Kehilangan pekerjaan karena pandemi Covid-19 memicu stres dan berujung pada kekerasan dalam rumah tangga yang hampir seluruhnya dilakukan oleh suami. KDRT menjadi momok baru pada masa karantina.
Oleh
Windoro Adi
·5 menit baca
Tak dinyana, pandemi Covid-19 ternyata menciptakan ”pandemi” baru, yaitu ”pandemi” Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT . Laporan sebagian besar negara di dunia menyebutkan, persentase KDRT sejak diberlakukan karantina pada Maret lalu, meningkat 30 persen sampai 400 persen atau empat kali lipat.
The Guardian menyebutkan, KDRT di Rusia sejak Maret meningkat menjadi 6.000 kasus. Sebulan kemudian melejit menjadi 13.000 kasus. Spanyol naik 30,7 persen. Inggris naik 49 persen di awal April tahun ini dibanding April tahun lalu. Di Australia naik 75 persen. Di Perancis, jumlah pengaduan kasus naik dua kali lipat pada pertengahan Maret. Di Yunani, bahkan naik empat kali lipat semenjak karantina diberlakukan di sana pada 23 Maret.
Demikian pula di AS. Di Portland, di Negara Bagian Oregon, panggilan telepon hotline pengaduan kasus kasus KDRT, naik dua kali lipat. Di Brasil, Hakim Khusus Urusan KDRT untuk wilayah Rio de Janeiro, Adriana Mello memperkirakan, terjadi lonjakan kasus KDRT hingga 50 persen semasa pandemi Covid-19.
Di Asia, hal serupa juga terjadi. Di Jepang, misalnya, kasus KDRT naik 30 persen. Di Jingzhou, Provinsi Hubei, China, kasus KDRT naik tiga kali lipat pada Februari 2020 dibandingkan dengan bulan yang sama, tahun lalu. Di Malaysia, menurut laporan Organisasi Bantuan Malaysia (WAO), terjadi 361 kasus KDRT atau naik 44,43 persen.
Di Turki, kasus kasus KDRT berujung kepada pembunuhan perempuan sejak karantina diterbitkan pada 11 Maret 2020. Di Afrika Selatan, dalam sepekan polisi menerima hampir 90.000 laporan KDRT.
Di Jawa Timur (Jatim), menurut Kepala DP3AK (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan), Andriyanto, terjadi 230 kasus KDRT sepanjang bulan Maret lalu. Angkanya bertambah menjadi 401 kasus pada April, dan membengkak menjadi 482 kasus pada bulan Juni.
Dari 482 kasus KDRT, sebanyak 41,9 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di kelompok masyarakat menengah ke bawah. Kata Andriyanto, kasus kasus KDRT ini dipicu oleh hilangnya pekerjaan para suami.
Kontrol dan kekuasaan
Hampir semua pelaku KDRT pada masa pandemik Covid-19 adalah pria—suami, atau ayah. Selain tertekan karena terjangkit cabin fever (perasaan sedih dan jenuh yang muncul akibat terlalu lama terisolasi di dalam rumah atau tempat tertentu), para pria ini juga tertekan karena kehilangan pekerjaan. Hilang pekerjaan, hilang mata pencarian, hilang pula peran sosial mereka di tempat kerja maupun di lingkungan sosial lainnya. Keadaan ini kian memburuk ketika mengonsumsi minuman keras menjadi pilihan melepas frustrasi mereka.
Di sisi lain, kondisi para korban menjadi lebih buruk menghadapi situasi tersebut karena mereka tidak bisa keluar dari rumah untuk menghindari KDRT. Kontak dengan keluarga dan teman yang dapat memberi dukungan dan perlindungan, kian terbatas. Pandemi Covid-19 membuat sistem nilai dan konstruksi kepribadian pria yang sebelumnya dianggap ”beradab” di tatanan dunia modern, kembali ke masa feodal, bahkan jauh kembali ke masa tribal—masa di mana kekerasan fisik, penaklukan, dan perbudakan menjadi pemuasan ego.
