI Jakarta menuai polemik karena penggunaan umur untuk menentukan penerimaan siswa pada jalur zonasi. Dinas pendidikan menyarankan siswa yang terpental mendaftar lewat jalur prestasi.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan peserta didik baru di DKI Jakarta tetap menggunakan jalur zonasi berbasis kelurahan, sedangkan usia digunakan sebagai cara menerima siswa saat berkaitan dengan daya tampung sekolah. Inilah salah satu sumber masalah yang diprotes orangtua siswa hingga hari ini.
Nahdiana, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, dalam jumpa pers di Kantor Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Jumat (26/06/2020), tentang penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2020 menjelaskan, melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2019, untuk setiap jenjang pendidikan disyaratkan adanya usia minimal dan maksimal yang mesti dipenuhi calon peserta didik baru (CPDB).
Pasal 4 menyebut aturan usia untuk siswa TK dengan minimal usia CPDB 4 tahun untuk kelompok A dan 5 tahun untuk kelompok B. Pasal 5 mengatur persyaratan usia minimal CPDB untuk SD 7-12 tahun dengan usia paling rendah 6 tahun per 1 Juli tahun berjalan.
Aturan usia maksimal diterapkan untuk jenjang SMP dan SMA/SMK, yaitu paling tinggi 15 tahun untuk SMP dan 21 tahun untuk SMA. Lalu, PPDB jenjang SMP dan SMA diatur lagi dalam Pasal 25 permendikbud. Sesuai Pasal 25 Ayat (1), seleksi CPDB kelas VII SMP dan kelas X SMA dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan.
Namun, pada Pasal 25 Ayat 2 ditambahkan, sebagaimana dimaksud Ayat 1, seleksi untuk pemenuhan kuota atau daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua sesuai surat keterangan lahir atau akta kelahiran.
”Ini berkaitan dengan daya tampung sekolah. Misalnya satu sekolah daya tampung 200 (siswa), mengurutkannya selain dari jarak adalah dengan usia. Orang dengan urutan ke-201 nantinya tidak diterima,” kata Nahdiana.
Dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 tentang PPDB bagian D atau bagian proses seleksi, baik melalui jalur zonasi dan jalur afirmasi, hal itu juga diatur lebih detail. Di sana disebut, dalam hal jumlah CPDB yang mendaftar dalam zonasi melebihi daya tampung, dilakukan seleksi berdasarkan usia tertua ke usia termuda, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar.
Peserta didik yang nilai akademisnya baik dapat memilih jalur prestasi yang akan dilaksanakan 1 Juli dengan sistem seleksi mengutamakan nilai akademis dan akan diurutkan, diperingkatkan, sesuai daya tampung.
Nahdiana melanjutkan, untuk daya tampung, setiap sekolah memiliki daya tampung berbeda-beda sesuai demografi kelurahan dan kelurahan yang menjadi irisan lokasi sekolah tersebut. ”Apabila dalam satu sekolah itu satu rombongan ada 36 peserta didik dan memiliki lima rombongan, daya tampung sekolah adalah lima dikali 36 peserta didik,” ujarnya.
Berbasis kelurahan
Adapun dalam jumpa pers tersebut, ia kembali menegaskan, PPDB di DKI Jakarta tetap menggunakan jalur zonasi berbasis kelurahan. Hal itu sudah berlangsung sejak PPDB 2017.
”Jadi, di Jakarta ini, penetapan jarak atau zonasinya diatur berdasarkan jarak dari rumah ke sekolah dengan menggunakan jarak antar-kelurahan. Jadi, jika seseorang tinggal di sebuah kelurahan, ada pilihan sekolah-sekolah di kelurahan itu dan kelurahan tetangga yang dapat dipilih di situ,” paparnya.
Penetapan zonasi berbasis kelurahan dan irisan kelurahan dilakukan dengan mempertimbangkan keunikan demografi kota Jakarta. Keunikan demografi itu, antara lain, meliputi tingkat kepadatan penduduk yang tidak sama tiap kelurahan, bentuk hunian vertikal yang banyak di Jakarta, dan sebaran sekolah yang tidak sama di setiap kelurahan. Selain itu, daya tampung sekolah yang tidak sama di tiap sekolah dan jumlah sekolah asal serta banyaknya pilihan moda transportasi bagi anak sekolah, mulai dari bus sekolah, bus Transjakarta, dan Jak Lingko.
Untuk itu, lanjut Nahdiana, apabila banyak CPDB yang terpental atau tidak diterima melalui jalur zonasi, mereka masih memiliki pilihan jalur, yaitu jalur prestasi. ”CPDB yang belum diterima di jalur zonasi dapat melanjutkan di jalur prestasi. Peserta didik yang nilai akademisnya baik juga dapat memilih jalur prestasi yang akan dilaksanakan 1 Juli dengan sistem seleksi mengutamakan nilai akademis dan akan diurutkan, diperingkatkan, sesuai daya tampung,” tuturnya.
Adapun dari pendataan sementara Dinas Pendidikan per 25 Juni 2002, untuk jenjang SMP pada rentang usia kurang dari 10-16 tahun, CPDB yang paling banyak diterima ada pada rentang usia 12 tahun 6 bulan hingga 13 tahun. Total sebanyak 14.594 orang atau 47,07 persen.
Lalu, untuk PPDB jenjang SMA jalur zonasi pada rentang usia 13 tahun hingga 20 tahun 5 bulan, CPDB paling banyak diterima ada pada rentang usia 15 tahun 6 bulan hingga 16 tahun, sebanyak 5.757 orang.
Secara terpisah, Idris Ahmad dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia DPRD DKI Jakarta mengkritisi, jalur zonasi tersebut memicu polemik karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak menggunakan kriteria jarak rumah ke sekolah, tetapi menggunakan kelurahan sebagai penentu.
Fraksi Partai Solidaritas Indonesia DPRD DKI Jakarta menilai, polemik ini seharusnya tidak terjadi apabila Gubernur Anies tegas ambil sikap untuk mengevaluasi petunjuk teknis PPDB sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 sebagai acuan.
Namun, Pemprov DKI justru tetap menjadikan kelurahan sebagai basis penentuan zonasi. Otomatis semua calon siswa di satu kelurahan memiliki bobot yang sama sehingga umur menjadi faktor seleksi penentu dominan dibandingkan jarak. Seleksi pun dipilih dari usia tertua ke termuda.
Sesuai permendikbud, penetapan zonasi dilakukan dengan prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah.
Menurut Idris, jarak tempat tinggal ke sekolah dapat diukur menggunakan teknologi informasi, seperti yang sudah dilakukan di daerah lain atau melalui rukun tetangga dan rukun warga domisili calon siswa. ”Daerah lain, seperti Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur, menggunakan aplikasi Google Maps untuk akurasi zonasi. Tidak ada alasan Jakarta untuk tidak menggunakan teknologi yang sama,” ujarnya.