Anggapan usang bahwa pria lebih istimewa ketimbang perempuan, kembali menguat. Lalu muncul anggapan bahwa istri atau anak-anak yang mengungkap KDRT, berkhianat dan membuka aib keluarga. ”Ada anggapan, kalau suami atau ayah begitu, itu karena kita yang salah,” kata psikolog Puteri Langka, Selasa (16/6/2020). Karena anggapan tersebut, pengaduan tentang KDRT pun lebih sering dipendam di rumah mereka.
Relasi yang tidak setara dalam keluarga membuat suami, ayah, melihat dirinya lebih tinggi daripada orang lain. Karena berada di rumah lebih lama, para pria ini kemudian cenderung mempertahankan seluruh kontrol dan kekuasaan keluarga di tangan mereka. ”Pelaku menjadi makin sulit mengontrol emosi. Terlebih karena mereka tidak lagi bisa menyalurkan emosinya di luar keluarga,” kata Puteri.
Dengan mudah, suami mencari pembenaran yang tak boleh dibantah. Dalam beberapa kasus yang ditemui Puteri, istri semakin sulit mendapatkan cara menghindari pertengkaran dengan suami, untuk meredam KDRT, terlebih anak anak mereka.
Penguatan terhadap korban
Tak banyak yang bisa dilakukan untuk mengubah para pelaku KDRT ini selain menjauhkan barang barang berbahaya. Yang lebih mungkin dilakukan adalah melakukan penguatan terhadap para korban. Penguatan terhadap para korban tersebut, antara lain, meningkatkan kemampuan korban mengenali situasi yang dapat menambah agresivitas pelaku, mengontrol diri dan tidak terpancing, mengajarkan kepada anak-anak menghindari pertengkaran dengan pergi ke bagian rumah yang dirasa lebih aman, atau mencari bantuan keluarga atau teman.
Untuk mengelola stres menghadapi KDRT, kata psikolog Amanda Margia Wiranata, para istri sebaiknya mempertahankan rutinitas, berolahraga, dan beristirahat cukup. Lakukan relaksasi, lakukan kegiatan yang dapat menguatkan diri, misalnya bermain bersama anak, dan melakukan aktivitas keagamaan.
Jika KDRT sudah pada tingkat membahayakan jiwa, korban sebaiknya menghubungi Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polres terdekat, atau menghubungi P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) di tingkat kabupaten atau kota (di Jakarta, misalnya, bisa menghubungi nomor telepon 081317617622), atau lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi kasus KDRT seperti LBH Apik Jakarta di 0813-882-2669.
”Sebaiknya korban mengadu secara sembunyi karena umumnya tindakan ini memicu kemarahan pelaku. Kuatkan hati dulu sebelum mengadu karena kebanyakan korban ragu mengingat keluarga masih tergantung pada suami. Redakan kecemasan bahwa langkah korban bakal memicu keluarga pecah. Niatkan hati bahwa tindakan tersebut demi menyelamatkan keluarga dan bukan demi balas dendam,” tutur Putri.
Terhadap kasus kasus KDRT, para pengurus RT dan RW sebaiknya semakin peka, dan tanggap. Jangan lagi menganggap kasus ini sekadar sebagai urusan internal keluarga. ”Perlu ada sosialisasi lewat pertemuan lingkungan baik yang bersifat kemasyarakatan atau keagamaan, lewat media sosial, maupun media massa mengenai bahaya KDRT di masa pandemik Covid-19,” tutur Psikolog Natanael, pengurus Asosiasi Psikologi Forensik, Selasa (16/6/2020).
Kepada warga, khususnya para pelaku, harus ada langkah penyadaran mengenai dampak kekerasan terhadap rumah tangga mereka. Kalau pelaku sadar, dia bisa belajar membuat pilihan perilaku lain untuk menghindari kasus KDRT. Menurut Natanael, di Spanyol para pekerja supermarket, apotek, dan petugas Satpam (satuan pengaman) dilatih peka terhadap kedatangan korban KDRT. Mereka dilatih membuat langkah pengaduan dan perlindungan korban secara tepat, cepat, dan menghindari risiko kekerasan lebih besar terhadap korban.
”Ini adalah bagian dari strategi penyelamatan diri bagi para korban. Sebaiknya masyarakat dan pemerintah kita menunjukkan kepedulian seperti yang ditunjukkan Spanyol,” kata Natanael.